Rumah adalah hajat hidup orang banyak sekaligus melibatkan berbagai pihak. Di tengah sistem penyediaan rumah yang lebih banyak diserahkan ke mekanisme pasar, pemerintah mesti memastikan jangan sampai ada yang tertinggal di belakang.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
Di Indonesia, sebagian besar penyediaan rumah dilakukan masyarakat sendiri atau secara swadaya. Sebuah mekanisme pemenuhan kebutuhan papan yang terus bertahan sampai saat ini, termasuk ketika pengembangan permukiman berkonsep real estat berkembang pesat.
Berawal dari keluarga muda yang berupaya mandiri, untuk sementara mereka tinggal di rumah kontrakan atau sebagian lain memilih tinggal di pondok mertua.
Dengan pendapatan yang terbatas, sedikit demi sedikit uang dikumpulkan. Tujuannya satu, untuk membeli lahan. Setelah lahan terbeli, uang kembali dikumpulkan untuk membangun rumah. Kecil dan sederhana dulu, nanti ketika tabungan kembali terkumpul, rumah direnovasi menjadi lebih besar dan bagus. Ruangan pun ditambah sesuai kebutuhan.
Itulah rumah tumbuh. Tidak hanya makhluk hidup, rumah pun bisa ”tumbuh” dan berkembang. Pola pengembangannya sedikit demi sedikit disesuaikan dengan kondisi keuangan dan bertambahnya anggota keluarga. Bahkan, di perdesaan, banyak rumah dibangun secara gotong royong.
Seiring urbanisasi, penyediaan hunian di perkotaan dilakukan pengembang. Pengembangan lahan skala besar berkonsep kota baru, kota mandiri, ataupun kota satelit banyak dijumpai di kota-kota besar. Di segmen lain, kawasan perumahan skala menengah sampai berkonsep kluster skala atas ditawarkan.
Meski rumah dibangun pengembang, konsep rumah tumbuh tetap dijalankan. Dengan lahan yang terbatas, penambahan ruangan dilakukan ke atas. Maka, bisa dimaklumi jika orang bilang, beli rumah kecil tidak apa-apa yang penting lahannya luas. Nanti tinggal ditambah sendiri.
Meski rumah dibangun pengembang, konsep rumah tumbuh tetap dijalankan.
Kini, lahan semakin terbatas, sedangkan penduduk semakin banyak. Harga lahan pun tidak terkendali karena bukan bergantung pada mekanisme pasar, melainkan spekulasi.
Solusinya adalah hunian vertikal, terutama untuk perkotaan. Dengan efisiensi ruang, harga pun diharapkan dapat ditekan. Masalahnya, tidak semua lapisan masyarakat mampu membeli hunian vertikal di perkotaan. Pun pula tidak semua kelompok masyarakat mampu membeli hunian tapak di perkotaan.
Menurut Pembagian Keluarga Berdasarkan Kategori Penghasilan yang diterbitkan Badan Pusat Statistik pada 2015, masyarakat dengan penghasilan sampai desil 9 atau Rp 7 juta per bulan mesti dibantu pemerintah agar dapat memiliki hunian, seperti dengan memberikan subsidi atau menyediakan hunian sewa.
Sementara, hingga 2018, dari 67,9 juta kepala keluarga (KK) di Indonesia, tercatat angka kekurangan rumah berdasarkan kepemilikan sebesar 17 persen atau sekitar 11,5 juta KK dengan 3,4 juta rumah digolongkan tidak layak huni.
Lebih rinci, masyarakat yang perlu dibantu pemerintah tersebut digolongkan lagi menjadi kelompok yang berpenghasilan tetap dan yang tidak berpenghasilan tetap. Meski subsidi perumahan diperuntukkan bagi semua kelompok, toh yang banyak mendapatkan adalah mereka yang berpenghasilan tetap. Sebab, bank penyalur subsidi lebih memilih mereka yang bankable.
Angka kekurangan rumah, berdasarkan kepemilikan di Indonesia tahun 2018, mencapai 17 persen atau sekitar 11,5 juta unit.
Meski demikian, mendapat subsidi perumahan bukan lantas menyelesaikan permasalahan. Lokasi rumah yang terpencil justru menambah ongkos transportasi. Angka kekurangan rumah berkurang, tetapi masalah lain muncul. Sementara mereka yang tidak mampu mengakses subsidi tinggal di rumah yang seadanya yang sebenarnya tidak layak huni.
Dalam Kongres Perumahan Rakyat Sehat di Bandung, 25-30 Agustus 1950, disebutkan, ”Rakyat berhak untuk mendapatkan perumahan dan itu dapat terwujud dengan baik apabila ada itikad baik dari semua pihak.”
Rumah adalah hajat hidup orang banyak sekaligus melibatkan berbagai pihak. Penyediaan rumah bagi rakyat tidak dapat hanya dilakukan dari satu sisi, hanya di hulu atau hilir. Di tengah sistem penyediaan rumah yang lebih banyak diserahkan ke mekanisme pasar, pemerintah mesti memastikan jangan sampai ada yang tertinggal di belakang.
Dengan kewenangannya, hal itu sangat dimungkinkan. Hanya tinggal kemauan pemerintah untuk mengintegrasikan kapasitas yang selama ini masih tersebar. Modalnya sudah ada, yakni semangat masyarakat untuk berdikari melalui konsep rumah tumbuhnya.