Dalam rangkaian pidato kenegaraan pada peringatan HUT Ke-74 Republik Indonesia, 16 Agustus lalu, Presiden Joko Widodo menegaskan visi Indonesia Maju periode kedua jabatannya sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara RI.
Harian Kompas mengadakan Diskusi Panel Ekonomi bertema ”Tantangan Pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin 2019-2024” di Redaksi Kompas, Rabu (31/7/2019). Para panelis adalah Achmad Zaky, CEO dan pendiri Bukalapak; Bambang Kesowo, Ketua Dewan Penasihat Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas; Faisal Basri, pengajar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia; Mohammad Nadjikh, pengusaha perikanan; Yustinus Prastowo, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis; dan A Prasetyantoko, Rektor Unika Atma Jaya Jakarta, sebagai moderator. Laporan dirangkum dan diperkaya oleh Ninuk Mardiana Pambudy, Dewi Indriastuti, Rini Kustiasih, dan Karina Isna Irawan.
Dalam rangkaian pidato kenegaraan pada peringatan HUT Ke-74 Republik Indonesia, 16 Agustus lalu, Presiden Joko Widodo menegaskan visi Indonesia Maju periode kedua jabatannya sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara RI.
Penekanan pada membangun manusia berkualitas dan berkompeten, dapat bersaing global, bahkan melompat mendahului bangsa-bangsa lain. Pembangunan manusia harus holistik, dimulai sejak dalam kandungan, dewasa, hingga lansia.
Setelah pelantikan presiden pada 20 Oktober 2019, kabinet akan langsung bekerja karena Presiden menginginkan semua bekerja cepat. Rakyat berharap, bekerja cepat dan selamat untuk mencapai target sesuai janji kampanye.
Para menteri dan birokrasi dari pucuk hingga pelaksana terbawah, dari pusat hingga ke daerah, sebagai ujung tombak mewujudnya program kerja perlu segera memahami gagasan di balik visi Presiden.
Pengalaman 2014 dapat menjadi pembelajaran, penuangan janji kampanye ke dalam program konkret berjalan lambat. Saat ini ada kesempatan bekerja cepat dan selamat dengan cara segera menuangkan visi dan tujuan membangun selama lima tahun ke depan ke dalam misi, strategi, dan program kerja konkret, tidak sekadar menyalin program sebelumnya. Hal ini mengingat birokrasi, aparat sipil negara, tidak terlibat sebagai tim penyusun visi dan misi saat kampanye pemilihan presiden.
Akar persoalan
Idealnya, dari visi membangun manusia dapat diturunkan program kerja yang berdampak langsung pada meningkatnya daya saing Indonesia. Daya saing mulai dari kualitas, termasuk karakter, manusia, hingga produknya, seperti hasil industri manufaktur dan meningkatkan nilai tambah sumber daya alam yang menjadi keunggulan komparatif dan kompetitif Indonesia, seperti hasil laut dan perikanan, sebagai sumber nutrisi dan pertumbuhan ekonomi masa depan.
Penyusunan program kerja harus berawal dari akar persoalan. Data statistik memperlihatkan investasi langsung Indonesia terus meningkat, bahkan lebih tinggi dari negara berpenghasilan menengah-bawah dan menengah atas.
Persoalan Indonesia adalah kelembagaan, termasuk di dalamnya adalah peraturan, belum mendukung penciptaan dan pengembangan bisnis, bahkan cenderung membatasi. Kualitas kelembagaan rendah, dicerminkan dari masih tingginya korupsi dan belum kuatnya koordinasi kebijakan.
Dari sisi fiskal, rasio pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) masih rendah. Sementara penyediaan infrastruktur untuk konektivitas masih harus ditingkatkan.
Persoalan mendasar lain adalah kenaikan nisbah jumlah investasi yang diperlukan untuk meningkatkan satu unit pertumbuhan ekonomi (incremental capital-output ratio/ICOR) sejak tahun 2010. Hal ini menunjukkan naiknya ketidakefisienan ekonomi, antara lain, karena korupsi.
Kebutuhan akan daya saing semakin tinggi pada era industri 4.0. Teknologi digital mengubah lanskap persaingan karena bermodalkan ilmu pengetahuan maju, sementara lebih dari separuh tenaga kerja Indonesia berpendidikan sekolah menengah pertama ke bawah. Memadukan antara arah dan strategi industrialisasi dengan pengetahuan dan kearifan lokal, misalnya dalam pangan dan obat- obatan, dapat menjadi nilai tambah jika dikelola secara tepat.
Ketika semua berbicara internet of all things sebagai cara menciptakan bentuk-bentuk baru ekonomi, pada dasarnya basisnya tetap sektor riil dan jasa. Dalam hal ini, produk manufaktur dan produk olahan berbahan kekayaan alam Indonesia harus dapat ditingkatkan daya saingnya.
Perang dagang antara Amerika Serikat dan China menjadi faktor eksternal yang sangat memengaruhi kinerja ekonomi dalam negeri. Langkah China terus melemahkan nilai tukar renminbi membuat produk negara itu semakin murah dan membuat turunnya daya saing produk industri banyak negara, termasuk Indonesia.
Kelembagaan
Selama empat tahun terakhir, ekonomi tumbuh stabil pada kisaran 5 persen, termasuk baik bila mengingat kehati-hatian fiskal pemerintah.
Namun, perang dagang menyebabkan harga komoditas di pasar internasional ikut tertekan. Padahal, ekspor komoditas batubara dan minyak sawit mentah adalah sumber devisa.
Motor pertumbuhan coba dialihkan ke konsumsi dalam negeri. Hal itu dapat terjadi jika investasi pada industri di sektor padat karya dan berteknologi tinggi tumbuh. Pusat-pusat pertumbuhan baru tersedia di luar Jawa, berbasis industri jasa (pariwisata) dan pengolahan sumber daya alam mineral dan logam, perikanan dan kemaritiman, serta pertanian-perkebunan yang menjadi keunggulan setempat.
Insentif perpajakan telah banyak diberikan untuk mendorong investasi, tetapi tampaknya belum cukup. Reformasi perpajakan komprehensif menjadi kebutuhan mengingat rasio penerimaan pajak terhadap PDB menurun dari 14 persen pada tahun 2012 menjadi 10,7 persen tahun lalu.
Mendorong investasi membutuhkan dukungan kelembagaan, terutama peraturan, yang konvergen dan memberi kepastian. Koordinasi antarlembaga, antara pusat dan daerah, semakin penting jika pemerintah ingin bergerak cepat. Untuk itu dibutuhkan menteri dan pimpinan lembaga negara yang paham visi Presiden, benar mengerti permasalahan, dan memiliki kemampuan manajerial.
Ke depan, Indonesia juga menghadapi masalah perubahan iklim hingga gerakan berbasis identitas yang dapat bergesekan dengan nilai-nilai NKRI dan Pancasila. Ketidakpuasan sosial, gesekan di antara elite, dan kondisi demografi menjadi titik lemah Indonesia dalam indeks negara rentan 2019.
Setelah Pemilu 2019 selesai, yang masih tersisa adalah ketidakpuasan sosial dan kondisi demografi. Dua hal ini akan berkaitan jika besarnya jumlah penduduk usia produktif dalam bonus demografi saat ini tidak disertai dengan peningkatan ketersediaan lapangan kerja berkualitas.