Lantai Merah
Kompas/Supriyanto Cartoons
Rumah ini masih sama. Dingin yang sama. Warna yang sama. Sepi yang sama.
Dari jendela, pagi diam-diam bertandang, menelusupkan hangat matahari lewat sibak gorden abu-abu. Sofa sendirian di sudut ruangan. Meja kopi rendah yang kosong. Barisan kaktus dalam pot-pot kecil mulai berbunga. Televisi yang hampir tak pernah menyala juga masih di sana.
Hanya, tak ada lagi potretmu—atau potret kita—yang tergantung di dinding, meninggalkan jejak samar berbentuk persegi. Hanya, tak ada lagi Gabriel García Márquez, atau Isabel Allende, atau Carlos Fuentes, atau penulis Amerika Latin bernama sulit lainnya yang kau puja di antara deretan buku dalam rak kayu. Tak ada lagi.
Ingat gorden abu-abu itu yang kau pilih tanpa persetujuan. Aku mau yang merah muda, pekikku saat itu, atau sekalian yang berbunga-bunga. Kau tak balas memekik, malah meledak tawa seolah tengah menonton pertunjukan komedi dan aku adalah bintang utamanya, meski aku sungguh-sungguh marah padamu.
Aku melarangmu memasang gorden abu-abu itu, menariknya dari tanganmu. Kau tak begitu saja merelakan, pertarungan sengit tarik-menarik dimulai. Sepuluh menit kemudian kita terjatuh di lantai, berpelukan terbungkus kain linen tebal. Dan kau selalu menang.
Lalu kaktus-kaktus yang kubeli setiap kali aku menemukan toko bunga sebab hanya tanaman itu yang tampak cukup tangguh bagi rumah kita. Aku tak begitu peduli apakah yang berbentuk bulat dengan duri-duri halus berwarna putih itu bernama Mammillaria geminispina, atau yang tumbuh sendiri dengan bunga berwarna merah cerah itu bernama Mammillaria ginsa maru.
Tetapi kau mencari tahu, mempelajari dengan teliti; jenis-jenisnya, sifat tumbuhnya, cara merawatnya. Mereka kaktus-kaktusku, kau tahu, dan kau merebutnya dariku. Aku yang pertama kali bertemu dengan mereka; jatuh suka lalu membawa mereka pulang. Aku cemburu. Tentu kau menertawakan kecemburuanku. Konyol sekali, katamu. Dan meski aku menekuk wajah dalam-dalam, menunjukkan dengan sungguh-sungguh bahwa aku cemburu, kau tetap dengan tawamu. Tak perlu waktu lama untuk aku terjerumus, ikut menertawai diriku sendiri. Kau selalu menang.
Saat-saat yang penuh cinta. Berapa lama waktu telah lewat semenjak itu? Satu tahun atau dua? Belum terlalu lama, tetapi rasanya seperti membuka buku sejarah dan dengan susah-payah akhirnya menemukan bab yang menceritakan bahwa kau dan aku pernah bahagia berdua. Dingin ini, sepi ini, jarak ini terentang sejak kita mendengar vonis itu. Meski berkali-kali kau mengatakan bahwa kau tidak peduli, bahwa kau mencintaiku dulu dan nanti, sesungguhnya kau peduli.
Lihat tegel klasik dengan pola-pola geometri dalam warna-warna tanah yang terpasang delapan kali delapan pada sebagian kecil lantai semen dapur. Kita tak serta merta sepakat mengenainya.
”Terlalu cerah, terlalu rumit,” katamu. ”Aku suka warna merah, tetapi tidak pola-polanya.”
Tapi ini dapur, hak aku sepenuhnya, balasku. Walau itu tidak benar, karena kau menyukai dapur sebanyak aku menyukai kamar tidur, atau sudut baca, atau halaman belakang yang rimbun. Kita berbagi ruang, menggunakannya sama sering. Kau memanggang roti cokelat paling enak sementara aku mengukus garang asam yang rasanya paling sering kau puji itu.
Kau tak ingin tegel pilihanku tertanam di lantai yang akan sering-sering kau pijak sementara aku sebaliknya. Kita membela keinginan masing-masing dengan keras kepala. Satu minggu berlalu dan pokok perang kita masih sama. Hingga suatu hari kau pulang membawa enam puluh empat tegel klasik berukuran dua puluh kali dua puluh sentimeter dengan pola berbeda dari yang aku minta.
”Aku suka yang ini. Berwarna merah, tetapi tidak terlalu cerah, tidak terlalu rumit,” katamu.
Baiklah, bagaimanapun, ini juga kemenanganmu.
Meja makan yang menumpang pada kabinet dapur dengan dua kursi tanpa sandaran masih di tempatnya. Kita butuh meja makan, aku mengajukan keberatan saat itu, meja makan yang sebenarnya.
”Tidak, kita tidak butuh meja makan,” jawabmu.
Aku mau meja makan luas dengan enam kursi.
”Untuk siapa kursi-kursi sebanyak itu? Hanya ada kita berdua di sini.”
Untukmu dan untukku, untuk orang tua kita, untuk tamu-tamu—temanmu atau temanku—teman kita.
”Kau bisa menghitung kunjungan orang tua kita ke rumah ini dengan sepuluh jari. Teman-teman kita tidak akan keberatan berkumpul di sofa.”
Ya, baiklah, untuk anak-anak kita nanti.
Kau tidak membalas, hanya memandangku dengan heran seolah kau sama sekali tak mengerti kata-kataku. Aku menyerah. Kau benar, kita tak butuh kursi-kursi kosong itu. Kau menang.
Dapur ini masih sama. Hanya, tak ada lagi aroma kopi yang kau racik dengan penuh perhatian. Hanya, tak ada lagi sarapan dalam diam. Hanya, tak ada kau yang duduk di seberang meja, menekuni halaman demi halaman surat kabar harian sementara nasi goreng atau soto ayam atau roti panggang mendingin di atas piring makan.
Suara ketukan di pintu depan. Sekali, dua kali, berkali-kali. Tetapi aku sedang tak perlu ditemani. Dari balik jendela, kusaksikan seorang tetangga, perempuan tua yang tinggal sendirian di seberang jalan, meninggalkan rumah kita.
Aku tak ingin menjadi seperti dia, gumamku. Sendirian dan tua.
”Kau tidak akan sendirian. Ada aku,” ucapmu.
Kau tidak akan pernah meninggalkan aku? Kau tahu, aku akan benar-benar menua dalam kesendirian jika kau meninggalkan aku.
”Aku tidak akan pernah meninggalkanmu.”
Tetapi kau meninggalkan aku. Pembohong.
Pintu rumah terbuka, kotak-kotak karton terserak di teras depan. Pantas saja perempuan tua di rumah seberang penasaran lalu ingin ikut serta mengurusi kehidupan rumah tangga kita. Benar-benar ceroboh. Berkali-kali kukatakan, tutup pintu ini, tutup pintu itu. Apa susahnya menutup pintu sehabis membukanya. Tetapi tidak, kau tidak pernah mendengarkan. Itulah tabiatmu, membiarkan pintu-pintu terbuka.
Chevrolet Impala 1970 milikmu terparkir begitu saja. Alangkah berangnya saat pertama kulihat mobil itu di dalam garasi. Di mana mobil kita yang luas, yang bisa memuat apa saja, mobil ideal idaman setiap keluarga? Mengapa kau tukar dengan mobil tua yang rongsok? Mobil ini akan menghabiskan banyak uang.
”Ini mobil impianku,” katamu. Aku tidak peduli.
Kau membisikkan sesuatu di telingaku, seketika wajahku merah padam. Sesuatu yang melibatkan mobil berengsek kebanggaanmu itu, terjebak dalam hujan, kaca jendela yang berembun oleh engah napas kita. Kau akan mewujudkan angan-angan cabul yang pernah kita bagi berdua.
”Mobil ideal idaman keluarga itu takkan mampu menandingi Chevy Impala. Lagi pula hanya ada kita berdua,” tandasmu.
Kau selalu menang. Kukatakan sekali lagi, kau selalu menang.
Aku masih terpaku di balik jendela. Seolah-olah pagi ini aku masih berperan sebagai istri yang baik, yang dengan patuh mengantar suami bekerja. Teras ini masih sama, hanya tak ada senyum canggung yang saling ditukar di depan pintu saat kau akhirnya berangkat untuk memulai harimu di luar sana.
”Aku keluar dari rumah ini, tetapi aku akan mengambilnya kembali. Pada saat putusan jatuh, kau harus bersiap-siap pergi. Ini rumahku.”
Seperti hunus pedang, barisan kalimat itu siap mengoyak-ngoyak. Aku tak mampu menentang matamu. Segalanya, segala yang kubangun bersamamu akan hilang. Rumah ini, hubungan ini, kehidupan ini, segalanya ini. Ini tidak benar-benar terjadi, ini tidak nyata.
Tetapi, perempuan lain itu nyata, ia benar-benar ada. Ia bukan lelucon jelek yang kau ceritakan demi membujuk rasa cemburuku. Di dalam mobil impianmu, aku melihatnya mencium lama bibirmu. Di sebuah rumah dengan pintu yang terbuka, aku melihatmu menyentuh hati-hati perutnya yang gembung.
Kau berdiri dengan koper besar beroda di tangan. Tak ada lagi pakaianmu tergantung di dalam lemari, atau kaus kakimu di dalam laci. Tak ada lagi parfum dengan wangi manis yang setiap kali kau pakai seolah hujan baru saja turun di dalam kamar ini. Tidak ada lagi.
Selain itu, sesungguhnya kamar ini masih sama. Lihat tempat tidur yang desainnya kita curi dari sebuah toko furnitur ternama lalu kita minta perajin kayu langganan untuk mengerjakannya dengan sepertiga harga saja. Kita melakukan itu berkali-kali. Bukan hanya tempat tidur, juga lemari pakaian, meja rias, cermin.
Ingat cermin besar berbentuk bulat telur yang tergantung di sebelah pintu. Setiap pagi, saat kau merapikan diri di depan cermin itu, membetulkan kerah kemejamu, menyisir ulang rambutmu, atau sekadar mengencangkan kembali ikat pinggangmu, setiap saat-saat itu terjadi diam-diam aku memperhatikanmu. Ingin rasanya melompat dari tempat tidur, dari persembunyianku, lalu memelukmu dari belakang seperti dulu. Tetapi kita telah merentang jarak. Bahkan, rentang antara tempat tidur dan cermin yang menggantung di sebelah pintu kamar begitu jauh untuk kutempuh.
”Maafkan aku, tidak ada lagi yang bisa kita pertahankan di sini. Semuanya telah selesai bahkan sebelum kita menyadarinya.” Kau berbicara terburu-buru, berjalan terburu-buru, tak peduli aku yang membuntutimu.
Di dapur, kau berbalik ke arahku. ”Dia memberikan apa yang aku inginkan, apa yang tak bisa kau...”
Diam. Diam. Diam.
Kau tak menyelesaikan kalimatmu. Pisau dapur itu terlebih dahulu menancap di dada sebelah kirimu. Lalu kurebut koper berat yang lepas dari genggamanmu, susah payah kuhantamkan tepat di kepalamu. Sekali, dua kali, tiga kali, berkali-kali. Kau tak sempat melakukan apa-apa, jatuh ke lantai dengan pisau tertancap di dada dan koper lesak di kepala.
Dapur ini masih sama. Hanya, ada kau tergeletak di lantainya, diam dan dingin.
Hei, tunggu dulu. Lihat, lantai ini berwarna merah seperti keinginanmu. Selamat, lagi-lagi kau menang. Kau selalu menang.
___________________
Chusna Amalia, Tinggal di Cibinong, Bekerja sebagai Anggota Staf di Badan Bahasa; Peserta Workshop Cerpen Kompas 2015