Tujuh Isu Krusial Rancangan Hukum Pidana Kembali Dibahas
Pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP masih terus berlanjut. Dewan Perwakilan Rakyat bersama pemerintah kembali membahas tujuh isu krusial di rancangan tersebut.
Oleh
Dhanang David Aritonang
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS-- DPR bersama pemerintah kembali membahas tujuh isu krusial yang masih ada di dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau RKUHP. DPR juga berencana untuk segera mengesahkan RKUHP, meski masih ada sejumlah pasal yang dinilai bermasalah.
Wakil Ketua Komisi III DPR Fraksi Partai Gerindra, Desmond J Mahesa mengatakan, panitia kerja RKUHP telah melakukan pertemuan dengan Menteri Hukum dan HAM (Mekumham) Yasona Laoly untuk membahas tujuh poin krusial dalam RKUHP.
"Tujuh poin itu harus dikompromikan dengan sejumlah catatan. Target kami, pada 24 September nanti RKUHP sudah bisa disahkan," ujarnya di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (29/08/2019).
Sejauh ini, masih tersisa tujuh poin krusial yang perlu dibahas dan disepakati lebih lanjut di tingkat panitia kerja DPR dan pemerintah. Selain pasal tindak pidana khusus, ada pasal-pasal tindak pidana kesusilaan (perzinaan, kumpul kebo, pencabulan, perkosaan), penghinaan terhadap Presiden, pidana mati, hukum yang hidup di masyarakat atau hukum adat, ketentuan peralihan dan ketentuan penutup.
Desmond menyampaikan, tujuh poin itu masih menjadi perdebatan karena pemerintah dan DPR memiliki semangat untuk mengubah hukum kolonial menjadi hukum nasional. Ia pun mengatakan, salah satu pasal yang perlu dihilangkan yaitu pasal tentang penghinaan presiden.
"Kita tidak bisa meninggalkan sesuatu dalam demokrasi sehingga hak berbicara masyarakat sipil juga harus dilihat. Jangan seolah-olah presiden menjadi seperti dewa yang terus dilindungi," katanya.
Sementara itu, secara terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju menjelaskan dalam draf RKUHP masih ada sejumlah pasal bermasalah, seperti Pasal 281 tentang tindak pidana dalam proses peradilan. Dalam aturan itu tertulis bagi yang melanggar akan dikenakan ancaman pidana maksimal 1 tahun atau denda paling banyak 10 juta rupiah.
"Adapun tindakan yang termasuk dalam delik tersebut yaitu bersikap tidak hormat terhadap hakim atau persidangan atau menyerang integritas atau sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan," ucapnya dalam keterangan tertulis.
Selain itu, Anggara mengkritik, nantinya masyarakat juga tidak boleh merekam, mempublikasikan secara langsung segala sesuatu yang memengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang peradilan. "Kami memproyeksikan, dalam prakteknya delik itu bisa dengan mudah menyasar akademisi, pers, hingga kelompok masyarakat sipil yang berusaha menyuarakan penilaiannya terhadap integritas hakim atau pengadilan yang dianggap tidak adil," katanya.
Menanggapi hal itu, Ketua DPR RI Bambang Soesatyo mengatakan, saat ini sudah tidak ada lagi pasal-pasal yang bermasalah karena RKUHP sudah tinggal memasuki proses harmonisasi. Ia pun menilai, RKUHP ini harus segera disahkan pada 24 September nanti.
"Kami harus segera menyelesaikannya, karena di satu sisi, ada desakan juga dari masyarakat agar DPR bisa membenahi kinerjanya dalam proses legislasi," ucapnya.