Lindungi Rakyat Nduga
Di sebuah rumah dengan sinar temaran, sekelompok anak belasan tahun berkumpul di Kenyam, ibu kota Kabupaten Nduga, Papua, awal Agustus lalu. Mereka bercerita tentang susahnya mengungsi. Salah seorang dari anak itu menggambar bendera bintang kejora dan senapan laras panjang.
Bibit perlawanan berkembang di kawasan itu karena merasa diperlakukan tidak adil. Hal yang sama dialami Egianus Kogoya pemimpin Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) yang membunuh karyawan PT Istaka Karya, Desember 2018 lalu. Sejak balita, Egianus kerap mengungsi bersama ayahnya Silas, yang juga panglima perang Kelly Kwalik. Mereka menculik para peneliti Lorenz pada tahun 1996.
Lingkaran kekerasan ditengarai belum berhenti di Papua. Perasaan telah diperlakukan tidak adil, terus diwariskan bentuk cerita turun temurun seperti dalam kalimat "aparat keamanan kasih habis kampung, setiap ke rumah sakit pulang mayat karena tidak ada obat, aparat jual minuman keras untuk bunuh orang Papua."
Simbol dan berbagai upacara tetap dijaga oleh orang Papua sambil menjaga impian munculnya penyelamat. Kondisi ini juga membuat banyak korban dari personil TNI dan Polri yang bertugas di Papua.
Sulit bagi aparat membedakan KKB dan masyarakat biasa.
Wilayah pegunungan tengah jadi pusat aktivitas KKB. Gunung yang tinggi dan hutan lebat membuat TNI/Polri pun sulit mengatasinya. Sulit bagi aparat membedakan KKB dan masyarakat biasa. Sementara, suku-suku di pegunungan punya tradisi perang yang kuat.
Nisye A Manembu dalam studi antropologi tahun 1991 mencatat, suku Nduga punya jabatan khusus panglima perang Wimbo yang punya asisten operasi Wimnanduk, asisten intelijen Wimimbrik dan Wimabok sebagai asisten teritorial. Ada seleksi untuk jadi prajurit, hanya yang punya mental dan kaki kuat yang lulus tes. “Mereka tutup mata saja hafal jalan dalam hutan. Kita buka mata lebar-lebar masih kesasar,” kata seorang perwira.
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Adriana Elisabeth menekankan, perlu ada pemetaan tentang KKB di Papua, antara yang pragmatis dan ideologis. Setelah itu, perlu diteliti bagaimana menanganinya. Ia mengatakan, sering kali anak muda Papua bergabung dengan KKB karena tidak ada pilihan lain. Mereka putus sekolah, tidak punya banyak kesempatan dalam arus pembanungan, dan seringkali juga mendapat ancaman dari kelompoknya sendiri.
“Kau tikam. Kalau tidak tikam, saya yang tikam kau,” kata Adriana menirukan cerita KKB yang tengah ditahan.
Strategi
Upaya untuk menuntaskan separatisme tidak akan bisa dicapai dengan menghabisi gerilyawan satu per satu, atau dengan menduduki wilayah. Kemenangan melawan KKB bisa dicapai kalau negara berhasil merebut hati dan pikiran masyarakat.
Seluruh warga Indonesia yang harus terlibat, merangkul orang Papua sebagai saudara sebangsa.
Terkait hal itu, ada dua hal yang perlu digarisbawahi. Pertama, operasi di Papua bukan hanya operasi dengan senjata. Sejarah membuktikan, operasi lawan gerilyawan yang berhasil seperti di Malaysia dan Srilangka, didominasi oleh pemerintah sipil yang aspiratif dan melayani masyarakat. Seluruh warga Indonesia yang harus terlibat, merangkul orang Papua sebagai saudara sebangsa. Program pemerintah juga harus mendengarkan aspirasi masyarakat, dan dilanjutkan dengan implementasi nyata.
TNI/Polri dibutuhkan untuk mengejar kelompok bersenjata. Namun, tujuannya bukan untuk menghabisi mereka, tetapi melindungi masyarakat dari kelompok ini. Setelah itu, dilakukan operasi teritorial untuk menjalin persahabatan dengan rakyat.
Tindakan ini akan menciptakan isolasi emosi antara rakyat dan KKB. Pemihakan rakyat dan keyakinan bahwa TNI/Polri mampu menjamin keselamatannya akan membuat masyarakat memberikan informasi yang dibutuhkan untuk operasi penegakan hukum yang presisi, dimana yang dihabisi bukan manusianya. Namun, keinginan untuk memisahkan diri.
Masalah Implementasi
Dengan kerangka tersebut, bagaimana Nduga hari ini? Bangsa Indonesia non Papua ditengarai masih ada yang memiliki bias rasial dengan orang Papua. Kebijakan dari pemerintah pusat untuk Papua diduga kurang diiringi dengan supervisi yang kuat, baik secara hukum maupun administrasi, terhadap pemerintah daerah yang fungsinya perlu dioptimalkan. Sementara, sebagian warga Papua, takut dengan aparat keamanan.
Sementara, KKB cepat beradaptasi. Mereka sadar, sampai kapanpun persenjataan KKB tidak akan bisa mengatasi TNI. Oleh karena itu, front perjuangan kemerdekaan Papua yang kontemporer hadir dalam bentuk propaganda terutama di media sosial dan diplomasi.
Asisten Operasi Kapolri Inspektur Jenderal Martuani Sormin dan Asisten Operasi Panglima TNI Mayor Jenderal Ganip Warsito, sama-sama berpendapat, yang harus dimenangkan adalah hati dan pikiran orang Papua. Masalahnya, bagaimana caranya? Apalagi khusus untuk daerah Nduga, dari 32 distrik yang ada, kurang dari lima distrik yang memiliki pos permanen TNI maupun Polri. Ini membuat siapapun aparat yang ditugaskan ke wilayah tersebut ibarat menjadi sasaran empuk KKB.
Martuani yang pernah menjadi Kapolda Papua dan Kapolda Papua Barat mengatakan, dalam kesehariannya, anggota Polri harus bisa mengambil hati masyarakat. Kesadaran dan kemampuan ini diakuinya tidak bisa diberikan dalam bentuk pembekalan atau pelatihan karena sifatnya pribadi. “Perlu ada aksi afirmatif. Di Polda misalnya harus ada keterwakilan orang Papua yang bisa dilihat publik,” kata Martuani.
Setelah insiden yang dialami karyawan PT Istaka Karya pada Desember 2018, TNI dan Polri membentuk operasi gabungan di bawah Satgas Nemangkawi dengan tugas penegakan hukum. Menurut Martuani, sinergi TNI/Polri sudah baik.
Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Sisriadi mengatakan, operasi TNI di Papua ada yang bersifat rutin, yaitu pengamanan perbatasan serta pengamanan daerah rawan, serta khusus yaitu Satgas Nemangkawi. Menurutnya, mulai Maret 2019, ada satuan zeni tempur yang ditugaskan untuk membantu pembangunan infrastruktur. Sisriadi menyakinkan kalau operasi berjalan lancar dan terkoordinasi di bawah Panglima Kodam Cendrawasih.
Baik Sisriadi maupun Martuani membantah kalau TNI/Polri menembak dengan membabi buta. Sisriadi mengatakan, semua operasi TNI terukur. Apalagi terhadap KKB, kekuatan yang digunakan tidak boleh berlebihan dan tidak boleh menimbulkan efek samping terutama pada masyarakat sipil.
Jika masyarakat ada yang berkomunikasi dengan kita, begitu tentara pulang, mereka yang diancam
Menurut mereka, hal yang paling sulit dalam operasi mengatasi KKB, adalah memisahkan KKB dengan masyarakat. Apalagi kalau malam hari sampai subuh. “Jika masyarakat ada yang berkomunikasi dengan kita, begitu tentara pulang, mereka yang diancam,” tutur Sisriadi.
Profesionalisme TNI/Polri menjadi ujung tombak. Otoritas politik perlu membuat strategi pembangunan yang tepat sehingga tidak menjadikan TNI/Polri terpaksa berhadapan dengan rakyat. Dan yang utama, rasa kebangsaan rakyat Indonesia mendapat ujian berat. Sejarah akan mencatat, bagaimana bangsa ini menyelesaikan masalah untuk saudara sebangsa yang tengah menderita di Nduga.