Penerbitan Sertifikat Tanah Ditargetkan Tuntas 2025
Pemerintah berupaya terus mempercepat penerbitan sertifikat tanah milik warga yang pada 2019 ditargetkan mencapai 9 juta lembar. Dengan upaya tersebut, penerbitan sertifikat semua bidang tanah di seluruh Indonesia, akan tuntas pada tahun 2025.
Oleh
REGINA RUKMORINI/NINA SUSILO
·3 menit baca
MAGELANG, KOMPAS - Pemerintah berupaya terus mempercepat penerbitan sertifikat tanah milik warga yang pada 2019 ditargetkan mencapai 9 juta lembar. Dengan upaya tersebut, penerbitan sertifikat semua bidang tanah di seluruh Indonesia, akan tuntas pada tahun 2025.
Demikian dituturkan Presiden Joko Widodo, dalam acara penyerahan sertifikat bagi 5.000 warga Kabupaten Magelang di Stadion Gemilang di Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Jumat (30/8/2019).
Hingga 2015, menurut Presiden Jokowi, penerbitan sertifikat tanah hanya berkisar 500.000-600.000 lembar per tahun. Jumlah ini terbilang sangat sedikit. “Jangan sampai masyarakat mengantre, menunggu hingga ratusan tahun hanya untuk mendapatkan sertifikat,” ujarnya.
Dengan melihat total luas lahan milik masyarakat, menurut Jokowi, pemerintah seharusnya telah menerbitkan 126 juta sertifikat. Namun, hingga 2014, pemerintah baru menerbitkan 46 juta sertifikat. Sisa 80 juta sertifikat itulah yang kini menjadi pekerjaan rumah yang harus dituntaskan pemerintah hingga 2025.
Terkait upaya penuntasan penerbitan sertifikat tanah, Presiden Jokowi mengatakan, pihaknya terus berupaya penerbitan sertifikat tanah terus meningkat. Pada 2017, jumlah sertifikat yang diterbitkan mencapai 5 juta lembar dan pada 2018 meningkat menjadi 7 juta lembar. Pada 2019 ini, jumlah sertifikat tanah yang diterbitkan ditargetkan mencapai 9 juta lembar.
Jokowi mengungkapkan, masalah sertifikat tanah harus segera dituntaskan demi menghindari konflik atau sengketa tanah yang saat ini masih sering terjadi di masyarakat. “Saat saya berkunjung ke kampung-kampung, desa-desa, di Jawa, Kalimantan, Sumatra, hingga Papua, masyarakat masing seringkali mengeluhkan perihal sengketa tanah,” ujarnya.
Sertifikat adalah bukti legalitas bagi warga atas tanahnya. Kendati demikian, dia pun juga tidak melarang masyarakat untuk memanfaatkan sertifikat tanah untuk kebutuhan lain, seperti misalnya, menggadaikan untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan hidup. Namun, dia mengingatkan agar niat menggadaikan tersebut terlebih dahulu didasari perencanaan matang. Semisal, dana yang didapatkan hanya digunakan untuk kegiatan produktif, seperti modal usaha.
Masalah sertifikat tanah harus segera dituntaskan demi menghindari konflik atau sengketa tanah yang saat ini masih sering terjadi di masyarakat.
“Jangan sekali-kali menggunakan dana dari menggadaikan sertifikat untuk kebutuhan konsumtif, membeli barang-barang seperti televisi, mobil, ataupun sepeda motor. Pembelian barang tersebut akan menjadi awal petaka yang menimbulkan masalah berkepanjangan,” ujarnya.
Karyono, salah seorang warga Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, mengatakan, baru saja mendapatkan sertifikat tanah melalui program pendaftaran tanah sistematis lengkap (PTSL) yang diselenggarakan pemerintah.
Sebelumnya, selama puluhan tahun, dia sama sekali belum pernah mendaftarkan tanah yang menjadi lokasi bangunan rumah tinggalnya tersebut. “Saya enggan mendaftarkan karena menurut keterangan dari warga lain, biaya untuk mengurus sertifikat bisa mencapai Rp 3 juta,” ujarnya.
Karyono memiliki tanah seluas 263 meter persegi. Tanah tersebut semula adalah tanah warisan, dengan bukti kepemilikan surat petok D.
Gatot, warga Desa Grabag, Kecamatan Grabag, mengaku memiliki tanah seluas 168 meter persegi. Sebelum mengikuti program PTSL, dia sama sekali belum pernah mendaftarkan tanah karena malas dan enggan untuk mengurus. Namun, setelah dipermudah mengurus sertifikat tanah, dia pun mengaku lega.
Ke depan, sertifikat tersebut juga akan digunakannya sebagai agunan, untuk meminjam uang di bank. “Saya memang membutuhkan modal untuk mengembahkan usaha pengambangbiakan sapi perah,” ujarnya.