Penentangan terhadap Perdana Menteri Inggris Boris Johnson makin meluas setelah ia memutuskan menskors parlemen selama lima pekan untuk memuluskan opsi Brexit tanpa kesepakatan.
Oleh
Myrna Ratna
·3 menit baca
LONDON, KAMIS — Keputusan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson untuk menskors parlemen selama lima pekan menjelang tenggat Brexit, 31 Oktober 2019, menimbulkan kemarahan luas di Inggris, Kamis (29/8/ 2019). Langkah Johnson tersebut dianggap menghina demokrasi.
Johnson secara mengejutkan mengumumkan langkah itu, Rabu lalu, dengan alasan dirinya membutuhkan ruang untuk melakukan agenda domestik yang ambisius dan berani.
Langkah Johnson itu ditengarai untuk memotong keinginan mayoritas anggota parlemen yang menginginkan Inggris keluar dari Uni Eropa (UE) dengan kesepakatan. Partai Johnson, Konservatif, dan koalisinya, Partai Uni Demokratik (DUP), hanya unggul satu kursi sebagai mayoritas.
Johnson berniat menskors parlemen dari pertengahan September sampai 14 Oktober, atau hanya dua pekan menjelang tenggat Brexit, sehingga sulit bagi parlemen untuk melakukan perubahan. Manuver itu menimbulkan reaksi kemarahan di berbagai kalangan dan mempersatukan kubu oposisi.
Partai Buruh bertekad akan menggunakan segala cara untuk membendung langkah Johnson, termasuk memproses mosi tidak percaya dan bersiap menghadapi kemungkinan percepatan pemilu.
Sebelumnya, Johnson menantang kubu oposisi di parlemen untuk menjatuhkan pemerintahannya terlebih dulu atau mengubah undang-undang jika mereka ingin menghalangi Inggris keluar dari UE. Tantangan tersebut diterima oleh oposisi.
”Ini adalah pesan pribadi untuk Boris Johnson: tantanganmu diterima!” kata John McDonnell, salah satu pimpinan Buruh di parlemen.
Langkah Johnson itu juga menimbulkan kerugian politis bagi Konservatif. Pemimpin Partai Konservatif di Skotlandia, Ruth Davidson, kemarin, mundur dari jabatannya karena tidak menyetujui langkah Johnson. Davidson mengatakan, persatuan Inggris sangat tergantung pada upaya saling menghormati yang saat ini hilang dalam debat politik terkait Brexit.
”Tanpa rasa hormat, Anda tak akan memperoleh pemahaman dan Anda tak akan bisa mempersatukan, sesuatu yang saat ini dibutuhkan Inggris dan Skotlandia,” kata Davidson yang mengaku dirinya mengira PM Johnson akan mengupayakan kesepakatan Brexit.
Davidson merupakan sosok yang disegani di Skotlandia. Ia berhasil membesarkan Partai Konservatif di wilayah itu yang dikuasai Partai Nasionalis Skotlandia pimpinan Nicola Sturgeon. Tadinya, Konservatif hanya memiliki satu kursi di parlemen dan kini memiliki 31 kursi.
Aksi protes
Ribuan orang juga turun ke jalan di London, Manchester, Edinburgh, dan sejumlah kota lainnya untuk menentang keputusan Johnson. Di depan gedung parlemen, para pengunjuk rasa meneriakkan slogan-slogan ”stop kudeta”.
Aksi demonstrasi diperkirakan berlanjut dan membesar pada akhir pekan. Di dunia maya, petisi daring yang menentang keputusan Johnson telah didukung sekitar 1,2 juta tanda tangan.
Gina Miller, aktivis anti-Brexit, yang pada 2017 memenangi gugatan agar parlemen memiliki suara akhir dalam proses Brexit, kemarin mengajukan uji materi terhadap keputusan Johnson.
”Tak ada contoh dalam sejarah modern langkah prorogasi (menskors parlemen) diterapkan seperti ini. Jelas hal ini dilakukan untuk menghambat parlemen yang mendukung Brexit dengan kesepakatan,” kata Miller.
Pada masa kepemimpinan PM Theresa May, parlemen tiga kali menolak Kesepakatan Brexit (Withdrawal Agreement) yang ditandatangani Inggris-UE pada November 2018. Penolakan tersebut menyebabkan May mundur dari jabatannya. (AP/AFP/REUTERS)