Di kalangan warga Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, belum ada yang tahu bahwa di sanalah kompleks pemerintahan negara nantinya akan dibangun. Meski begitu, harapan baru bersemi.
Begitu pula warga di Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara, yang punya harapan lebih sejahtera. Setidaknya, ada perbaikan infrastruktur, seperti jalan. Dua kecamatan itu bersebelahan. ”Saya berharap dengan kepindahan ibu kota ke sini, kehidupan kami lebih baik lagi,” ujar Tarno (50), petugas Linmas Desa Suko Mulyo, Sepaku, Rabu (28/8/2019).
Siang itu ia sedang menonton Pergelaran Seni Tari Tawang Alun di lapangan seberang Kantor Desa Suko Mulyo di Kilometer 26 Jalan Raya Samboja-Sepaku. Penduduk Sepaku memang sebagian besar transmigran asal Jawa tahun 1975. Suasana hati Tarno campur aduk. Ada senang, ada cemas. Yang jelas, rencana pemindahan ibu kota jadi topik perbincangan hangat dengan siapa saja ia bertemu.
”Saya yakin kami juga akan kebagian rezeki. Semoga akan merasakan kemajuan, misalnya jalan di sini yang banyak bolong pasti bakal mulus,” ujar Tarmudji (53), warga Sepaku. Di Sepaku, dari satu desa ke desa lain dihubungkan jalan aspal berlubang-lubang. Lampu penerang jalan umum di Jalan Raya Samboja-Sepaku pun sebagian padam. Gelap gulita pada malam hari.
Camat Sepaku Risman Abdul mengungkapkan, luas wilayahnya hampir 117.300 hektar, yang dihuni 36.400 jiwa di 11 desa dan 4 kelurahan. Dari 117.300 hektar itu, 30.000 hektar milik 15.000 keluarga program transmigrasi tahun 1975 dari Jawa. Di luar 30.000 hektar itu adalah tanah negara, yang antara lain dikelola perusahaan swasta kehutanan dan pertambangan.
”Sebelum ada transmigran, wilayah Sepaku hutan belantara. Ada kampung-kampung kecil orang Paser yang berkembang jadi kelurahan atau desa yang berbaur dengan pendatang,” kata Risman.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro mengatakan, komposisi penduduk Kaltim yang beragam menjadi salah satu pertimbangan ibu kota negara dipindahkan ke daerah itu. Selain Jawa, ada warga Bugis, Banjar, dan Dayak. Akseptabilitas paling baik ada di Kaltim.
Layanan membaik
Pemindahan ibu kota negara diharapkan warga Sepaku mendongkrak layanan dasar, khususnya air dan listrik. Ada warga yang masih tak terlayani jaringan pipa air (PDAM) sehingga mengandalkan sumur bor atau tampungan air hujan.
Abdullah, warga Desa Tengin Baru, Sepaku, mengatakan, keluarganya mendapat layanan air PDAM skala kecil yang bersumber dari air Sungai Tengin. Di Samboja, jika ada perhelatan besar di desa, air pasti mati. ”PDAM sering mati, setidaknya sekali seminggu,” kata Handoko, warga Desa Margo Mulyo.
Selain itu, pemindahan ibu kota diharapkan memacu peningkatan mutu pendidikan dan kesehatan. Di Sepaku belum ada layanan kesehatan setingkat rumah sakit. Samboja punya, yakni RSUD Aji Batara Agung Dewa Sakti.
”Semoga nanti di Sepaku ada rumah sakit dan pusat belanja modern,” kata Inggar Efriyanata, warga yang juga Ketua Badan Perwakilan Desa Suko Mulyo.
Namun, bersamaan dengan harapan itu, spekulan tanah bermunculan. Di Sepaku, misalnya, harga tanah dari Rp 35 juta per hektar kini minimal Rp 100 juta per hektar. Di Samboja, lonjakan harga tanah juga menggila, dari Rp 1,5 juta per meter persegi menjadi Rp 10 juta per meter persegi.
Camat Samboja Ahmad Nurkhalis dan Camat Sepaku Risman Abdul mengatakan, belum ada laporan pelepasan aset tanah warga besar-besaran. Namun, aparatur kecamatan, desa, dan kelurahan jadi punya kesibukan baru, yakni melayani permintaan informasi harga tanah dan lokasi paling dekat ibu kota baru.
Kasak-kusuk sudah terjadi, warga jadi melek media dan berita. Lebih dari segalanya, seperti kata Tarno, warga berharap hidup lebih baik, seperti layanan dasar tercukupkan.(SUCIPTO/AMBROSIUS HARTO)