Perkuat Kajian Sosial dan Lingkungan
Kajian sosial dan lingkungan di lokasi calon ibu kota negara di Kalimantan Timur perlu diperkuat. Rancangan dasar hukum pemindahan juga mendesak segera disusun.
JAKARTA, KOMPAS Pemindahan ibu kota negara RI ke Kalimantan Timur (Kaltim) memiliki dampak lingkungan dan sosial yang serius, serta biaya yang sangat besar. Oleh karena itu dibutuhkan kajian yang menyeluruh di lokasi ibu kota yang baru, terutama terkait daya dukung dan daya tampung lingkungan.
Kajian ini juga menjadi penting karena di sekitar lokasi ibu kota yang baru terdapat wilayah konservasi, seperti Taman Hutan Rakyat (Tahura) Bukit Soeharto dan Teluk Balikpapan.
Di saat yang sama, lahan untuk lokasi ibu kota negara, yaitu di Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara, mendesak segera ditetapkan. Dengan demikian, Pemerintah Provinsi Kaltim bisa segera membuat kawasan khusus nonkomersial untuk menjaga kawasan itu dan mencegah adanya gejolak sosial yang tidak perlu.
Langkah itu dibutuhkan karena sesuai penelusuran Kompas, Selasa (27/8/2019), di Kecamatan Samboja dan Kecamatan Muara Jawa, Kutai Kartanegara, warga kian gencar menjual tanahnya. Sepanjang hampir 40 kilometer menyusuri pesisir Jalan Balikpapan-Samboja, yang banyak disebut akan menjadi lokasi ibu kota, terlihat lebih dari 30 papan baru berisi pengumuman tanah dijual. Padahal, status kepemilikan tanah belum jelas. Bisa jadi tanah yang dijual berstatus kawasan konservasi, hak milik, tanah negara, atau lainnya.
Di Kelurahan Bukit Merdeka, Samboja, misalnya, harga jual tanah pada awalnya Rp 60.000-Rp 100.00 per meter persegi. Setelah muncul isu pemindahan ibu kota dengan salah satu calon ialah Kaltim, harga tanah naik menjadi Rp 1,5 juta per meter persegi. Sehari setelah Presiden Joko Widodo mengumumkan rencana pemindahan ibu kota pada Senin lalu, harga jual tanah melonjak menjadi Rp 10 juta per meter persegi.
Selain menawarkan tanah dengan harga tinggi, pemilik tanah seperti Kus dari Sulawesi Selatan juga tengah berusaha mendapatkan sertifikat untuk tanahnya di Bukit Merdeka, Samboja. Padahal, menurut Sekretaris Lurah Bukit Merdeka Antonius Pakalla, tanah Kus masuk dalam wilayah Tahura Bukit Soeharto. Dengan demikian, tanah itu tak bisa diperjualbelikan karena milik negara.
Hasil kajian
Dalam Rapat Paripurna DPR, kemarin, Ketua DPR Bambang Soesatyo menyampaikan, surat dari Presiden Joko Widodo terkait hasil kajian dan permohonan dukungan pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Kaltim telah diterima.
Namun, dalam surat itu belum dilampirkan naskah akademik dan draf regulasi yang dibutuhkan untuk memindahan ibu kota. Padahal, sesuai kajian Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, setidaknya ada lima undang-undang (UU) yang perlu direvisi, dua UU bisa direvisi atau dibuat baru, dan dua UU harus dibuat baru.
Sekretaris Fraksi Partai Amanat Nasional di DPR Yandri Susanto mengingatkan, semua landasan hukum untuk pemindahan ibu kota harus dituntaskan dulu sebelum pembangunan dilakukan di lokasi yang baru. ”Jika pembangunan dilakukan tanpa undang-undang, itu berarti tindakan ilegal,” ucapnya.
Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar mengatakan, pembahasan regulasi sebagai payung hukum pemindahan ibu kota tidak sederhana dan membutuhkan waktu. Terkait hal itu, Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri menyatakan, putusan yang dibuat pemerintah tentu punya alasan yang baik. ”Saya hanya mengusulkan dan menyarankan tolong dilihat dengan baik dan untuk waktu jangka panjang,” katanya.
Sebelumnya, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro menyatakan, naskah akademik dan pembahasan RUU yang menjadi dasar untuk ibu kota baru akan tuntas pada 2020. Dengan demikian, pada akhir 2020, pembangunan fisik ibu kota sudah dimulai di Kaltim.
Sementara itu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengatakan, kajian tentang dampak lingkungan hidup dari pemindahan ibu kota negara ke Kaltim akan diselesaikan dalam dua bulan. Penyusunan kajian itu akan melibatkan penggiat lingkungan hidup dan tokoh lainnya.
Pemerintah, lanjut Siti, berkomitmen untuk menjaga wilayah konservasi, seperti Tahura Bukit Soeharto dan Teluk Balikpapan. ”Presiden memberikan arahan, dalam penyiapan pemindahan ibu kota ini, kita sekaligus memperbaiki taman hutan rakyat dan kawasan konservasi. Kita juga sambil memperbaiki sisa-sisa lahan bekas tambang,” tuturnya.
Sebagian lahan dari calon ibu kota negara yang baru, menurut Siti, memang mengambil wilayah hutan industri. Namun, hal ini bukan masalah. Pasalnya, dalam UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan disebutkan, penggunaan dan pemanfaatan hutan ditentukan pemerintah, dalam hal ini Menteri Kehutanan. Selain itu, jika ada kebijakan nasional, pengalokasian hutan bisa ditinjau ulang.
Aparatur sipil negara
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Syafruddin menuturkan, ada 180.000 aparatur sipil negara (ASN) yang akan dipindahkan ke ibu kota negara baru di Kaltim. ASN yang akan dipindahkan adalah mereka yang bertugas di instansi pemerintah pusat, yakni kementerian dan lembaga. serta bukan yang bertugas di pemerintah daerah.
Syafruddin juga menegaskan ibu kota negara yang baru dirancang jadi kota cerdas yang ramah lingkungan. Semua fasilitas dibangun, mulai dari perkantoran, fasilitas pendidikan, kesehatan, hingga perumahan.
Sejumlah ASN di Kementerian Sekretariat Negara mengaku siap jika pindah ke ibu kota negara baru. ”Saya siap karena sejak tes CPNS sudah berjanji siap ditempatkan di mana pun di wilayah Indonesia,” ujar Rusmin Nuryadin, Asisten Deputi Komunikasi dan Informasi Publik Sekretariat Wakil Presiden. (GAL/NTA/ICH/INA/REK/CIP/BRO/AGE/DVD/INK/SAN)