Tidak Ada Kejahatan yang Sempurna...
Kobaran api yang melahap sebuah mobil di Sukabumi, Jawa Barat, Minggu (25/8/2019), menjadi awal terungkapnya pembunuhan terhadap Edi Candra Purnama (54) dan anaknya, M Adi Pradana (23), di Lebak Bulus, Jakarta Selatan.
Agatha Christie dalam novel Tirai menulis, ”Semua orang adalah pembunuh yang potensial. Dalam diri setiap orang muncul keinginan untuk membunuh, tapi bukan kehendak untuk membunuh.”
Kobaran api yang melahap sebuah mobil di Sukabumi, Jawa Barat, Minggu (25/8/2019), menjadi awal terungkapnya pembunuhan terhadap Edi Candra Purnama (54) dan anaknya, M Adi Pradana (23), di Lebak Bulus, Jakarta Selatan.
Menyimak kasus itu seperti membaca novel detektif Agatha Christie yang bercerita soal rebutan harta dan racun untuk membunuh. Agatha Christie dalam novel Tirai menulis, ”Semua orang adalah pembunuh yang potensial. Dalam diri setiap orang muncul keinginan untuk membunuh, tapi bukan kehendak untuk membunuh.”
Hanya sehari setelah terbakarnya mobil bersama jenazah Edi dan Adi di dalamnya, polisi meringkus istri kedua Edi, yaitu AK (35), yang diduga sebagai otak pembunuhan dan KV (18). Sebelumnya, KV disebut sebagai anak AK. Polisi kemudian meralat keterangan itu karena KV ternyata adalah keponakan AK.
Pembunuhan ayah dan anak itu sudah direncanakan sebelumnya. Motifnya karena AK terlilit utang yang mencapai miliaran rupiah. AK meminta agar rumah di Lebak Bulus dijual untuk melunasi utang, tetapi rencana itu ditolak mentah-mentah oleh korban.
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Argo Yuwono, Rabu (28/8/2019), mengatakan, Polda Metro Jaya berkoordinasi dengan Polda Jabar sehingga diketahui pembunuhan tersebut direncanakan di sebuah apartemen di Kalibata, Jakarta Selatan.
”Di apartemen tersebut dibahas rencana menghabisi korban dengan tersangka R yang masih buron. Kemudian, melalui bekas asisten rumah tangga AK didapatlah tersangka A dan S sebagai eksekutor,” kata Argo.
Baca juga : Pembunuhan Ayah dan Anak Terencana
Tersangka A dan S, keduanya warga Lampung, datang ke Jakarta naik mobil travel untuk bertemu dengan AK. Setelah ketiganya bertemu dalam mobil di daerah Kalibata, AK menceritakan masalahnya kepada A dan S.
Tersangka AK menjanjikan uang Rp 500 juta kepada A dan S untuk membunuh kedua korban. Namun, setelah kedua pembunuh bayaran itu menyelesaikan tugasnya, mereka baru dibayar Rp 8 juta, kemudian pulang ke Lampung.
Menurut Argo, kasus itu berawal dari adanya laporan dari keluarga korban bahwa korban diculik, dibunuh, kemudian dibawa ke Sukabumi. Polisi mendapat informasi ada mobil terbakar di Sukabumi. Berawal dari bangkai mobil terbakar itu, polisi mendapat titik terang.
Seperti diberitakan, Edi diduga dibunuh dengan cara diracun, sedangkan Adi diajak minum minuman beralkohol sampai mabuk oleh KV kemudian dibunuh dengan cara dibekap. Semua tersangka, yaitu AK, KV, A, dan S, diduga terlibat dalam pembunuhan dengan perannya masing-masing.
Baca juga : Korban Pembunuhan di Lebak Bulus Dikenal Tertutup
Setelah ayah dan anak itu tak bergerak, AK dan KV membawa mobil berisi jenazah korban ke Sukabumi. KV menyiramkan bensin dan membakar mobil bersama dua jenazah di dalamnya. Sial bagi KV, wajahnya ikut terbakar hingga dirawat di rumah sakit di Jakarta karena luka bakar 36 persen.
Meninggalkan jejak
Kriminolog Universitas Indonesia, Kisnu Widagso, Rabu, mengutarakan, jika ditarik beberapa tahun ke belakang, kasus istri membunuh suami sebenarnya sering terjadi di Jakarta. Namun, kasus semacam ini memang frekuensinya tidak banyak.
Menurut Kisnu, kasus pembunuhan ayah dan anak di Lebak Bulus sudah pasti direncanakan oleh pelakunya. Sekecil-kecilnya kejahatan pasti direncanakan dan disusun sedemikian rupa oleh pelakunya, apalagi untuk kasus pembunuhan. Para tersangka merencanakan cara membunuh korban melalui pembunuh bayaran, lalu jenazahnya dibawa ke Sukabumi. Para tersangka tampaknya memiliki cukup banyak waktu untuk menyusun rencana.
”Kita berpijak bahwa manusia itu rasional, tidak ingin ditangkap, dan berusaha menghindar jadi tersangka kejahatan. Kecuali, ada motif budaya, seperti kasus carok. Tapi, dalam konteks ini, hal-hal bersifat budaya tidak ada,” lanjutnya.
”Kita berpijak bahwa manusia itu rasional, tidak ingin ditangkap, dan berusaha menghindar jadi tersangka kejahatan. Kecuali, ada motif budaya seperti kasus carok. Tapi, dalam konteks ini, hal-hal bersifat budaya tidak ada,” lanjut Kisnu.
Sebelumnya, Kepala Polda Jawa Barat Inspektur Jenderal Rudi Sufahriadi mengungkapkan, kasus terungkap setelah polisi mencari data mobil yang terbakar di Sukabumi. Setelah polisi mengetahui identitas pemilik mobil, yaitu Edi, polisi berhasil menangkap para tersangka (Kompas, Rabu 28/8/2019).
Menurut Kisnu, pelaku tampak tidak berpengalaman dalam menyusun rencana pembunuhan. Hal itu tampak dari tertangkapnya para pelaku tak lama setelah mobil terbakar.
”Itu menunjukkan bahwa tidak ada satu kejahatan yang sempurna. Sebab, kejahatan pasti meninggalkan jejak. Pelaku baru sekali melakukan, bukan berkali-kali lolos dan belajar lagi. Yang jeli melihat itu adalah polisi. Maka, polisi lihat tempat kejadian perkara, lihat mobilnya, ketemu nomor rangka dan pelatnya, ditelusuri ketemulah di Lebak Bulus,” paparnya.
Dihubungi terpisah, psikolog forensik Reza Indragiri berpendapat, kasus pembunuhan Lebak Bulus merupakan peristiwa menyedihkan, tetapi sebagai kasus hukum tidak terlalu istimewa.
Psikolog forensik Reza Indragiri berpendapat, kasus pembunuhan Lebak Bulus merupakan peristiwa menyedihkan, tetapi sebagai kasus hukum tidak terlalu istimewa.
”Pelaku kejahatan punya dua misi. Pertama bagaimana dia menyelesaikan perbuatannya, kedua bagaimana dia melarikan diri. Pelaku sukses melakukan misi yang pertama, tapi gagal di misi kedua,” ucap Reza dalam acara Kompas Petang di Kompas TV, Rabu.
Reza menuturkan, para pembunuh bayaran yang disewa AK tidak profesional karena dengan cepat tertangkap polisi. Mereka tidak berusaha melarikan diri atau berpencar, tetapi tetap kembali ke kampung halamannya. Akibatnya, polisi dengan mudah meringkus mereka. Mereka juga tidak menyiapkan alibi sehingga tidak bisa berkelit.
Menurut Reza, uang Rp 500 juta yang dijanjikan AK kepada A dan S merupakan jumlah yang relatif besar. Jika uang tersebut dibagi-bagi, jumlahnya masih cukup besar.
”Bagi orang yang sulit memperoleh uang ratusan juta rupiah, jumlah itu banyak dan kenapa tidak dicoba. Pelaku tentu menghitung antara besarnya risiko dengan besarnya uang yang diperoleh,” katanya.
Reza menambahkan, otak pelaku pembunuhan adalah istri korban bukan fakta mengejutkan. Orang yang dekat dengan korban adalah tersangka utama karena paling tahu kebiasaan dan aktivitas korban setiap saat.
Kasus pembunuhan di Lebak Bulus bukan kejahatan yang sempurna. Namun, kasus ini menambah panjang catatan kasus pembunuhan sadis.