Kecamatan Pangalengan di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, lama menjadi arena atlet lari nasional menempa diri. Setelah hanya menjadi penonton, bakat lokal kini mulai unjuk diri.
Oleh
Machradin Wahyudi Ritonga
·4 menit baca
Kecamatan Pangalengan di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, lama menjadi arena atlet lari nasional menempa diri. Setelah hanya menjadi penonton, bakat lokal kini mulai unjuk diri.
Api unggun menjilati malam di halaman belakang Rumah Bosscha, Kecamatan Pangalengan, Jumat (9/8/2019). Bias cahayanya memantulkan bayangan Agus Prayogo, pelari nasional, yang tengah menuturkan kisah hidupnya di hadapan belasan anak-anak yang memiliki impian yang sama. Mereka tergabung dalam Agung Mulyawan Track Club (AMTC), klub lari di Pangalengan.
Beberapa pegiat lari dari Jakarta juga hadir di sana. Mereka diundang oleh Athletica Talent by Runhood Group, perusahaan yang mencetak atlet multitalenta.
”Kalian pasti bisa menjadi pelari seperti saya asalkan fokus dan berlatih dengan tekun. Para atlet saja sengaja datang ke Pangalengan untuk berlatih. Kalian pasti bisa karena sudah terbiasa hidup di sini,” kata Agus kepada anak-anak di tengah suhu udara dataran tinggi yang mencapai kurang dari 15 derajat celsius tersebut.
Bimantara (16), salah seorang anak yang ikut dalam diskusi, memperhatikan Agus dengan saksama. Dia ingin menjadi atlet lari seperti Agus. ”Saya senang. Baru pertama kali bertemu dengan Mas Agus, bahkan bisa mengobrol. Mudah-mudahan bisa berlari bersama di pelatnas,” kata Bimantara.
Hanya melihat
Sejak tahun 1985, Pangalengan menjadi pusat pelatihan bagi pelatnas atletik lari jarak menengah-jauh. Nama besar Agus Prayogo, Triyaningsih, hingga Rini Budiarti ditempa di sana.
Kini, pehobi juga datang untuk berlari di sana. Walakin, kawasan itu belum menjadi ”rumah” bagi warga setempat. Belum ada warga yang menjadi atlet nasional. Selain menonton, anakanak setempat puas hanya mengekor para atlet berlatih.
Kondisi ini membuat hati Agung Mulyawan, pelatih tim nasional atletik lari, tergerak. Baginya, antusiasme anak-anak itu bisa dikembangkan dan bukan mustahil Pangalengan menjadi lumbung atlet lari Indonesia.
Adalah bakat Tazi Ahmad Dhani (15), salah seorang anak Pangalengan, yang membuat semangat Agung tersulut. Pada akhir tahun 2017, Agung melihat Tazi ikut berlari di belakang para atlet. Dari sana, potensi Tazi terlihat. Gayung bersambut, Tazi tidak sekadar ikut-ikutan lari. Dia memang ingin menjadi pelari nasional.
”Saat dapat nomor Pak Agung, saya langsung menghubunginya. Saya ingin dilatih menjadi atlet,” katanya.
Agung setuju. Dia bahkan pada awal 2018 membuka AMTC untuk menggaet anak- anak lainnya. Ternyata, klub lari ini diminati warga. Hingga Agustus 2019, AMTC melatih lebih dari 60 anak. Semua anak mendapat pelatihan profesional, tanpa biaya.
”Anak-anak itu butuh pelatih. Klub ini menjadi pembuka karier atletik mereka,” ujarnya.
Prediksi Agung tidak meleset. Tazi menorehkan prestasi dan mendapat beasiswa di Pusat Pelatihan dan Pendidikan Pelajar Ragunan, Jakarta. Terakhir, Tazi meraih posisi ketiga pada lomba lari 3.000 meter dalam Khon Kaen Games 2019 di Thailand, kompetisi antarsekolah olahraga se-ASEAN.
Tidak hanya Tazi, Ai Kusmiati (19) juga menyimpan bakat pelari. Gadis dari Pangalengan yang baru berlatih di AMTC sejak Juni tahun lalu itu finis di urutan ketiga pada Half Marathon Pocari Run 2019 di Bandung. ”Dari kecil saya lebih senang lari daripada main boneka,” ujar Ai.
Head of Business Athletica Talent Putra Yuhardianto mengatakan, pihaknya tertarik ikut melatih anak-anak setempat demi menghapuskan anggapan bahwa orang Pangalengan tidak bisa menjadi atlet dan hanya menjadi penonton.
Potensi besar
Semangat anak-anak calon atlet itu tetap tinggi saat bersiap di belakang garis start sejak pukul 08.00, keesokan harinya. Hari itu, kualitas latihan siswa AMTC dipantau langsung oleh Agung.
Sebagian orangtua pun melihat dari sudut lapangan sambil riuh bertepuk tangan saat anaknya mencapai garis finis. Noneng (39) gembira melihat anaknya, Muhammad Fazri (14), mengikuti latihan yang diberikan Agung. Keringat Fazri adalah bahagia Noneng.
”Saya ingin menjadi pelari agar bisa membuat orangtua bangga dan kami bisa hidup lebih sejahtera lagi kalau saya menjadi atlet,” kata Fazri.
Fazri bukanlah berasal dari keluarga olahragawan. Ayahnya seorang pekerja bangunan di Bandung dan hanya sekali seminggu pulang ke rumah dengan penghasilan tak sampai Rp 100.000 per hari.
Namun, hal itu tidak menyurutkan niat Noneng untuk mendukung sang anak berlari mengejar cita-citanya. Dengan menjadi atlet, ia berharap kualitas hidup anaknya kelak membaik. ”Kami senang dia punya tujuan dan cita-cita,” kata Noneng.
Kini, Pangalengan tak sekadar punya arena. Lewat tangan-tangan berjasa, tumbuh asa warga untuk memperbaiki masa depan dan membanggakan bangsa lewat prestasi.