Pemerintah Kabupaten Brebes, Jawa Tengah menilai, rendahnya serapan garam yang mengakibatkan harga garam jatuh dipengaruhi kualitas produk pasar. Perbaikan kualitas memerlukan kesediaan petani mengintegrasikan lahan tambak garamnya.
Oleh
KRISTI UTAMI
·4 menit baca
BREBES, KOMPAS -- Pemerintah Kabupaten Brebes, Jawa Tengah menilai, rendahnya serapan garam yang mengakibatkan harga garam jatuh dipengaruhi kualitas produk pasar. Perbaikan kualitas memerlukan kesediaan petani mengintegrasikan lahan tambak garamnya.
Persoalan terkait anjloknya harga garam hampir terjadi di setiap masa panen garam. Tak jarang, harga garam berada jauh di bawah biaya produksi. Pada dua pekan belakangan ini misalnya, harga garam terjun bebas menjadi Rp 200 per kilogram. Padahal, biaya produksinya Rp 700 per kilogram. Penurunan harga ini merupakan yang terburuk sejak 5 tahun terakhir.
Sekretaris Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Brebes Sodikin menuturkan, kesediaan petani diperlukan untuk memperbaiki kualitas garam. Sodikin menjelaskan, perbaikan kualitas garam akan dilakukan dengan membentuk lahan garam terintegrasi.
Kesediaan petani diperlukan untuk memperbaiki kualitas garam. Perbaikan kualitas garam akan dilakukan dengan membentuk lahan garam terintegrasi.
"Pengintegrasian lahan ini membutuhkan komitmen dan kesediaan para petani. Sebab, pengintegrasian lahan ini dilakukan dengan cara menggabungkan lahan tambak garam milik beberapa petani menjadi satu lokasi," kata Sodikin, Kamis (29/8/2019) di Brebes.
Menurut Sodikin, pengintegrasian lahan dimaksudkan agar pengelolaan lahan tambak garam bisa dilakukan secara berkelompok serta penerapan teknologinya lebih efektif dan efisien.
Produksi garam di lahan terintegrasi dilakukan di atas karpet tambak atau geomembran. Teknologi ini akan membuat proses kristalisasi air laut menjadi garam lebih cepat dan garam yang dihasilkan tidak bercampur dengan tanah.
"Integrasi lahan ini rencananya akan dilakukan di lahan seluas 84 hektar di Desa Pengaradan dan Desa Krakahan di Kecamatan Tanjung serta Desa Limbangan di Kecamatan Losari. Harapannya, integrasi lahan bisa diterapkan juga ke sentra garam di kecamatan lainnya," ujar Sodikin.
Masalah lain yang menyebabkan harga jual garam Brebes rendah, menurut Sodikin, adalah karena selama ini, garam Brebes dijual ke tengkulak dalam bentuk garam krosok atau kristal. Garam krosok dihargai lebih rendah dibanding garam yang diolah menjadi garam industri.
Tahun ini, Pemerintah Kabupaten Brebes mencoba menyalurkan garam petani kepada perusahaan produsen infus. Setelah pemerintah menandatangani nota kesepahaman, petani Brebes diberi kesempatan untuk menyuplai sebanyak 21 ton garam per bulan.
Garam untuk keperluan industri dihargai cukup tinggi yakni Rp 2.000 per kilogram. Namun, standar kualitas garam industri juga tergolong tinggi. Sehingga pelatihan kepada petani diperlukan agar mereka bisa memproduksi garam sesuai dengan standar.
"Mengubah pola pikir para petani agar mau disiplin memproduksi garam dengan baik cukup sulit. Sebab, selama bertahun-tahun mereka sudah terbiasa dengan cara lama. Untuk itu, pembinaan dan pelatihan akan kami intesifkan," imbuh Sodikin.
Pemerintah juga mendorong hilirisasi produk dengan cara mengubah garam krosok menjadi garam spa. Sasarannya adalah untuk salon-salon yang ada di Brebes dan sekitarnya. Jika digarap serius, pasar ini cukup potensial untuk menjadi alternatif penyaluran bagi petani garam.
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Brebes mencatat, di Brebes ada sekitar 600 petani garam dengan luasan tambak garam sekitar 570 hektar. Adapun hasil panen garam hingga saat ini sekitar 47.000 ton. Jika ribuan ton garam tersebut berkualitas tinggi, kesejahteraan petani garam di Brebes akan meningkat.
Upaya desa
Garam merupakan produk unggulan beberapa desa di Brebes, salah satunya Desa Swojajar, Kecamatan Wanasari. Dihubungi secara terpisah, Kepala Desa Sawojajar, Kecamatan Wanasari Suwandi mengatakan, tidak hanya pemerintah kabupaten, pemerintah desa juga mau berkontribusi menyejahterakan petani. Salah satu caranya adalah mengalokasikan dana desa sebesar Rp 30 juta untuk pelatihan dan pembinaan petani garam.
Pelatihan ini diperlukan untuk membuat petani mau memperhatikan kualitas garam yang dihasilkan sekaligus mengajari petani untuk mencari alternatif saluran penjualan.
Pelatihan ini rencananya akan dilakukan November mendatang. Menurut Suwandi, pelatihan ini diperlukan untuk membuat petani mau memperhatikan kualitas garam yang dihasilkan sekaligus mengajari petani untuk mencari alternatif saluran penjualan.
Muhammad Suharta (26), salah satu petani garam di Desa Sawojajar mengatakan, selama ini dirinya bergantung dengan harga pasaran yang ditawarkan tengkulak. Suharta mengaku tidak punya alternatif saluran penjualan lain selain kepada tengkulak. Di saat harga garam tengah terpuruk seperti sekarang ini, Suharta hanya bisa pasrah.