Jangan Salah Pilih Solusi
PANELIS
Pada masa-masa yang diwarnai ketidakpastian ekonomi global, kondisi di dalam negeri mesti diperkuat. Tidak ada pilihan selain menjaga dan meningkatkan daya tahan dan daya saing dalam menghadapi berbagai risiko, termasuk perang dagang antara Amerika Serikat dan China.
Dana Moneter Internasional (IMF) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global tahun ini 3,2 persen. Bank Dunia memperkirakan 2,6 persen, sedangkan Bank Indonesia memproyeksikan 3,3 persen.
Diyakini fundamen ekonomi Indonesia masih terjaga. Indikatornya, antara lain, inflasi yang rendah dan pertumbuhan ekonomi di kisaran 5 persen. Proyeksi IMF, ekonomi Indonesia tahun ini tumbuh 5,2 persen. Bank Dunia memperkirakan 5,1 persen dan BI memperkirakan 5-5,2 persen.
Namun, pertumbuhan ekonomi saja tidak cukup jika tidak dirasakan seluruh masyarakat Indonesia. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, pada triwulan II-2019, kontribusi pertumbuhan ekonomi terbesar masih dari Jawa (59,11 persen). Adapun kontribusi terendah dari Maluku dan Papua (2,17 persen). Konsentrasi pertumbuhan ekonomi di Jawa itu berupaya dikurangi dengan menumbuhkan pusat-pusat ekonomi di luar Jawa. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional akan mendorong kawasan industri dan kawasan ekonomi khusus untuk menunjang perekonomian daerah. Diharapkan, pada 2045, kontribusi pertumbuhan ekonomi dari Jawa menjadi 51,8 persen.
Selama bertahun-tahun Indonesia mengandalkan konsumsi rumah tangga sebagai penopang pertumbuhan ekonomi. Dari pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) 5,05 persen pada triwulan II-2019, konsumsi rumah tangga menyumbang 2,77 persen. Penopang berikutnya adalah investasi, yakni 1,59 persen.
Daya beli masyarakat dan tingkat inflasi mesti dijaga agar konsumsi masyarakat tidak anjlok. Dalam rangka menjaga daya beli masyarakat, pemerintah sempat tidak merealisasikan evaluasi harga bahan bakar minyak (BBM) per tiga bulan yang dapat berujung pada kenaikan harga sesuai nilai keekonomian. Padahal, jika evaluasi dilakukan beberapa waktu lalu, harga BBM sepatutnya naik karena nilai tukar rupiah terhadap dollar AS melemah dan harga minyak mentah dunia naik.
Tarif listrik juga dijaga tidak naik kendati harga batubara dunia sempat naik beberapa waktu lalu. Padahal, hingga triwulan III-2018, energi listrik di Indonesia bersumber dari batubara melalui pembangkit listrik tenaga uap.
Kepercayaan
Pada sisi lain muncul pertanyaan soal kepastian investasi. Padahal, investor sudah menempatkan dana mereka dan memproyeksikan berbagai hal terkait dengan investasi.
Soal kemudahan berbisnis, Indonesia ada di peringkat ke-73 dari 190 negara, sebagaimana data Bank Dunia. Cita-cita berada pada peringkat ke-40 masih belum tercapai.
Kepercayaan investor adalah hal penting yang mesti dijaga. Indonesia memerlukan investasi berupa penanaman modal dalam negeri ataupun modal asing. Investasi langsung ini berdampak ganda, antara lain menyerap tenaga kerja. Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal, investasi langsung di Indonesia pada semester I-2019 sebesar Rp 395,6 triliun yang menyerap 490.715 tenaga kerja.
Namun, investasi langsung di Indonesia berhadapan dengan kualitas tenaga kerja. Pada Februari 2019, menurut data Badan Pusat Statistik, dari 129,36 juta penduduk bekerja, 52,4 juta di antaranya (40,51 persen) berpendidikan sekolah dasar. Selain itu, ada ketidaksesuaian antara keahlian tenaga kerja dan kebutuhan industri. Karena itu, perusahaan didorong terlibat menyiapkan tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan industri. Untuk mendorong peran swasta, pemerintah memberikan insentif pajak.
Investasi langsung di Indonesia juga berhadapan dengan orientasi produksi. Jika diarahkan ke pasar ekspor, akan ada tambahan devisa ekspor ke Indonesia. Tambahan devisa ini mengompensasi dividen yang dibayarkan ke negara asal investor jika investasi berupa PMA. Sebaliknya, jika produksinya hanya dijual di dalam negeri, nilai tambahnya akan kecil. Ini pun menimbulkan risiko menaikkan impor jika bahan baku dan bahan penolong produksi tidak dihasilkan di dalam negeri.
Masih banyak persoalan akan dihadapi pemerintahan Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Persoalan yang sebenarnya sudah diketahui sejak periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo pada 2014. Solusi berupa kebijakan ekonomi diluncurkan hingga 16 paket. Akan tetapi, realisasinya belum optimal karena tidak ada sinkronisasi aturan pemerintah pusat dan daerah. Kini, ada kesempatan lima tahun kedua menuntaskan persoalan tanpa menimbulkan persoalan baru.