Sejauh ini, dari total 55 RUU yang terdapat dalam Program Legislasi Nasional 2019, baru empat RUU yang disahkan. Sementara 30 RUU lainnya sudah masuk pembahasan tingkat satu. Sisanya, belum dibahas sama sekali.
Oleh
Agnes Theodora dan Rini Kustiasih
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — DPR dan pemerintah berencana untuk segera merevisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Pembentukan Perundang-undangan sebagai siasat mengatasi kegagalan menyelesaikan puluhan rancangan undang-undang. Melalui revisi, rancangan undang-undang yang belum tuntas bisa dilanjutkan pembahasannya oleh pemerintah dan DPR periode 2019-2024.
Sejauh ini, dari total 55 rancangan undang-undang (RUU) yang terdapat di Program Legislasi Nasional 2019, baru empat RUU yang disahkan. Adapun 30 RUU lainnya sudah masuk pembahasan tingkat satu. Sisanya belum dibahas sama sekali.
Sementara itu, sisa masa jabatan DPR periode 2014-2019 tinggal 19 hari kerja. Dengan sempitnya waktu, banyak RUU berpotensi besar tidak akan berhasil disahkan pada periode ini.
Untuk menyiasati hal itu, DPR dan pemerintah segera menindaklanjuti rencana merevisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Pembentukan Perundang-undangan. Revisi itu terbatas untuk membahas implementasi mekanisme luncuran atau disebut carry over.
Mekanisme itu memungkinkan pembahasan RUU dilakukan lintas periode atau oleh periode pemerintahan dan DPR selanjutnya.
Sistem luncuran selama ini belum pernah berlaku dalam proses pembahasan regulasi sehingga RUU yang tidak selesai dibahas tidak bisa dilanjutkan pada periode berikutnya. Maka, naskah akademik dan draf RUU harus dirancang kembali dari nol jika RUU bersangkutan kembali diusulkan dalam Prolegnas periode berikutnya.
Menurut rencana, pimpinan DPR akan menyelenggarakan rapat konsultasi dengan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly guna membahas revisi undang-undang itu, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (28/8/2019) siang.
Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar mengatakan, pertemuan itu akan membahas keinginan mempercepat revisi UU Peraturan Pembentukan Perundang-undangan dalam sisa waktu masa jabatan DPR.
”Supaya di periode selanjutnya, kita membahas RUU tidak harus mulai dari titik nol lagi. Selain menghemat waktu, dari segi anggaran, juga bisa mengurangi keluarnya biaya untuk pembahasan RUU supaya lebih sederhana,” kata Indra, kemarin.
Ia mengatakan, revisi hanya terbatas untuk beberapa pasal, khususnya terkait mekanisme carry over. Oleh karena itu, pembahasannya diyakini bisa diselesaikan dalam waktu singkat. ”Yang penting ada kesepakatan antara pemerintah dan DPR, tidak perlu lama-lama, apalagi substansinya hanya sedikit,” katanya.
Ada beberapa RUU yang saat ini masih berjalan di tempat dan berpotensi tidak selesai dibahas oleh DPR dan pemerintah periode ini. Pembahasan sejumlah RUU itu direncanakan bisa dilanjutkan pada periode mendatang jika gagal disahkan sekarang.
Beberapa di antara RUU yang menjadi sorotan publik di antaranya Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP), RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, RUU Keamanan Siber, dan RUU Pertanahan. RKUHP menjadi RUU yang paling lama dibahas oleh periode ini, yakni lebih dari empat tahun.
Perihal legislasi ini juga sempat disoroti berulang kali oleh Presiden Joko Widodo.
Pada Senin (26/8/2019), Presiden meminta agar pembahasan aturan di lembaga legislatif bisa lebih cepat dan tidak bertele-tele meski tetap harus teliti dari segi substansi. Ia juga berharap DPR tak membuat aturan perundangan yang terlalu banyak, tetapi benar-benar yang diperlukan (Kompas, 27/8/2019).
RKUHP dikebut
Terkait RKUHP, DPR dan pemerintah tetap bertekad merampungkan pembahasan pada akhir bulan ini. Padahal, sebelumnya, kelompok masyarakat sipil dan publik mengkritisi serta meminta agar RKUHP tidak terburu-buru disahkan karena masih ada pasal-pasal problematik.
Kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP menyoroti adanya 16 isu krusial dalam RKUHP. Beberapa di antaranya masalah hukuman mati, pengaturan makar, serta munculnya beberapa pasal yang sudah tidak relevan dengan kondisi demokrasi saat ini, seperti pasal penghinaan presiden dan penghinaan pemerintahan yang sah.
Selain itu, ada pula masalah kriminalisasi penghinaan terhadap agama, kriminalisasi persetubuhan antara laki-laki dan perempuan di luar perkawinan, serta masalah tindak pidana pelanggaran HAM yang berat.
Isu krusial yang disoroti oleh kelompok masyarakat sipil lebih banyak dibandingkan dengan perkembangan pembahasan di internal DPR dan pemerintah. Mengacu pada hasil rapat konsinyering Panja RKUHP terakhir, 26 Juni 2019, tinggal tersisa tujuh isu krusial dalam RKUHP.
Anggota Panitia Kerja (Panja) RKUHP dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, mengatakan, akhir pekan ini, panja dari DPR dan pemerintah akan mengadakan rapat konsinyering untuk membahas sejumlah pasal yang belum rampung, khususnya isu yang masih disoroti dan dikritik kelompok masyarakat sipil.
Ia mengatakan, masukan dari kelompok masyarakat sipil akan tetap ditampung oleh panja. Namun, panja hanya bisa mengakomodasi masukan yang sifatnya perbaikan substansi atau rumusan redaksional. Sementara untuk isu atau pasal yang diminta dihapus, eksekusinya akan lebih sulit dilakukan.
”Sebenarnya beberapa masukan itu sudah ada yang kami adopsi, tetapi memang sulit kalau tuntutannya adalah meniadakan pasal-pasal tertentu dari RKUHP, sementara dari fraksi-fraksi di DPR dan pemerintah semua sudah menyepakatinya,” kata Arsul.
Ia menampik anggapan Panja RKUHP tidak melibatkan kelompok masyarakat sipil dalam pembahasan RUU. ”Secara informal, kami minta agar teman-teman tenaga ahli dari DPR dan pemerintah yang sedang merapikan draf RKUHP untuk berkomunikasi dengan teman-teman masyarakat sipil, bahkan mengadakan RDPU,” ujarnya.
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati, mengatakan, RKUHP perlu dikaji ulang untuk mencegah agar RKUHP tidak sekadar jadi produk hukum yang menjadi capaian pemerintah, tetapi ujung-ujungnya menjadi sumber masalah baru hukum pidana. Oleh karena itu, masyarakat sipil meminta agar pemerintah dan DPR tidak memaksakan diri mengesahkan RKUHP.