Badan Nasional Penanggulangan Bencana beserta pemangku kebijakan di Kalimantan Barat mengevaluasi penanganan kebakaran lahan yang telah dilakukan.
Oleh
EMANUEL EDI SAPUTRA
·3 menit baca
PONTIANAK, KOMPAS — Badan Nasional Penanggulangan Bencana beserta pemangku kebijakan di Kalimantan Barat mengevaluasi penanganan kebakaran lahan yang telah dilakukan. Hasil evaluasi menunjukkan aspek pencegahan masih belum optimal.
”Kita harus jujur mengatakan bahwa pencegahan kebakaran lahan memang belum optimal meskipun progres dari tahun ke tahun sudah ada. Fakta konkret pencegahan belum optimal adalah masih adanya kebakaran lahan meskipun sudah menurun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya,” ujar Tenaga Ahli Badan Nasional Penanggulangan Bencana Amrin dalam rapat evaluasi penanganan kebakaran lahan di Pontianak, Jumat (30/8/2019).
Padahal, pencegahan jauh lebih memudahkan pekerjaan daripada pemadaman meskipun pencegahan memerlukan ketelatenan. ”Kami berharap pemerintah daerah lebih mengoptimalkan pencegahan ke depannya,” kata Amrin.
Selain itu, keterpaduan antarinstansi juga belum optimal. Padahal, roh dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 11 Tahun 2015 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan adalah keterlibatan semua pihak dalam pengendalian kebakaran lahan. Maka, ke depan, diperlukan keterlibatan dan perhatian akan hal itu.
”Perpres itu instruksi untuk semua instansi yang terkait dalam hal penanganan kebakaran lahan. Jika perpres itu dioptimalkan, setidaknya kebakaran lahan dapat semakin diminimalkan. Kalau mengandalkan pemadaman, biayanya mahal. Untuk helikopter saja bisa mencapai Rp 200 juta per hari,” kata Amrin.
Kita harus jujur mengatakan bahwa pencegahan kebakaran lahan memang belum optimal meskipun progres dari tahun ke tahun sudah ada.
Sejak awal
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kalbar Lumano mengatakan, pencegahan harus dilakukan di awal tahun, tidak bisa di pertengahan tahun. Tahun ini, luas kebakaran lahan di Kalbar sejak Januari hingga Agustus mencapai 3.613 hektar.
Berdasarkan catatan Kompas, kebakaran lahan dan hutan di Kalbar selama Januari-Desember tahun 2018 menghanguskan lahan seluas 68.313 hektar. Akhir Agustus ini hujan mulai mengguyur Kalbar sehingga jumlah lahan yang terbakar pada 2019 diharapkan tidak sebesar tahun 2018.
Kepala Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman, dan Lingkungan Hidup Kalbar Adi Yani mengatakan, pencegahan salah satunya telah dilakukan melalui Badan Restorasi Gambut (BRG) yang melakukan restorasi lahan yang terbakar tahun 2015.
Kalbar memiliki lahan gambut seluas 1,7 juta hektar. Adapun lahan yang direstorasi seluas 119.000 hektar. BRG juga membangun 228 sumur bor dan 479 sekat kanal. Namun, revegetasi belum dilakukan. Tahun ini revegetasi baru dilakukan di Kabupaten Kubu Raya dan Mempawah.
Kepala Dinas Perkebunan Kalbar Florentinus Anum mengatakan, pihaknya sebetulnya sejak awal sudah meminta kepada semua perusahaan perkebunan di Kalbar untuk berpatroli 24 jam di kawasan masing-masing. Kesiapan sarana dan prasarana pemadaman juga diminta dilengkapi. Titik api di lahan konsesi menjadi tanggung jawab korporasi selaku pemilik konsesi.
Lahan konsesi di daerah sebetulnya menjadi tanggung jawab kabupaten dalam hal pengawasan dan pengendaliannya. Namun, keterlibatan kabupaten/kota belum optimal, baik dalam pencegahan maupun penanggulangan.
Wakil Gubernur Kalbar Ria Norsan mengatakan, untuk mencegah agar kebakaran tidak terulang, Pemerintah Provinsi Kalbar telah mengeluarkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 39 Tahun 2019.
Dalam pergub itu tercantum ketentuan bahwa pihak perkebunan yang lalai dalam pencegah dan menanggulangi kebakaran lahan akan dicabut izinnya selama tiga tahun. Jika pembakaran disengaja, pencabutan izin dilakukan lima tahun. Korporasi juga diwajibkan memulihkan lahan terbakar.