Pertaruhan di Balik Ambisi Memimpin Golkar
Persaingan Airlangga Hartarto dan Bambang Soesatyo merebut kursi ketua umum Golkar yang memanas, disinyalir karena karir politik masing-masing jadi taruhannya. Namun di sisi lain, nasib partai ikut dipertaruhkan.
Situasi internal Golkar memanas. Kantor Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Golkar di kawasan Slipi, Jakarta Barat, menjadi sasaran bagi mereka yang mendesak percepatan rapat pleno sekaligus musyarawah nasional. Sementara itu, DPP di bawah kepemimpinan Airlangga Hartarto bersikukuh dengan sikapnya.
Suasana Kantor DPP Partai Golkar di Jalan Anggrek Neli Murni, Jakarta, tiba-tiba mencekam mulai Kamis (22/8/2019). Massa mengenakan seragam Angkatan Muda Partai Golkar (AMPG) “mengepung” markas partai berlambang beringin tersebut.
Mereka menuntut Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto dan pengurus DPP lainnya agar segera menggelar rapat pleno untuk mengevaluasi kinerja partai pada Pemilu 2019. Dalam pandangan mereka, pengurus gagal menyukseskan Golkar. Suara Golkar turun, raihan kursi berkurang.
Pada Pemilu 2019, Golkar memperoleh 12,13 persen suara nasional dan diproyeksikan mendapat 85 kursi di DPR. Perolehan tersebut merupakan prestasi paling rendah sejak Golkar pertama kali mengikuti pemilu pada 1971.
Oleh karena itu, pleno direncanakan tak sebatas mengevaluasi kinerja DPP, tetapi juga untuk menyuarakan agar Musyawarah Nasional (Munas) Golkar segera digelar. Munas yang agenda utamanya memilih pucuk pimpinan tertinggi di Golkar, tak harus menunggu Desember 2019 seperti keinginan Airlangga dan mayoritas pengurus DPP lainnya.
Namun, alih-alih mengakomodasi tuntutan para kader muda, DPP justru melarang mereka masuk ke areal kantor. Kekecewaan atas perlakuan itu memantik mereka untuk menyegel akses utama keluar-masuk kantor pada Minggu dini hari.
Baca juga: Internal Golkar Memanas, Kantor DPP Dikunci Massa AMPG
Wakil Ketua AMPG Nofel Hilabi pun mengultimatum pengurus DPP. “Jika DPP tidak segera melaksanakan rapat pleno, kami akan kembali bergerak dengan massa yang lebih banyak lagi,” katanya.
Tuntutan massa AMPG itu turut didukung oleh Wakil Koordinator Bidang Pratama DPP Golkar Bambang Soesatyo. Bambang, seperti diketahui telah mendeklarasikan diri akan maju sebagai calon ketua umum Golkar pada munas mendatang.
”Dorongan dari kader agar pimpinan Golkar melaksanakan sejumlah agenda partai yang mendesak, seperti rapat pleno, jangan ditanggapi dengan sikap panik atau rasa takut. Segala sesuatunya akan berjalan dengan baik jika DPP Golkar terbuka dan komunikatif dengan semua elemen Partai Golkar,” ujarnya.
Baca juga: Bambang Soesatyo Makin Percaya Diri
Prestasi Airlangga
Meski terus didesak, Airlangga serta kubu pengurus dan kader pendukungnya tetap bergeming. Mereka tak mau mengubah jadwal munas.
Dengan jadwal munas tak diubah yaitu masih empat bulan lagi, maka rapat pleno tak perlu tergesa-gesa digelar. Sejumlah pengurus menyebut, penyelenggaraan rapat pleno kemungkinan menunggu penetapan perolehan kursi dan anggota DPR hasil Pemilu 2019 oleh Komisi Pemilihan Umum.
”Saat ini, kan, hasil pileg (Pemilu Legislatif 2019) saja belum diketuk palu. Bagaimana bisa kami segera melaksanakan rapat pleno, apa yang mau dirapatkan?” kata Koordinator Bidang Penggalangan Khusus DPP Golkar Rizal Mallarangeng.
Kubu pendukung Airlangga pun menampik tudingan bahwa DPP Golkar di bawah kepemimpinan Airlangga telah gagal dalam Pemilu 2019. Bagi mereka, Airlangga justru telah mendulang kesuksesan.
Sebab, perolehan suara pada Pemilu 2019 jauh di atas survei sejumlah lembaga sebelum pesta demokrasi itu dimulai. Saat itu, Golkar diprediksi hanya memperoleh 7-8 persen suara nasional.
Baca juga: Saling Klaim Dukungan demi Kursi Ketum Golkar
Apalagi Airlangga dihadapkan pada tantangan yang tidak ringan. Dia memegang tampuk kepemimpinan ketika Golkar diserang kritik dari berbagai penjuru akibat tindak pidana korupsi proyek KTP elektronik yang melibatkan Setya Novanto, Ketua Umum Golkar 2016-2017. Ditambah lagi, perilaku korup sejumlah anggota DPR dari partai tersebut.
Sama seperti Bambang, Airlangga sebelumnya telah menyatakan kesiapannya maju sebagai calon ketua umum Golkar di munas mendatang. Airlangga bahkan mengklaim telah memperoleh dukungan mayoritas kader Golkar.
Pertaruhan
Sikap ngotot kedua kubu, Airlangga Hartarto dan Bambang Soesatyo, itu disinyalir karena karir politik masing-masing menjadi taruhannya.
Jika Airlangga masih jadi ketua umum hingga Oktober nanti misalnya, kecil kemungkinan dia akan menyodorkan nama Bambang yang akan menjadi rivalnya di munas mendatang, untuk menduduki posisi strategis di eksekutif ataupun legislatif. Sebab, posisi strategis turut menentukan kans untuk meraih kemenangan di munas. Maka Bambang yang kini menjabat ketua DPR bisa jadi tak lagi menjabat posisi strategis apapun kelak.
Begitu pula sebaliknya, jika munas digelar sebelum Oktober, dan Bambang terpilih duduk di singgasana Golkar. Bisa saja Airlangga tak dipercaya menduduki jabatan apapun di periode pemerintahan selanjutnya oleh Bambang. Dalam arti kata lain, karir politiknya bakal berakhir.
Oktober 2019 seperti diketahui, merupakan saat Presiden-Wakil Presiden terpilih, Joko Widodo-Ma\'ruf Amin, dilantik, dan momen pemimpin terpilih menentukan menteri-menteri dalam kabinet.
Di bulan yang sama, anggota MPR/DPR terpilih dilantik, sekaligus akan ditetapkan pimpinan MPR/DPR yang mayoritas diantaranya bakal diisi oleh kader partai politik.
“Posisi Ketua Umum Golkar ke depan memang sangat strategis. Sebagai partai pendukung presiden dan wakil presiden terpilih, Golkar memiliki kesempatan untuk menempatkan kadernya di kabinet. Kader yang ditempatkan jelas harus banyak berkoordinasi dengan ketua umum,” kata Direktur Eksekutif Para Syndicate Ari Nurcahyo.
Baca juga: Partai Koalisi Mulai Incar Jabatan Kunci Eksekutif-Legislatif
Selain itu, Golkar berpeluang besar untuk beranjak dari posisi sebagai partai pendukung calon presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2019 menjadi pengusung pemimpin negara pada Pemilu 2024. Momentum politik lima tahun mendatang itu membuat tensi perebutan kursi ketua umum kian panas.
“Siapa pun Ketua Umum Golkar, ia sangat berpeluang untuk dicalonkan sebagai calon presiden atau calon wakil presiden lima tahun lagi,” ujar Ari.
Nasib partai
Di sisi lain, pertarungan untuk menempati pucuk pimpinan partai itu juga menjadi pertaruhan bagi nasib partai. Akankah Golkar kembali terjerumus dalam konflik internal berkepanjangan?
Konflik internal bukan barang baru bagi Golkar. Partai yang berhasil lolos dari kemarahan masyarakat pasca-keruntuhan Orde Baru hingga dekrit Presiden Abdurrahman Wahid pada 2001 untuk membubarkannya itu, tak pernah sepi dari pertentangan antarelite.
Salah satu yang terbesar, pasca-2004, friksi di tubuh partai membuahkan perpecahan elite dan mendorong mereka membangun partai politik yang baru. Sebut saja Partai Gerindra, Hanura, dan Nasdem yang didirikan mantan elite “beringin”.
Baca juga: Golkar Perlu Waspadai Konflik Internal Jelang Munas
Saling rebut posisi ketua umum pun bukan rahasia. Pada Munas Golkar 2014, bahkan ada dua versi ketua umum, yaitu Aburizal Bakrie dan Agung Laksono.
Pengamat politik di Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes mengatakan, Golkar memang identik dengan kompetisi internal antarkader. Namun, partai selalu memiliki formula untuk menyelesaikan permasalahan hingga keluar dari dampak ikutannya.
Riak masalah seperti demonstrasi, penyegelan, dan pelarangan masuk ke kantor DPP seperti terlihat belakangan, dinilai sebatas aksi unjuk kekuatan. Setiap faksi tengah berupaya memancing respons dan membaca psikologi politik internal.
Arya pun yakin, pertarungan antara Bambang dan Airlangga tidak akan memuncak hingga perpecahan.
“Setelah kompetisi (memperebutkan kursi ketua umum), seluruh faksi akan saling mengakomodasi dalam rangka menjalankan organisasi. Hal itu yang menyebabkan perpecahan tidak terjadi (lagi) di Golkar,” ujar Arya.
Baca juga: Partai Politik Pasca-pemilu
Melalui berbagai kompetisi terbuka, kata Arya, Golkar juga menunjukkan sikap sebagai partai modern yang demokratis. Akan tetapi, lebih baik jika kompetisi itu dilakukan secara sehat. Tak perlu mengerahkan massa. Tak perlu pula menutup pintu dialog. Bangsa ini baru saja keluar dari gonjang-ganjing politik akibat Pemilu 2019, tak perlu lagi diseret masuk ke lubang yang sama.