Defisit BPJS Kesehatan Bukan karena Nilai Iuran Semata
Kenaikan iuran JKN hingga 100 persen justru bisa menimbulkan masalah baru, antara lain tunggakan yang semakin besar di segmen PBPU serta turunnya minat peserta PBPU untuk mengambil di kelas I dan II.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Persoalan defisit keuangan pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan bukan hanya karena soal iuran. Masalah ini harus diselesaikan secara holistik oleh para pemangku kepentingan.
Persoalan yang mendesak dibenahi agar Jaminan Kesehatan Nasional bisa berjalan optimal, antara lain, optimalisasi sistem kepesertaan, penyelesaian piutang belum tertagih, penegakan hukum, pemerataan sistem dan kualitas pelayanan kesehatan, serta efektivitas bauran kebijakan.
Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Angger P Yuwono, saat dihubungi di Jakarta, Kamis (29/8/2019), menuturkan, kenaikan iuran peserta Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) harus dilakukan di semua segmen peserta. Jika tidak dinaikkan, rasio klaim Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan membesar sehingga defisit juga semakin membengkak.
”Melalui skema besaran iuran yang telah diperhitungkan DJSN, diperkirakan dalam dua tahun ke depan tidak terjadi akumulasi defisit BPJS Kesehatan. Iuran perlu dinaikkan apabila tidak ingin kesinambungan program JKN terancam,” katanya.
Berdasarkan Sistem Informasi Monitoring dan Evaluasi (SIMonev) DJSN, rasio klaim atau perbandingan antara pendapatan iuran dan pembayaran manfaat BPJS Kesehatan semakin tinggi.
Tahun 2016, rasio klaim sebesar 99,19 persen. Jumlah ini terus meningkat menjadi 113,74 persen (2017), 115 persen (2018), dan 115,39 (hingga pertengahan Juni 2019). Angka klaim yang lebih dari 100 persen menandakan ada ketimpangan antara pendapatan berupa iuran peserta dan pengeluaran melalui pembiayaan manfaat.
Angger mengatakan, perhitungan besaran iuran yang diusulkan DJSN berdasarkan sejumlah pertimbangan, antara lain operasionalisasi BPJS Kesehatan lima tahun terakhir serta proyeksi lima tahun mendatang.
Selain itu, komponen perhitungan lain, seperti data biaya kesehatan, jumlah kepesertaan, dan data pemanfaatan atau utilitas peserta JKN-KIS. Semua komponen tersebut dilihat tiap segmen peserta dengan pemanfaatan pada lima tahun terakhir dan proyeksi lima tahun ke depan.
Usulan DJSN
Jumlah iuran yang diusulkan DJSN adalah Rp 42.000 untuk penerima bantuan iuran (PBI), yang selama ini dibayar pemerintah melalui APBN. Adapun untuk peserta bukan penerima upah (PBPU), yang membayar sendiri iuran secara sukarela, DJSN mengusulkan naik menjadi Rp 120.000 untuk kelas I, Rp 75.000 (kelas II), dan Rp 42.000 (kelas III).
Usulan DJSN ternyata lebih rendah dari proposal Kementerian Keuangan. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Rapat Kerja DPR mengusulkan iuran PBPU naik menjadi Rp 160.000 (kelas I) dan Rp 110.000 (kelas II). Dengan demikian, pada tahun 2020, BPJS Kesehatan akan memiliki surplus keuangan Rp 3 triliun.
”Dengan hitungan itu, ditambah dengan asumsi rawat inap dan rawat jalan yang semakin meningkat, surplus BPJS Kesehatan pada 2021 menjadi Rp 11,59 triliun, pada 2022 menjadi Rp 8 triliun, dan 2023 menjadi Rp 4,1 triliun. Dengan catatan, review iuran kembali dilakukan pada 2025 karena proyeksi ke depan jumlah peserta semakin banyak dengan utilitas yang juga meningkat,” kata Sri Mulyani di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (27/8/2019).
Kontraproduktif
Usulan kenaikan iuran JKN yang begitu tinggi tersebut langsung mendapat respons dari kelompok masyarakat sipil. Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, berpendapat, kenaikan iuran JKN hingga 100 persen justru bisa menimbulkan masalah baru, antara lain tunggakan yang semakin besar di segmen PBPU serta turunnya minat peserta PBPU untuk mengambil di kelas I dan II.
”Hasilnya justru kontraproduktif. Potensi penerimaan dari kelas I dan kelas II pada segmen PBPU akan menurun. Saya harapkan kenaikan tidak terlalu besar, dan lakukan perbaikan, yaitu penegakan hukum dan kualitas pelayanan kesehatan,” ucapnya.
Menurut Kepala Humas BPJS Kesehatan M Iqbal Anas Ma’ruf, rendahnya kepatuhan segmen PBPU dalam membayar iuran disebabkan oleh belum adanya penegakan hukum bagi peserta yang menunggak. Untuk itu, BPJS Kesehatan mendorong kepatuhan membayar dengan memberikan kemudahan dalam proses dan akses pembayaran peserta.
”BPJS kesehatan membuka luas chanel pembayaran untuk memudahkan pembayaran peserta JKN yang bermacam-macam demografinya. Pembayaran peserta mandiri diarahkan untuk dengan autodebet supaya lebih patuh. Di sampaing itu, kami tetap mengingatkan melalui SMS, telekolekting, dan kader JKN,” katanya.
Benahi tata kelola
Langkah pencegahan fraud atau kecurangan di fasilitas kesehatan, baik fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) maupun fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan (FKRTL), harus digalakkan. Tata kelola pembayaran dengan teknologi informasi perlu dijalankan secara masif.
Ketua Kompartemen JKN Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Daniel Budi Wibowo mengatakan, integrasi akan dilakukan antara Sistem Rujukan Terpadu (Sisrute) Kementerian Kesehatan dan Health Facilities Information System (HFIS) BPJS Kesehatan.
”Melalui sistem integrasi, saat FKTP akan melakukan rujukan, maka harus melihat rumah sakit mana yang mampu dan ada tempat, melalui internet. Semua rumah sakit wajib mengunggah data kuota kamar dan kunjungan pasien rawat jalan yang belum terpakai. Harapannya, tidak ada lagi penumpukan pasien di satu rumah sakit ataupun penolakan rumah sakit karena alasan penuh,” ucapnya.
Editor:
hamzirwan
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.