Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan merevisi peraturan yang berkaitan dengan penataan pedagang kaki lima di trotoar. Di sejumlah trotoar kelak akan dipertimbangkan untuk dapat diokupasi sebagai tempat berbagai kegiatan.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO / AGUIDO ADRI / WISNU WARDHANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan merevisi peraturan yang berkaitan dengan penataan pedagang kaki lima di trotoar. Di sejumlah trotoar kelak akan dipertimbangkan untuk dapat diokupasi sebagai tempat berbagai kegiatan.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan, di sejumlah negara, ada berbagai contoh pemanfaatan trotoar. Trotoar dapat digunakan secara multifungsi selain bagi pejalan kaki, seperti untuk kegiatan perdagangan dan permusikan. Namun, trotoar yang akan digunakan untuk kegiatan-kegiatan itu harus diatur secara komprehensif, berdasarkan bentuk kawasannya, ukuran jalan, dan sifat-sifat kegiatan yang ada di kawasan tersebut.
”Dari situ, kemudian diatur pemanfaatan trotoarnya. Jadi, sebetulnya pengaturan itu tidak kaku seakan sama di semua tempat karena jalan itu beda-beda, sifat jalan, sifat kawasan. Kalau itu kawasan perumahan, memang tak ada kegiatan apa pun. Akan berbeda dengan kawasan di perkantoran dan kawasan ekonomi seperti di Kemang (Jakarta Selatan),” ujar Anies di Balai Kota Jakarta, Kamis (29/9/2019).
Dalam kesempatan itu, Anies menanggapi terkait dengan putusan Mahkamah Agung yang membatalkan Pasal 25 Ayat 1 Peraturan Daerah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum. Dalam pasal itu disebutkan Gubernur DKI Jakarta menunjuk/menetapkan bagian-bagian jalan/trotoar dan tempat-tempat kepentingan umum lainnya sebagai tempat usaha pedagang kaki lima (PKL).
Menurut Anies, penataan PKL di trotoar perlu diatur secara lengkap agar secara aturan tetap benar dan secara keadilan tercapai. ”Jangan sampai kita bias pada sekelompok orang yang mereka secara ekonomi rendah, lalu punya pandangan ini pasti jelek, kotor, kumuh,” katanya.
Dalam penataan PKL di trotoar, perlu diatur secara lengkap agar secara aturan tetap benar dan secara keadilan tercapai.
Berdasarkan catatan Dinas Koperasi, Usaha Kecil Menengah dan Mikro (UMKM), dan Perdagangan DKI Jakarta, saat ini, ada 149 lokasi sementara PKL di atas trotoar. Kehadiran PKL itu diizinkan karena mengacu pada Peraturan Gubernur Nomor 10 Tahun 2015 tentang Penataan PKL. Pergub itu mengacu pada Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum.
Kepala Dinas Koperasi, UMKM, dan Perdagangan DKI Jakarta Adi Adiantara menuturkan, jika lokasi sementara bagi PKL itu ingin ditertibkan, pergub harus dicabut terlebih dahulu.
”Pertanyaannya dicabut enggak? Belum, kan? Saya harus bekerja di situ. Kalau nanti dicabut, ya, harus dicarikan solusi, baru tanya ke saya, Pak gimana. Tapi, kalau enggak dicabut, saya mau cerita apa,” ujar Adi.
Sulit diatur
Berdasarkan pantauan Kompas pada hari ini, PKL masih mengokupasi trotoar Jalan Jatibaru Raya, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Salah satu PKL, Yudi (28), berdagang pakaian di area batas guiding block. Ia mengakui kerap kucing-kucingan dengan petugas satuan polisi pamong praja.
”Satpol PP hanya menertibkan di waktu tertentu. Setelah itu tidak ada pengawasan. Mereka hanya mengimbau. Seusai penertiban, kami ke tempat semula,” kata Syarifuddin.
Trotoar Jalan Jatibaru Raya dilengkapi guiding block di bagian tengahnya. Sisi trotoar yang berbatasan dengan jalan telah dipagari. Sisi lainnya berbatasan dengan kios-kios resmi PKL.
PKL tanpa kios hanya diperbolehkan berdagang di sisi trotoar dekat kios-kios resmi. Sisi lainnya harus steril atau dibiarkan kosong. Akan tetapi, PKL mengokupasi kedua sisi karena keterbatasan tempat berdagang.
Kucing-kucingan dengan petugas satpol PP juga sering terjadi di kawasan Kota Tua. Seperti yang dialami Mamat (55), penjual minuman selendang mayang.
Mamat tidak ambil pusing harus kucing-kucing dengan petugas satpol PP karena yang penting baginya tetap menghasilkan uang untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.
”Jualan di sini laku karena hilir mudik pengunjung yang ingin ke Kota Tua. Selain itu dekat dengan Stasiun Jakarta Kota. Sehari bisa dapat Rp 200.000. Jika libur, bisa dapat Rp 300.000. Jadi, ya, enggak masalah berjualan di sini meski harus kejar-kejaran dengan petugas,” tuturnya.
Mamat sadar jika berjualan di trotoar melanggar peraturan. Oleh karena itu, ia siap jika dagangannya dirazia. ”Sudah tiga kali bakul saya terjaring razia. Ya, saya balik lagi ke sini dengan bakul baru. Saya ada stok bakul di rumah,” kata pria yang sudah berjualan selendang mayang lebih dari 25 tahun itu.
Lastri (45), pedagang minuman dan jajanan pasar, kembali berjualan di trotoar depan pintu masuk Kota Tua. Padahal, perempuan asal Semarang, Jawa Tengah, yang sudah berjualan sejak 20 tahun itu adalah PKL binaan Pemprov DKI Jakarta. Namun, karena lokasi jualan yang disediakan dinilai tidak strategis, ia akhirnya berjualan di trotoar meski kerap berurusan dengan petugas satpol PP.
”Sebenarnya senang dapat tempat, tapi penghasilan saya jadi jauh menurun. Makanya, saya balik berjualan ke sini lagi. Saya mau kembali ke lokasi yang sudah disiapkan, tetapi petugas harus adil menertibkan PKL lainnya agar tidak menimbulkan kecemburuan kepada sesama PKL,” ujar Lastri.