Kemajuan suatu negara saat ini didasari oleh penguasaan mereka terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi yang melahirkan inovasi. Namun, kemampuan inovasi Indonesia masih kalah dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya.
Oleh
M Zaid Wahyudi / Cokorda Yudistira
·4 menit baca
Indonesia harus bekerja keras untuk meningkatkan kemampuan inovasi. Salah satu caranya dengan memperbaiki kualitas pendidikan di perguruan tinggi.
DENPASAR, KOMPAS — Kemajuan suatu negara saat ini didasari oleh penguasaan mereka terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi yang melahirkan inovasi. Namun, kemampuan inovasi Indonesia masih kalah dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya.
Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam puncak peringatan Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Hakteknas), Rabu (28/8/2019), di Denpasar, Bali, mengingatkan makna penting dari Hakteknas adalah kemampuan bangsa menghasilkan inovasi-inovasi yang bermanfaat bagi kemajuan bangsa, bukan peringatan harinya semata.
”Inovasi harus mampu meningkatkan nilai tambah, efisiensi, biaya yang lebih murah, waktu yang lebih cepat, hingga peningkatan produktivitas,” katanya.
Inovasi juga harus berkembang setiap hari. Karena itu, Kalla mengkritik lembaga riset yang selalu menampilkan karya inovasi yang sama selama empat kali perayaan Hakteknas yang dihadirinya dalam lima tahun terakhir. Kondisi itu membuat kemampuan inovasi Indonesia makin tertinggal dari negara-negara lain, khususnya di Asia Tenggara.
Kalla mengkritik lembaga riset yang selalu menampilkan karya inovasi yang sama selama empat kali perayaan Hakteknas yang dihadirinya dalam lima tahun terakhir.
Indeks Inovasi Global (GII) 2018 menempatkan Indonesia pada peringkat ke-85 dari 126 negara yang disurvei. Di ASEAN, peringkat Indonesia kalah dibandingkan dengan Singapura yang ada di peringkat ke-5, Malaysia (35), Thailand (44), Vietnam (45), Brunei Darussalam (67), Filipina (73), dan hanya unggul dari Kamboja (98).
Kemampuan inovasi Indonesia juga kalah dibandingkan dengan negara-negara dengan pertumbuhan ekonomi yang baik, seperti Korea Selatan (12), China (17), Turki (50), India (57), dan Arab Saudi (61).
”Itu berarti Indonesia masih harus bekerja keras,” katanya.
Kunci kemajuan China, lanjut Kalla, adalah kemampuannya menirukan dan menambahi produk inovasi berbasis iptek yang sudah ada hingga akhirnya melahirkan inovasi baru. Cara itu juga dilakukan sejumlah negara lain karena untuk melakukan inovasi memang tidak harus selalu dimulai dari nol karena akan membutuhkan waktu lama.
Kunci kemajuan China adalah kemampuannya menirukan dan menambahi produk inovasi berbasis iptek yang sudah ada hingga akhirnya melahirkan inovasi baru.
Perguruan tinggi
Langkah awal untuk memperbaiki kemampuan inovasi, lanjut Kalla, salah satunya adalah dengan memperbaiki kualitas pendidikan di perguruan tinggi.
Pada 2017, China memiliki 2.900-an akademi serta universitas negeri dan universitas swasta yang tidak banyak. Sejak ekonomi China tumbuh tinggi pada 1990-an, negara itu merestrukturisasi perguruan tingginya dengan menggabungkan sejumlah akademi dan universitas agar lebih efisien.
Sementara Indonesia saat ini memiliki sekitar 4.600 perguruan tinggi dalam berbagai bentuk dengan lebih dari separuhnya berupa sekolah tinggi. Namun, besarnya jumlah perguruan tinggi Indonesia itu nyatanya tak mendongkrak peringkat inovasi.
”Artinya, jumlah perguruan tinggi Indonesia yang banyak itu tidak relevan dengan hasilnya,” tambah Kalla.
Bangsa Indonesia juga perlu serius memikirkan masa depan, sama seperti cara yang dilakukan perusahaan untuk terus maju dan berkembang. Ke depan, Indonesia butuh lebih banyak inovasi yang menyangkut banyak hal yang tidak selalu terkait dengan teknologi informasi, tetapi bisa juga inovasi di bidang manufaktur atau layanan dan sistem.
Ke depan, Indonesia butuh lebih banyak inovasi yang menyangkut banyak hal yang tidak selalu terkait dengan teknologi informasi, tetapi bisa juga inovasi di bidang manufaktur atau layanan dan sistem.
”Indonesia masih impor beras atau sapi, artinya inovasi sangat dibutuhkan,” ujarnya.
Perguruan tinggi memiliki kesempatan besar untuk melakukan inovasi. Namun, tujuan akhir dari inovasi adalah produk-produk atau layanan yang bisa dikomersialisasikan, bukan sekadar berakhir dalam publikasi di jurnal ilmiah semata.
Budaya ilmiah juga perlu ditumbuhkan di masyarakat, mulai dari budaya membaca hingga melakukan riset. Terbangunnya budaya maju akan meningkatkan mutu dan kemajuan bangsa.
Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir sependapat dengan pernyataan Wakil Presiden. Untuk itu, Kemristek dan Dikti mendorong agar hasil riset perguruan tinggi serta lembaga penelitian tidak berhenti hanya sampai tahap pengembangan purwarupa . Hasil riset harus dapat dimanfaatkan dan digunakan masyarakat, termasuk industri.
Kemristek dan Dikti mendorong agar hasil riset perguruan tinggi serta lembaga penelitian tidak berhenti hanya sampai tahap pengembangan purwarupa semata.
”Inovasi dari hasil riset harus dilakukan hilirisasi dan komersialisasi. Artinya, secara ekonomi, pengembangan hasil riset harus menghasilkan profit dan menguntungkan pengembangnya,” katanya.
Pemerintah juga mendorong agar perguruan tinggi membangun inkubasi bisnis sebagai bagian dari ekosistem bagi pengembangan perusahaan pemula (start up) di daerah. Indonesia memiliki potensi besar untuk tumbuhnya perusahaan pemula menjadi komersial.
”Dalam kurun waktu lima tahun sejak 2014, Kemristek dan Dikti sudah mengembangkan 1.330 start up yang dikomersialisasikan. Ini sangat tinggi,” ujarnya.