Tantangan Ekonomi Berat, Kabinet Jokowi-Amin Harus Efektif
Kehendak Presiden Joko Widodo mengubah nomenklatur sejumlah kementerian dan menyertakan menteri muda dalam kabinet periode kedua pemerintahannya perlu memperhatikan aspek efektivitas kerja pemerintah.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kehendak Presiden Joko Widodo mengubah nomenklatur sejumlah kementerian dan menyertakan menteri muda dalam kabinet periode kedua pemerintahannya perlu memperhatikan aspek efektivitas kerja pemerintah. Tantangan ekonomi lima tahun ke depan membutuhkan kerja yang cepat, efektif, dan efisien.
Hal itu mengemuka dalam diskusi bertajuk ”Kaum Muda dan Kementerian Baru dalam Postur Kabinet Jokowi-Amin: Perspektif Pengusaha dan Media” yang diselenggarakan Para Syndicate di Jakarta, Kamis (29/8/2019).
Hadir sebagai pembicara Wakil Bendahara Umum Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP Hipmi) Ajib Hamdani, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani, Pemimpin Redaksi Koran Tempo Budi Setyarso dan Wakil Pemimpin Redaksi harian Kompas Tri Agung Kristanto. Diskusi dimoderatori Direktur Eksekutif Para Syndicate Ari Nurcahyo.
Shinta menjelaskan, periode pemerintahan presiden-wakil poresiden terpilih, Joko Widodo-Ma\'ruf Amin, 2019-2024, bakal dihadapkan pada tantangan ekonomi yang berat. Kurs rupiah terhadap dollar AS lemah dibandingkan dengan negara tetangga, seperti Vietnam dan Malaysia. Defisit neraca perdagangan juga memperburuk kondisi perekonomian.
Oleh karena itu, diperlukan kabinet dengan menteri dan sistem kerja yang mampu bekerja efektif dan tepat sasaran. Bukan waktunya lagi bagi presiden untuk menggelontorkan wacana. ”Pada periode kedua ini, Presiden Joko Widodo dan kabinetnya harus bekerja sangat cepat,” kata Shinta.
Ia menambahkan, selama ini dunia usaha terkendala dengan kerja kementerian yang tak berjalan efektif. Koordinasi antar-kementerian juga masih minim.
Oleh karena itu, penyusunan kabinet Jokowi-Amin saat ini semestinya tak hanya memperhatikan kualifikasi menteri. Presiden juga harus memastikan sistem pemerintahan berlangsung kondusif.
Sementara Ajib Hamdani menilai, para pengusaha selama ini dihadapkan pada persoalan tidak adanya kepastian hukum. Kementerian cenderung mengubah regulasi setiap kali terjadi pergantian pemimpin. Selain itu, terjadi pula ketimpangan aturan di level pemerintah pusat dengan daerah.
Menurut Ajib, terobosan seperti pengubahan nomenklatur sejumlah kementerian belum terlalu dibutuhkan. Semestinya presiden memprioritaskan pembenahan sistem kerja yang ditentukan tiga hal, yaitu visi, tim yang baik, dan kemampuan tim menerjemahkan visi presiden dalam aksi nyata di lapangan.
Budi Setyarso menjelaskan, berdasarkan wawancara Tempo dengan Presiden, sejumlah kementerian akan dibubarkan, dilebur, dan didirikan. Contohnya, membubarkan Kementerian Pemuda dan Olahraga dan memasukkan fungsi kepemudaan pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kemudian menambah fungsi Kementerian Luar Negeri untuk juga menangani perdagangan internasional.
Selain itu, Presiden juga hendak mendirikan kementerian baru, yaitu Kementerian Investasi dan Kementerian Ekonomi Digital. Kedua kementerian itu juga direncanakan mengakuisisi tugas sejumlah lembaga negara non-kementerian sebelumnya.
”Pengubahan nomenklatur itu kontradiktif dengan keinginan Presiden mempercepat kerja pemerintah. Berdasarkan pengalaman pada periode pertama, butuh waktu yang tidak sebentar untuk mengonsolidasikan kerja di kementerian yang telah dibubarkan kemudian dilebur menjadi satu,” kata Budi.
Hal itu terjadi pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan periode 2014-2019. Dua kementerian yang dijadikan satu itu di era pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla itu memerlukan waktu sekitar dua tahun untuk membenahi birokrasi. Adapun kerja efektif baru bisa dilaksanakan setelahnya.
Menteri muda
Selain perombakan kementerian, Jokowi juga mengumumkan akan mengangkat menteri berusia muda, yaitu di bawah 30 tahun. Menurut Tri Agung Kristanto, usia menteri nantinya bukan persoalan utama asalkan kompetensi dan kapasitasnya terjamin.
Anak muda yang didaulat sebagai menteri juga harus berjejaring secara internasional. ”Jaringan internasional itu sangat penting karena di dalam dunia digital hampir tidak ada batas,” ujar Tri.
Ia menambahkan, pemilihan anak muda sebagai pemimpin pun tak bisa sembarangan. Hakikatnya, pemimpin selalu muncul dari proses yang panjang. Baik dari upaya mandiri, dorongan masyarakat, ataupun keluarga.
Selain itu, mentalitas mereka juga harus terjamin. Dalam filosofi Jawa, pemimpin harus mampu menutup sembilan hawa nafsu, di antaranya kekuasaan dan kekayaan.
Sinta mengatakan, menteri berusia muda setidaknya memiliki pengalaman memimpin organisasi. Sebab, kemampuan memimpin perusahaan saja tidak cukup untuk menjadi bekal mengelola kementerian yang digerakkan oleh para aparatur sipil.
”Menteri muda ini juga semestinya bukan sekadar usia, melainkan juga semangatnya. Mereka harus bisa memberikan energi baru pada Presiden karena pada periode kedua ini tantangannya semakin sulit,” katanya.
Bagi Budi, berapa pun usia menteri, ia harus merupakan sosok yang bersedia bekerja demi kepentingan publik. Bukan mewakili kepentingan golongan, apalagi pribadi. ”Yang paling penting, menteri itu harus memiliki kompetensi dan bisa menjawab persoalan di bidangnya masing-masing,” ucapnya.
Ia menambahkan, penyusunan kabinet ini merupakan pertaruhan, baik bagi nasib bangsa maupun citra Jokowi sebagai pemimpin. Pada periode kedua, semestinya ia mampu memberikan warisan yang bermanfaat dan dikenang sepanjang sejarah bangsa.