Pembangunan Natuna Era Jokowi dan Dampak Dugaan Korupsi Masa Lalu
Presiden Joko Widodo telah mengumumkan pemindahan ibu kota ke wilayah Kabupaten Kutai dan Kabupaten Penajam Paser Utara di Kalimantan Timur, Senin (26/8/2019). Wilayah Kalimantan, Sumatera, Maluku, Papua, NTT, dan terutama perbatasan Republik Indonesia memang dikebut pembangunannya sejak lima tahun terakhir.
Presiden Joko Widodo telah mengumumkan pemindahan ibu kota ke wilayah Kabupaten Kutai dan Kabupaten Penajam Paser Utara di Kalimantan Timur, Senin (26/8/2019). Wilayah Kalimantan, Sumatera, Maluku, Papua, NTT, dan terutama perbatasan Republik Indonesia memang dikebut pembangunannya sejak lima tahun terakhir.
Salah satunya Kabupaten Natuna di Provinsi Kepulauan Riau yang mendapat perhatian khusus melalui kunjungan kerja Presiden Joko Widodo dan juga Panglima TNI Marsekal (TNI) Hadi Tjahjanto dalam berbagai kesempatan.
Khusus daerah perbatasan, pada Januari 2019, Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2019 tentang Percepatan Pembangunan 11 pos lintas batas negara terpadu dan sarana prasarana penunjang di kawasan perbatasan.
Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Terpadu dimaksud adalah PLBN Kecamatan Serasan, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau, PLBN Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang dan PLBN Sei Kelik, Kabupaten Sintang di Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar), PLBN Sei Nyamuk dan Labang di Kabupaten Nunukan serta PLBN Long Nawang, Kabupaten Malinau di Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara), PLBN Oepoli, Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), PLBN Napan, Kabupaten Timor Tengah Utara, Provinsi NTT, PLBN Sota, Kabupaten Merauke dan PLBN Yetetkun, Kabupaten Boven Digoel di Provinsi Papua.
Lima lokasi PLBN di Pulau Kalimantan dan PLBN Serasan di Natuna berada pada lokasi strategis Alur Laut Kepulauan Indonesia I (ALKI I) yang menjadi ujung utara pelayaran dari Selat Malaka dan Selat Sunda ke Laut China Selatan, menjadi urat nadi ekonomi dengan Tiongkok, Jepang, Korea, dan Taiwan serta pelabuhan Pasifik Rusia di Vladivostok. Belum lagi pelayaran ke jurusan Teluk Siam, tempat pelabuhan utama milik Thailand, Kamboja, dan Vietnam berada. Demikian juga pelayaran ke Brunei Darussalam dan Malaysia Timur di Sabah–Sarawak yang berada di lintasan dekat Kepulauan Natuna.
Pada musim tertentu, warga Natuna memang terisolasi. Jarak terdekat untuk mendapat pasokan adalah ke Kuching, di Sarawak, Malaysia atau Singkawang, dan Pontianak di Kalimantan Barat. Itu sebabnya PLBN Terpadu Serasan sangat penting untuk segera diisi personel Imigrasi, Bea Cukai, dan Karantina (CIQ-Custom, Immigration, Quarantine) untuk kemajuan daerah Natuna secara ekonomi dan pertahanan negara.
Kepulauan Natuna ibarat sebuah kapal induk Indonesia yang berlabuh permanen di ujung Laut China Selatan. Pesawat tempur, kapal TNI AL, polisi perairan, Badan Keamanan Laut (Bakamla) Republik Indonesia, berpangkalan dan beroperasi dari Natuna.
Pada saat sama, Angkatan Laut Amerika Serikat rutin melintasi perairan di sana. Demikian pula Angkatan Laut sesama negara ASEAN dan Angkatan Laut Tiongkok, juga beroperasi di kawasan Laut China Selatan.
Pangkalan Udara Raden Sajad di Ranai, Natuna, kini ditingkatkan menjadi Lanud Tipe A dengan pejabat bintang satu yang memimpin. Panglima TNI Marsekal (TNI) Hadi Tjahjanto dalam beberapa kesempatan mengingatkan nilai strategis Natuna dan pentingnya membangun kekuatan militer dan ekonomi di kawasan perbatasan tersebut.
”Kita bangun kekuatan tiga matra TNI di sana. Ada batalyon Komposit TNI AD, Korps Marinir TNI AL, dan pangkalan Angkatan Laut, serta kekuatan TNI Angkatan Udara untuk menjaga kedaulatan dan perbatasan terdepan NKRI di Natuna,” kata Hadi Tjahjanto yang sudah berulangkali mengunjungi Natuna semasa menjabat sebagai Sekretaris Militer (Sesmil) Presiden Republik Indonesia, Inspektur Jenderal (Irjen Kemhan), KSAU, hingga kini sebagai Panglima TNI.
Saat penulis berkunjung pada akhir 2018 ke Natuna, penerbangan sipil dan militer masih beroperasi di Lanud Raden Sajad. Wisatawan juga mulai berdatangan ke Natuna lewat jalur udara dan laut, terutama untuk menikmati keindahan Natuna yang tahun lalu didaftarkan sebagai geopark nasional dan sedang diusulkan menjadi geopark dunia di UNESCO karena keunikan formasi batu alam raksasa di pantai-pantai pesisir timur dan utara Natuna.
Dibangun Era Jokowi
Kepala Kantor Penghubung Natuna di Jakarta Ronny Indra, yang ditemui awal pekan ini, menceritakan, pembangunan pesat terjadi di Natuna sejak tiga tahun terakhir pada era kepemimpinan Joko Widodo.
”Sekarang listrik untuk masyarakat sudah menyala 24 jam di pulau-pulau besar. Ada dermaga-dermaga besar yang sudah selesai dibangun sehingga kapal-kapal Pelni yang dulu lego jangkar di tengah laut dengan penumpang yang diantar ke darat dengan perahu kecil, kini dapat langsung turun di dermaga. Akses internet kini juga menjadi lebih baik meski belum sempurna. Jalan lingkar Natuna dan berbagai infrastruktur terus dibangun terutama dengan bantuan pemerintah pusat,” kata Ronny.
Menurut dia, bantuan asing juga difasilitasi pemerintah pusat ke Natuna, seperti proyek dermaga senilai Rp 100 miliar yang dibangun oleh Pemerintah Jepang lewat Lembaga Kerja Sama Internasional Jepang (JICA). Selain itu sedang disiapkan pasar perikanan oleh JICA yang nilainya mencapai Rp 56 miliar.
Pembangunan lain yang menjadi catatan adalah adanya sekolah luar biasa (SLB), 11 unit rumah guru, angka stunting turun dari 26,2 persen pada 2016 menjadi 21,09 persen pada 2019, penyediaan air bersih pada 2017–2019 sudah menjangkau 34 desa, pencetakan lahan sawah dari 404 hektar menjadi 696 hektar, pembangunan 10 unit embung, hingga proyek Palapa Ring Barat berupa jaringan serat optik di Natuna yang menyambungkan komunikasi di seluruh Kepulauan Nusantara!
Meski maju pesat, di tingkat lokal, masih banyak persoalan masa lalu yang mengganggu pembangunan Natuna. Semisal bagi-bagi bansos oleh Bupati dan DPRD sehingga mengakibatkan penggunaan anggaran daerah yang tidak tepat sasaran.
Dalam kurun waktu 2012–2016, DPRD Kabupaten Natuna yang sudah memiliki rumah dinas, masih mendapat anggaran sewa rumah dan biaya-biaya perawatan dan kebutuhan untuk rumah sewa tersebut. Anggaran sewa rumah tersebut baru dihentikan oleh Bupati Natuna pada periode 2017–2021. Padahal, perumahan DPRD Natuna sudah tersedia sejak tahun 2009.
Seorang aktivis antikorupsi di Natuna, Arizki Fil Bahri pada akhir tahun 2018 melaporkan keganjilan penggunaan anggaran di Natuna pada periode 2009–2014 ke Bareskrim Mabes Polri dengan besaran angka mencapai Rp 80 miliar. Arizki melaporkan keganjilan adanya pembagian bantuan sosial langsung dari DPRD ke berbagai pihak dan juga anggaran sewa rumah anggota DPRD meski sudah tersedia rumah dinas.
Beberapa hal yang disoroti Arizki, antara lain belanja subsidi listrik pada 2014–2015 dan pada 2016. Dalam buku APBD Natuna, mata anggaran tahun 2014 dianggarkan subsidi listrik Kecamatan Midai, Serasan, dan Bunguran Utara setahun sebesar Rp 24,546 miliar dan belanja subsidi desa selama setahun Rp 9,63 miliar. Semasa itu, warga masih membayar Rp 50.000 per bulan untuk ”menghidupkan” listrik meski listrik hanya hidup 3–6 jam per hari. Berbeda dengan kondisi saat ini, listrik untuk rumah tangga sudah menyala 24 jam.
Adapun persoalan sewa rumah anggota DPRD selama kurun tahun anggaran 2011–2016 senilai Rp 7,7 miliar, sejak 2017 mulai ditangani serius oleh Kejaksaan Tinggi Provinsi Kepulauan Riau dengan penetapan lima tersangka. Meski demikian, hingga hari ini belum ada putusan pengadilan terhadap perkara dugaan korupsi tersebut.
Persoalan lemahnya pengawasan dan tata kelola keuangan daerah tersebut menjadi tantangan bagi pemerintahan Joko Widodo pada 2019–2024, terutama dalam semangat membangun Indonesia dari batas-batas terdepan republik ini, termasuk di dalamnya pembangunan ibu kota baru dan daerah-daerah perbatasan seperti Natuna.