Pengambil Kebijakan Perlu Pahami Perubahan Ekonomi
Dunia menghadapi perubahan ekonomi. Bank Indonesia menghadapinya, antara lain dengan bauran kebijakan.
KUTA, KOMPAS — Para pengambil kebijakan perlu memahami perubahan ekonomi di luar dan dalam negeri agar tepat dalam pengambilan kebijakan. Apalagi, saat ini dunia tengah dihadapkan pada era meredanya globalisasi dan menguatnya digitalisasi.
Gubernur Bank Indonesia (BI) dan juga Editor in Chief Bulletin of Monetary Economics and Banking (BMEB) Perry Warjiyo menyatakan hal itu dalam pembukaan Konferensi Internasional BMEB di Kuta, Badung, Bali, Kamis (29/8/2019). Konferensi itu bertema ”Maintaining Stability and Strengthening Momentum of Growth Amidst High Uncertainties in Digital Era”.
Perry mengatakan, ada empat ciri penanda globalisasi dan menguatnya digitalisasi. Pertama, banyak negara yang mengandalkan potensi dalam negeri dalam merespons ketegangan perdagangan internasional.
Kedua, arus modal antarnegara dan nilai tukar semakin bergejolak. Ketiga, kebijakan bank sentral tidak dapat mengandalkan suku bunga acuan dan menjaga inflasi saja, tetapi juga menjaga stabilitas sistem keuangan dan ekonomi sehingga kebijakan makroprudensial juga diperlukan.
”Keempat, maraknya digitalisasi di bidang ekonomi dan keuangan yang perlu dikelola dan dimanfaatkan dengan baik agar tidak mendisrupsi perbankan dan sektor-sektor lain,” katanya.
Untuk menghadapi meredanya globalisasi dan menguatnya digitalisasi, menurut Perry, BI mengambil tiga langkah utama. BI menerapkan bauran kebijakan moneter dan makroprudensial, memperkuat sinergi dan koordinasi dengan pemangku kepentingan terkait, serta mengintegrasikan ekonomi dan keuangan digital.
BI mengambil tiga langkah utama. BI menerapkan bauran kebijakan moneter dan makroprudensial, memperkuat sinergi dan koordinasi dengan pemangku kepentingan terkait, serta mengintegrasikan ekonomi dan keuangan digital.
Sinergi dengan pemangku kepentingan terkait, misalnya, dilakukan dengan menerapkan kebijakan moneter, makroprudensial, dan fiskal. Adapun di sektor keuangan digital, BI pertama-tama mendorong digitalisasi perbankan sebagai wadah integrasi dengan tekfin.
”Jangan sampai bank-bank maya bermunculan sehingga dapat merusak sistem perbankan dan merugikan masyarakat,” katanya.
Selain itu, lanjut Perry, BI juga terus menjaga dan mengembangkan sistem pembayaran. Di tengah maraknya sistem pembayaran internasional, BI telah mengembangkan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN).
Melalui GPN, semua transaksi pembayaran yang dilakukan di Indonesia menggunakan sistem GPN. Hal itu termasuk transaksi pembayaran yang dilakukan orang asing di Indonesia.
”Upaya-upaya lain BI untuk mengembangkan ekonomi digital adalah elektronifikasi, bantuan sosial nontunai, dan pengimplementasian Standar Kode Cepat (QR Code Indonesia Standard/QRIS) sebagai sistem pembayaran nontunai nasional,” kata Perry.
Baca juga: Sosialisasi dan Edukasi Jadi Tantangan Penerapan QR Code
Kontribusi pemikiran
Sementara itu, BI Institute dan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) berkomitmen untuk memberikan sumbangsih pemikiran untuk mengembangkan ekonomi Indonesia. BI Institute menuangkannya dalam jurnal ilmiah, sedangkan ISEI akan memberikan masukan kepada pemerintah melalui White Paper atau Buku Putih.
Kepala BI Institute Solikin M Juhro mengatakan, BI Institute terus mendorong penguatan ekosistem riset akademis dan kebijakan di bidang ekonomi di Tanah Air melalui peningkatan kualitas publikasi riset dan infrastruktur pendukungnya. Hal itu termasuk juga peningkatan kualitas penyelenggaraan konferensi internasional.
Upaya-upaya yang telah ditempuh BI Institute itu antara lain peningkatan kualitas BMEB sebagai jurnal internasional dan penyelenggaraan acara tahunan BMEB International Conference and Call for Papers. BMEB sebagai jurnal internasional sejak Juli 2019 telah terindeks Scopus atau pangkalan data pustaka internasional yang mengandung abstrak dan sitiran artikel jurnal akademik.
”Dari tahun ke tahun BMEB terus menarik minat peneliti-peneliti terkemuka di bidang ekonomi dari dalam dan luar negeri. Sebanyak 437 artikel ilmiah telah dikirim dari 40 negara untuk mengikuti seleksi BMEB,” ujarnya.
BI Institute terus mendorong penguatan ekosistem riset akademis dan kebijakan di bidang ekonomi di Ttanah Air melalui peningkatan kualitas publikasi riset dan infrastruktur pendukungnya.
Sementara itu, ISEI akan memberikan buku putih, yakni sebuah dokumen yang berisi penjelasan akan sebuah masalah yang ingin diselesaikan, solusi akan masalah tersebut, serta penjelasan detail langkah-langkah pemecahannya.
Buku putih itu akan mengusung beberapa strategi kebijakan, baik di sisi permintaan, penawaran dan reformasi struktural, maupun pengembangan potensi ekonomi digital.
Untuk itu, Sidang Pleno ISEI XX disesuaikan dengan kompleksitas tantangan yang dihadapi perekonomian nasional dalam perspektif jangka pendek dan menengah-panjang. Hal itu termasuk pula perspektif permasalahan ke depan terkait dengan kemampuan Indonesia menavigasi era digital.
Sumbangsih pemikiran ISEI itu merupakan satu dari lima strategi (milestones). Kelima strategi itu adalah penguatan peran ISEI di pusat dan daerah; penyusunan Buku Putih bagi pemerintah terpilih untuk mendukung strategi kebijakan ekonomi nasional ke depan; pengembangan riset dan kajian akademis yang akan dimuat dalam Jurnal Ekonomi ISEI (JEI); memperluas kerja sama dengan lembaga internasional; dan pengembangan media sosial untuk sarana edukasi publik terhadap pemikiran-pemikiran ekonomi Indonesia.
Baca juga: ISEI Hadiahi Pemerintah Buku Putih Solusi Tantangan Ekonomi Indonesia
Perry mengatakan, sebagai sebuah organisasi yang yang telah berusia 64 tahun, ISEI berkomitmen untuk terus berperan dan berkontribusi dalam pembangunan ekonomi nasional. Hal itu sesuai dengan tiga manifesto ISEI yang dicanangkan para pendiri ISEI.
”ISEI akan mengambil peran positif untuk kemajuan kesejahteraan masyarakat, mengembangkan ilmu ekonomi, dan menyampaikan pemikiran-pemikiran ekonomi yang sejalan dengan falsafah Pancasila,” ujarnya.
Modal sosial
Dalam konferensi BMEB ke-13 di Bali, salah satu poin yang terungkap dalam pengembangan ekonomi digital adalah pentingnya mengelola modal sosial. Modal sosial itu dimiliki negara-negara maju dan berkembang. Jika dikumpulkan dan dikelola dengan baik, modal sosial menjadi sumber pendanaan di berbagai sektor.
Ekonom dari Universitas Fordham, New York, Amerika Serikat, Iftekhar Hasan mengatakan, modal sosial ini berakar dari budaya masyarakat. Kelompok masyarakat pasti memiliki sikap saling membantu satu sama lain dengan berbasis kepercayaan.
Modal sosial ini bisa dikembangkan untuk menumbuhkan ekonomi daerah atau negara. Dalam konteks ekonomi, modal sosial yang berupa patungan dana atau sumbangan dapat dikelola dengan baik dan terarah guna meningkatkan ekonomi.
”Namun, hal itu perlu dikelola dengan hati-hati oleh institusi atau lembaga terpercaya. Di China, misalnya, modal sosial ini dikelola pelaku usaha tekfin pinjaman antarpihak (peer-to-peer lending/P2P) untuk membangun ekonomi regional,” katanya.
Melalui pengelolaan dana modal sosial, lanjut Hasan, gap atau kesenjangan antara masyarakat kaya dan miskin dapat dipersempit. Masyarakat kaya dapat memberikan dananya kepada tekfin P2P untuk menyalurkannya kepada masyarakat miskin. Namun, suku bunga pinjaman dalam pengelolaan dana sosial ini harus wajar atau tidak terlalu tinggi.