Optimisme Menatap Indonesia ke Depan
Pidato kenegaraan nota keuangan Presiden Joko Widodo pada Sidang Tahunan MPR Tahun 2019, 16 Agustus lalu, menyiratkan optimisme. Sejumlah parameter ekonomi dan sosial menunjukkan hasil positif di tengah kondisi ekonomi dunia yang bergejolak akibat perang dagang China-AS.
Presiden mengemukakan sejumlah variabel yang menyiratkan Indonesia berjalan cukup baik meski dihadapkan pada kondisi perekonomian global yang bergejolak. Beberapa data makro dari BPS dibacakan, di antaranya tren pertumbuhan ekonomi Indonesia yang rata-rata 5 persen per tahun.
Pada triwulan II-2019, pertumbuhan Indonesia berada pada besaran 5,07 persen. Angka ini masih jauh dari target tahun 2019 yang direncanakan naik sekitar 5,3 persen. Meski demikian, pencapaian itu tetap harus disyukuri karena sejumlah parameter lain menunjukkan pencapaian menggembirakan.
Angka pengangguran, kemiskinan, ketimpangan pendapatan, dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) menunjukkan perbaikan. Pada tahun 2015, angka pengangguran sebesar 5,81 persen, dan pada Februari 2019 susut menjadi 5,01 persen. Hal ini juga terjadi pada angka kemiskinan yang berkurang menjadi 9,41 persen pada Maret 2019. Padahal, pada Maret 2015, angka kemiskinan 11,22 persen.
Penduduk yang bekerja bertambah banyak sehingga memiliki pendapatan yang perlahan-lahan mengentaskan mereka dari kemiskinan. Indikasinya terlihat dari rasio gini yang mengecil, dari 0,408 pada tahun 2015 menjadi 0,382 pada Maret 2019.
Pendapatan yang semakin merata membantu penduduk untuk meningkatkan akses kesehatan, pendidikan, dan sebagainya. Parameter untuk melihat tingginya akses penduduk terhadap hasil pembangunan ini terlihat dari besaran IPM. Pada tahun 2015, IPM rata-rata berada pada angka 69,55, sementara pada 2018 naik menjadi 71,39. Hal ini menandakan kenaikan dalam standar kualitas pendidikan, akses kesehatan, serta kualitas hidup.
Kualitas SDM
Presiden menekankan ekonomi nasional harus tetap tumbuh meski secara global perekonomian sedang melambat dan sejumlah negara mengalami krisis finansial. Situasi krisis harus diubah menjadi peluang. Salah satu kuncinya ialah meningkatkan daya saing nasional yang bertumpu pada kualitas sumber daya manusia (SDM).
SDM berkualitas adalah modal penting dalam memasuki era ekonomi yang berbasis pada teknologi digital. Jika Indonesia memiliki SDM unggul, jumlah penduduk terbesar keempat di dunia yang sebagian besar berusia muda merupakan keunggulan absolut.
Keseriusan untuk membangun SDM terproyeksi dalam laporan tahunan Presiden Joko Widodo. Kebijakan fiskal pada 2020 ditekankan pada anggaran untuk akselerasi daya saing melalui inovasi dan penguatan kualitas SDM.
Kebijakan itu tercakup dalam lima strategi, yakni penguatan kualitas SDM, akselerasi pembangunan infrastruktur, penguatan program perlindungan sosial, dan antisipasi populasi yang menua. Selain itu, kebijakan difokuskan pada penguatan kualitas desentralisasi fiskal untuk mendorong kemandirian daerah.
Dari lima fokus kebijakan itu, penguatan kualitas SDM adalah yang utama. Untuk mencapainya, perlu ada akselerasi di sejumlah sektor, salah satunya bidang pendidikan. Sejak 2009, proporsi anggaran pendidikan telah mencapai 20 persen dari belanja negara. Pada 2015-2019, anggaran pendidikan di APBN rata-rata bertambah sekitar 5 persen atau Rp 22 triliun per tahun. Tahun ini diperkirakan anggaran pendidikan terserap hingga Rp 478,4 triliun. Pada 2020, anggaran pendidikan direncanakan naik 5,7 persen hingga Rp 505,8 triliun.
Dengan peningkatan anggaran itu, diharapkan tak ada lagi anak-anak yang tertinggal pendidikannya. Kemampuan dasar anak-anak mulai dari usia dini hingga pendidikan dasar dapat terus berkembang. Pada jenjang pendidikan menengah dan tinggi, pemerintah akan merancang kurikulum sesuai dengan kebutuhan pasar dan industri.
Kebijakan fiskal ekspansif
Alokasi anggaran yang dirancang dalam APBN diharapkan mampu meningkatkan kualitas pelayanan pemerintah kepada rakyat. Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, kebijakan fiskal Indonesia bersifat ekspansif. Utang akan menjadi pilihan untuk mengatasi kekurangan anggaran belanja dengan memanfaatkan sumber pembiayaan yang aman dan dikelola secara hati-hati dan berkelanjutan. Pada 2015-2019, utang pemerintah meningkat dari Rp 3.161,1 triliun menjadi Rp 4.570,2 triliun (Juni 2019). Meskipun utang meningkat, prinsip kehati-hatian diutamakan.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Keuangan Negara mengamanatkan, defisit APBN kurang dari 3 persen produk domestik bruto (PDB) dan rasio utang kurang dari 60 persen PDB. Kedua parameter masih sesuai dengan kondisi APBN dan utang pemerintah saat ini.
Bahkan, dalam 20 tahun terakhir, rasio utang pemerintah telah turun dari titik tertinggi di tahun 2000 sebesar 88,7 persen menjadi sekitar 30 persen pada 2018. Demikian juga parameter defisit anggaran yang menunjukkan tren mengecil. Pada tahun 2015, defisit anggaran terhadap PDB sebesar 2,59 persen, tetapi pada tahun 2019 diperkirakan susut menjadi 1,93 persen. Pada 2020 diperkirakan menciut lagi di kisaran 1,76 persen.
Seiring dengan prinsip kehati-hatian tersebut, pemerintah berupaya untuk meningkatkan sisi pendapatan negara dengan berbagai program dan terobosan paket-paket kebijakan. Salah satu tujuannya adalah meningkatkan pendapatan dalam negeri sehingga memperkecil keseimbangan primer, setidaknya memperkecil nilai keseimbangan primer yang negatif. Keseimbangan primer berasal dari total pendapatan negara dikurangi belanja negara.
Gambaran tersebut mencerminkan proyeksi pemerintah terhadap keuangan negara yang diupayakan sedemikian rupa untuk terus bertambah. Langkah kebijakan fiskal ini secara tidak langsung diharapkan turut memberi optimisme bagi warga Indonesia. (Litbang Kompas)