SEOUL, KOMPAS – Musyawarah mufakat sebagai nilai yang terkandung dalam Pancasila bisa membuka ruang dialog tanpa adanya dominasi salah satu pihak. Dengan begitu, dialog dalam membahas tema yang sudah disepakati bersama tidak berlangsung dalam bingkai paradigma mayoritas dan minoritas. Metode komunikasi politik ini bisa menjadi sarana efektif dalam mencapai resolusi konflik dan menjaga perdamaian.
Musyawarah mufakat juga bisa diterapkan dalam mendorong perdamaian dan reunifikasi di Semenanjung Korea. Adapun, Korea yang semula merupakan satu bangsa, sejak Perang Korea (1950-1953), hingga kini terpisah oleh garis demilitarized zone (DMZ) sepanjang 250 kilometer yang membelah Semanjung Korea menjadi dua bagian.
Dalam forum ini, saya menawarkan kembali metode demokrasi yang ada dalam Pancasila, yakni musyawarah dan mufakat
“Dalam forum ini, saya menawarkan kembali metode demokrasi yang ada dalam Pancasila, yakni musyawarah dan mufakat,” kata Presiden Ke-5 Republik Indonesia Megawati Soekarnoputri saat berbicara dalam Demilitarized Zone (DMZ) International Forum on the Peace Economy di Seoul, Korea Selatan, Kamis (29/08/2019).
Megawati menjadi pembicara utama di forum itu bersama antara lain, mantan Kanselir Jerman Gerhard Schroder, mantan Perdana Menteri Jepang Hatoyama Yukio, serta mantan Presiden Mongolia Orchirbat Punsalmaagiin. Konferensi itu diselenggarakan oleh The Korean Institute for International Economic Policy dan The National Research Council for Economics, Humanities, and Social Sciences.
Menurut Megawati, musyawarah mufakat adalah cara untuk mencapai satu kesepakatan yang di dalamnya terpatri keputusan politik berupa tindakan afirmasi negara kepada rakyat, terutama kelompok yang termarjinalkan. Hal ini tidak mudah dilaksanakan, tetapi bukan sesuatu yang tidak mungkin dijalankan.
Untuk itu, Megawati berharap pemimpin Korut dan Korsel bisa mengadakan pertemuan-pertemuan sebagai saudara, sehingga proses reunifikasi bisa dirumuskan secara lebih baik.
Megawati juga berharap, setelah perdamaian di Semenanjung Korea tercapai, maka juga akan diikuti dengan kerjasama-kerjasama konkret di antara Korea Utara dan Korea Selatan. Kerjasama itu sepatutnya bukan kerjasama ekonomi yang pragmatis sempit, tetapi kerjasama luas yang mencakup pendidikan, lingkungan hidup, dan kebudayaan.
Saat perdamaian tercapai, bukan berarti perjuangan berhenti.
“Saat perdamaian tercapai, bukan berarti perjuangan berhenti. Perjuangan selanjutnya adalah mengkristalisasikan perdamaian sebagai alat untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup rakyat,” kata Megawati.
Perdana Menteri Korea Selatan Lee Nak-yon, dalam sambutannya yang ditayangkan melalui layer monitor konferensi menyampaikan konflik Korut dan Korsel yang sudah berlangsung puluhan tahun belakangan mulai menunjukkan perubahan. Saat ini sudah mulai tampak perubahan di DMZ yang menjadi garis terdepan kedua Korea setelah gencatan senjata, seperti dihancurkannya bebrapa pos jaga di DMZ dan penarikan sejumlah senjata berat dari area DMZ. Selain itu, jalan damai di sisi selatan DMZ juga sudah dibangun.
Lee menekankan, jalan menuju perdamaian di Semenanjung Korea tidak mulus. Berbagai cobaan masih bisa muncul. Namun, dia meyakini, semua pihak memiliki tujuan yang sama, yakni mencapai perdamaian. Sebab, hanya melalui perdamaian, maka kemakmuran bersama bisa dicapai. Tidak hanya di Semenanjung Korea, tetapi juga di dunia.
Sementara itu, mantan Kanselir Jerman Gerhard Schroder menekankan pentingnya komunikasi dalam mendorong perdamaian di Korea. Menurut dia, sudah saatnya kedua Korea kembali bersatu. Apalagi, saat ini dunia menghadapi berbagai persoalan yang perlu dihadapi bersama-sama, seperti melawan kemiskinan, menekan kejahatan, perubahan iklim, dan terorisme.
“Usaha atau kerja keras satu pihak tidak bisa selesaikan masalah dan mewujudkan perdamaian. Jadi, kerjasama dengan negara tetangga dan regional jadi syarat dasar mencapai perdamaian dan kemakmuran. Perdamaian juga bergantung pada ketaatan pada hukum,” katanya.
Tidak memihak
Dalam forum DMZ, Megawati juga menyampaikan sikapnya yang berusaha tidak memihak Korut maupun Korsel. Hal ini tidak terlepas dari pesan yang disampaikan Presiden Pertama RI Soekarno yang juga ayah Megawati. Bung Karno juga sempat berpesan agar Megawati terus membantu menyatukan Korea Utara dan Korea Selatan.
Pilihlah jalan perdamaian. Pegang teguh ideologi Pancasila yang akan menuntunmu ke jalan perdamaian.
“Berdirilah tidak untuk memilih Korea Selatan atau Korea Utara. Pilihlah jalan perdamaian. Pegang teguh ideologi Pancasila yang akan menuntunmu ke jalan perdamaian. Jalan ini akan mempertemukanmu dengan pemimpin dan rakyat kedua negara, yang sama-sama berjuang untuk perdamaian dan kedaulatan Korea,” tutur Megawati mengutip pesan ayahnya.
Karena menjalankan pesan itu, Megawati bisa diterima dengan baik oleh Korut dan Korsel, sehingga bisa menjadi “jembatan” kedua negara. Pada saat ia menjabat sebagai Presiden RI di tahun 2002, Megawati bertemu dengan Presiden Korsel Kim Dae Jung yang secara informal meminta Megawati menjadi semacam utusan khusus untuk berbicara dengan pemimpin Korut Kim Jong Il, ayah dari pemimpin Korut saat ini, yakni Kim Jong Un.
“Saat itu saya sering datang baik ke Korsel maupun ke Korut. Kepada Yang Mulia Kim Jong Il, saya berusaha meyakinkan beliau bahwa sudah tiba waktunya untuk berusaha menyatukan dua korea menjadi Korea,” tutur Megawati.