Jayapura Rusuh, Blokir Internet Belum Akan Dicabut
Kerusuhan di Jayapura, Papua, hari ini, menjadi dasar pemerintah untuk terus memblokir akses internet di Papua dan Papua Barat. Namun, kebijakan pemerintah ini dikritik. Menutup akses informasi saat terjadi ketegangan justru bisa ikut menyulut kerusuhan.
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah belum akan membuka akses layanan data telekomunikasi di Papua dan Papua Barat. Apalagi setelah kerusuhan kembali pecah di Jayapura, Papua, Kamis (29/8/2019). Sebab, melalui media sosial, kabar bohong tentang Papua marak tersebar yang dapat membuat situasi di kedua provinsi tersebut semakin tidak kondusif.
”Media sosial menjadi salah satu alat untuk memviralkan berita bohong, kemudian menjadi salah satu alat propaganda untuk menyerang pemerintah. Jika pemerintah bertindak, bukan berarti ini tindakan sewenang-wenang dan melanggar hukum, melainkan untuk menjaga keamanan nasional,” ujar Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis.
Seperti diketahui, sejak Senin (18/8/2019), Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) memutuskan melambatkan akses internet menyusul ketegangan di sejumlah daerah di Papua dan Papua Barat.
Kemudian mulai Rabu (21/8/2019), pemerintah mengambil langkah lebih jauh, yaitu memblokir akses internet. Artinya, hingga kini, sudah sembilan hari pemblokiran internet tersebut berlangsung.
Wiranto mengatakan, pemerintah tidak ragu-ragu membatasi akses internet selama kondisi di Papua dan Papua Barat tidak kondusif. Terlebih hari ini, kerusuhan pecah di Jayapura. Salah satunya, dia menerima bahwa laporan kantor Majelis Rakyat Papua dibakar oleh massa.
”Selain itu, kemarin (Rabu, 28/8/2019) ada kerusuhan di Deiyai, Papua, yang memakan korban jiwa 1 anggota TNI dan 2 masyarakat sipil. Selain itu, 5 anggota TNI dan anggota kepolisian juga mengalami luka-luka,” tambahnya.
Bukan solusi
Dihubungi secara terpisah, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid mengkritik kebijakan pemerintah tersebut. Penutupan akses internet tidak menyelesaikan masalah, apalagi meredakan ketegangan di Papua ataupun Papua Barat seperti diharapkan pemerintah.
"Menutupi akses informasi saat terjadi ketegangan malah akan mendorong semakin banyak masyarakat Papua untuk keluar rumah dan mencari tahu apa yang terjadi, sehingga para peserta demonstrasi justru bakal bertambah besar," katanya.
Ini setidaknya terlihat dari pecahnya kerusuhan di Jayapura hari ini. Kerusuhan terjadi ketika pemerintah memblokir internet.
Alih-alih menutup akses internet, pemerintah bersama aparat penegak hukum seharusnya bergerak cepat menindak para pelaku ujaran rasisme di asrama mahasiswa Papua, di Surabaya, 16-17 Agustus lalu. Sebab, lambannya pelaku ditindak membuat masyarakat Papua marah dan membuat kerusuhan kembali pecah di Jayapura hari ini.
Setelah insiden di Surabaya, polisi baru menetapkan tersangka dalam peristiwa ujaran rasisme, kemarin. Polda Jatim menetapkan Tri Susanti sebagai tersangka. Tri berperan sebagai koordinator lapangan saat unjuk rasa di asrama mahasiswa Papua.
Sementara Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto saat berada di Timika, Papua, kemarin, mengatakan dua prajurit TNI telah diperiksa terkait dugaan ujaran rasisme. ”Saya sampaikan kepada seluruh anggota bahwa TNI tidak memberikan ruang terhadap pelaku-pelaku rasis dan akan ditindak tegas,” katanya seperti dikutip dari Kompas.com.