Pengungsi Juga Manusia
Penanganan pengungsi dari luar negeri yang transit di Indonesia murni merupakan langkah kemanusiaan dan bukan kewajiban. Tak ada kewajiban bagi Indonesia untuk mengurus pengungsi itu karena Indonesia tidak meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951.
Penanganan pengungsi dari luar negeri yang transit di Indonesia murni merupakan langkah kemanusiaan dan bukan kewajiban. Tidak ada kewajiban bagi Indonesia untuk mengurus para pengungsi dari luar negeri tersebut karena Indonesia tidak ikut meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dari PBB. Tanpa harus menunggu ratifikasi, sebagai tindakan awal, Indonesia membuktikan bahwa nilai kemanusiaan cukup untuk menangani persoalan pengungsi.
Keberadaan para penyintas ini tidak terlepas dari pecahnya konflik di berbagai belahan dunia. Berdasarkan laporan UNHCR 2018, para pengungsi yang berada di Indonesia berasal dari Suriah, Afghanistan, Sudan Selatan, Myanmar, dan Somalia.
Perang saudara hingga akuisisi kelompok teroris di negara-negara tersebut memutus rantai penghidupan masyarakat. Mereka yang terkena dampak perang lantas mencari harapan di negara lain yang lebih aman, stabil, dan sejahtera.
Sebagai negara yang masih berkembang, Indonesia tidak menjadi tujuan para penyintas. Saat ini, Indonesia menjadi negara transit bagi para pencari suaka dan pengungsi yang akan masuk ke Australia. Akan tetapi, sebagai negara transit, Indonesia pun masih memberikan sandang, pangan, dan papan sementara bagi mereka.
Baca Juga: Bantuan Makanan bagi Pengungsi Dihentikan
Bantuan terhadap para penyintas tersebut bukan merupakan kewajiban, tetapi lebih merupakan tindakan atas nama kemanusiaan. Walaupun bukan negara yang meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 ataupun Protokol 1967, Pemerintah Indonesia tetap menangani para pengungsi yang transit.
Tindakan Pemerintah Indonesia ini merupakan amanat alinea keempat pembukaan UUD 1945 bahwa Indonesia ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Bagaimana semangat tersebut dapat disebarluaskan?
Persoalan regional
Nilai dan semangat dari Pembukaan UUD 1945 tersebut diwujudkan dalam berbagai kebijakan luar negeri Indonesia, di tingkat regional dan global.
Di tingkat regional, semangat tersebut tampak dalam prioritas utama Indonesia selama menjadi anggota tidak tetap di Dewan Keamanan (DK) PBB. Poin kedua dari prioritas utama Indonesia menyebutkan komitmen Indonesia membangun sinergi di antara organisasi regional dalam memelihara perdamaian dan stabilitas regional.
Pola pikir regional inilah yang kemudian coba dibangun Indonesia dalam mengatasi permasalahan para pencari suaka dan pengungsi ini. Dengan perspektif ini, Indonesia menempatkan persoalan pengungsi dan pencari suaka bukan hanya dalam lingkup nasional saja, melainkan juga regional.
Karena persoalan ini tidak hanya bersumber dari satu negara saja, sudah selayaknya permasalahan itu diselesaikan secara bersama-sama. Beruntungnya, Indonesia bukanlah satu-satunya negara di ASEAN yang sadar akan pentingnya kerangka kerja regional dalam menyelesaikan persoalan ini.
Indonesia menempatkan persoalan pengungsi dan pencari suaka bukan hanya dalam lingkup nasional saja, melainkan juga regional.
Penanganan isu pengungsi dan pencari suaka di ASEAN mulai menemui titik terang saat diadakannya Bali Process pada 2002 atas inisiasi Indonesia dan Australia. Walau tidak pertama-tama membicarakan isu pengungsi, melainkan pemberantasan orang dan perbudakan modern, forum internasional ini sudah mendudukkan perkara para penyintas di meja perundingan secara regional. Bahkan, isu irregular movement person kemudian dijadikan agenda pembicaraan dalam pertemuan tersebut.
Tidak hanya itu, konsistensi para penggagas Bali Process yang secara rutin menggelar pertemuan pun berbuah manis. Pada 2018, setidaknya semua negara anggota ASEAN bersama 39 negara lainnya dan 3 organisasi di bawah PBB berhasil ditarik menjadi anggota tetap forum ini.
Dengan forum tersebut, penanganan pengungsi dan pencari suaka telah menjadi kesadaran di tingkat regional.
Ketidakberdayaan ASEAN
Di tingkat ASEAN, belum terdapat protokol kerja bersama untuk menangani pengungsi dan pencari suaka. Akan tetapi, setidaknya telah ada satu organisasi dan sebuah perjanjian di bawah ASEAN yang bertanggung jawab memastikan keselamatan dari para penyintas tersebut. Kedua organisasi itu adalah ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR) dan the ASEAN Human Rights Declaration (AHRD).
AICHR merupakan organisasi di bawah ASEAN yang bertanggung jawab untuk mempromosikan perlindungan HAM. Badan yang dibentuk pada 2009 ini bertujuan untuk mendorong implementasi dari instrumen-instrumen HAM internasional bagi negara anggota ASEAN, terutama penandatanganan dan ratifikasi bagi negara anggota yang masih pasif untuk berpartisipasi dalam inisiasi perlindungan HAM internasional. Kisah sukses organisasi antar-pemerintahan ini ialah ketika akhirnya Deklarasi HAM ASEAN tercapai pada 2012.
Namun, walau telah satu dekade terbentuk, organisasi ini belum mampu menjamin perlindungan HAM, terutama dalam kasus pencari suaka dan pengungsi.
Salah satu penghambat yang paling besar dalam perjuangan penanganan para penyintas ini ialah prinsip non-intervensi di antara negara anggota ASEAN. Artinya, seberapa kuat dan mengikat perjanjian di bawah ASEAN, organisasi ini ataupun anggotanya tidak dapat mencampuri urusan internal negara anggota lainnya. Akhirnya, banyak kerangka kerja sama, perjanjian, konvensi, dan deklarasi yang mangkrak menjadi jargon.
Kasus Andaman 2015
Kasus yang paling dapat menggambarkan kegagalan ASEAN dalam menangani isu pencari suaka dan pengungsi adalah kasus penyintas di Laut Andaman pada tahun 2015. Saat itu, setidaknya 7.000 pengungsi dari Rohingya dan Bengali terombang-ambing di Laut Andaman di sebelah utara Aceh. Wilayah ini merupakan irisan yurisdiksi Indonesia, Thailand, dan Malaysia.
Ketiga negara yang paling mungkin untuk memberikan tempat berlabuh malah saling lempar tanggung jawab. Bahkan, ketiga negara tersebut seakan enggan jika para penyintas memasuki wilayah perairan mereka. Ketiga negara tersebut seperti bermain pingpong karena saling mendorong kapal para penyintas ini ke arah perbatasan satu dengan lainnya walau seraya tetap memberikan logistik berupa makanan dan air.
Baca juga: Pengungsi: Tanggung Jawab Siapa?
Akibatnya, para penyintas itu terpaksa bertahan hidup di tengah laut selama berbulan-bulan. Kejadian ini pun didaulat sebagai tragedi kemanusiaan yang sempat menyita perhatian dunia internasional.
Setelah menjadi perhatian dunia internasional, ketiga negara tersebut akhirnya memutuskan untuk menggagas pertemuan luar biasa ASEAN guna membahas krisis kemanusiaan ini. Ujungnya, Indonesia dan Malaysia setuju untuk memberikan tempat tinggal sementara bagi para penyintas tersebut.
Ajakan
Walau saat itu persoalan kemanusiaan dapat ditangani, penanganan para penyintas ini masih bersifat sementara bagi ASEAN. Kejadian seperti di atas berpotensi kembali terjadi, mengingat banyak pencari suaka dan pengungsi di wilayah ASEAN berasal dari Myanmar, salah satu anggota ASEAN. Oleh karena itu, diperlukan kerangka kerja dan kesepakatan bersama dalam menangani pengungsi di antara para anggota ASEAN.
Kerangka kerja dan kesepakatan bersama tersebut mutlak diperlukan karena terdapat prinsip non-intervensi di antara anggota ASEAN. Prinsip tersebut membatasi penyelesaian berbagai persoalan yang efeknya dirasakan bersama, tetapi berakar dari salah satu negara anggota.
Berbeda dengan PBB, ASEAN tidak dapat memberikan tekanan berupa resolusi ataupun embargo terhadap negara yang melahirkan krisis kemanusiaan, seperti pencari suaka dan pengungsi.
Karena kesulitan tersebut, inisiatif yang dapat dilakukan Indonesia lebih bersifat ajakan, seperti forum Bali Process di atas ataupun langkah inisiatif pribadi. Langkah inisiatif Indonesia terhadap persoalan pengungsi dan pencari suaka semakin diperkuat dengan keluarnya Perpres Nomor 125 Tahun 2016 terkait penanganan pengungsi.
Berbeda dengan PBB, ASEAN tidak dapat memberikan tekanan berupa resolusi ataupun embargo terhadap negara yang melahirkan krisis kemanusiaan, seperti pencari suaka dan pengungsi.
Peraturan yang dikeluarkan di masa Presiden Joko Widodo ini memberikan panduan kepada lembaga pemerintah untuk menangani persoalan pengungsi dari luar negeri jika terjadi krisis yang serupa dengan Andaman. Paling tidak, peraturan ini memerintahkan agar pengungsi segera diselamatkan dan dipindahkan ke rumah detensi imigrasi (rudenim) jika telah memasuki wilayah perairan Indonesia.
Keseriusan dalam menangani pengungsi dan pencari suaka merefleksikan konsistensi Indonesia dalam melindungi hak asasi manusia dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
Di tengah absensi kerangka kerja penanganan pengungsi dan pencari suaka di tingkat regional, Indonesia memiliki peluang untuk memberikan contoh kepada negara anggota ASEAN yang lain. Hal ini tentu akan kembali mengukuhkan posisi Indonesia sebagai ”saudara tua” dari organisasi regional Asia Tenggara ini. (LITBANG KOMPAS)