Presiden Joko Widodo minta tak ada tindakan anarkistis di Papua. Presiden juga mengatakan akan ada evaluasi, termasuk terkait pendekatan keamanan di Papua.
Oleh
·3 menit baca
PURWOREJO, KOMPAS — Presiden Joko Widodo meminta semua pihak bersama-sama menjaga Papua tetap damai. Pemerintah berkomitmen untuk terus memajukan Papua.
”Saya minta masyarakat tenang, tidak melakukan tindakan anarkistis. Kita semua akan rugi jika ada fasilitas umum, fasilitas publik, fasilitas masyarakat jadi rusak atau dirusak,” kata Presiden di sela-sela kunjungan kerja di Kulon Progo, DI Yogyakarta, serta Purworejo dan Magelang, Jawa Tengah, Kamis (29/8/2019).
Pernyataan itu disampaikan Presiden terkait unjuk rasa yang kemarin berakhir rusuh di di Jayapura, Papua.
Unjuk rasa yang dimulai sekitar pukul 09.00 WIT ini awalnya berjalan damai. Massa datang dari sejumlah tempat di Kota Jayapura dan Sentani untuk memprotes dugaan kekerasan dan ujaran kebencian bernada rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang, beberapa waktu lalu. Massa juga menuntut pembukaan blokir jaringan internet yang dilakukan sejak 19 Agustus lalu.
Namun, sekitar pukul 16.00, unjuk rasa mulai rusuh. Massa, antara lain, membakar kantor Telkomsel Jayapura, kantor Majelis Rakyat Papua, dan sebuah stasiun pengisian bahan bakar untuk umum. Tindakan itu membuat aktivitas pemerintahan, ekonomi, dan layanan publik lumpuh total.
Kemarin sore, pemerintah memblokir total layanan seluler, termasuk layanan suara dan pesan singkat di Jayapura. Menurut Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, hal itu terjadi karena ada yang memotong kabel utama jaringan optik Telkom di daerah tersebut.
Sehari sebelumnya, Rabu, unjuk rasa dengan tuntutan yang sama di Deiyai, Papua, juga berakhir rusuh. Seorang anggota TNI dan dua warga meninggal akibat peristiwa ini.
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Amiruddin Al Rahab, berharap seluruh pimpinan kementerian/lembaga punya satu langkah yang sama dalam merespons peristiwa yang memanas di Deiyai dan Jayapura.
Tokoh masyarakat Papua juga perlu diundang untuk berbicara dari hati ke hati dan didengarkan aspirasinya untuk membantu menyelesaikan masalah di Papua. Pendapat dan masukan dari tokoh Papua diperlukan, lanjut Amiruddin, agar pendekatan pemerintah terhadap Papua sesuai dengan keinginan dan kebutuhan masyarakat setempat.
Evaluasi
Presiden Joko Widodo mengatakan, rencana untuk mengundang dan bertemu dengan para kepala suku, tokoh adat, dan tokoh masyarakat Papua akan segera diwujudkan.
Rencana itu telah disampaikan Presiden pada 22 Agustus lalu di Istana Bogor (Kompas, 23/8/2019).
Kemarin Presiden juga menegaskan, semua pelaku tindakan anarkistis dan rasialis akan diproses hukum.
Saat ditanya apakah akan ada evaluasi terkait pendekatan keamanan yang ada di Papua, Presiden menjawab, ”Semua akan kami evaluasi.”
Secara terpisah, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto menyatakan, pemerintah tidak mendiamkan apa yang kini terjadi di Papua dan telah mencoba hadir dengan pendekatan yang benar dan tepat.
Kendati demikian, pemerintah belum akan membuka akses layanan data telekomunikasi di Papua dengan alasan untuk menangkal penyebaran kabar bohong terkait Papua yang dapat membuat situasi di daerah itu semakin tidak kondusif.
”Media sosial menjadi salah satu alat untuk memviralkan berita bohong, kemudian menjadi salah satu alat propaganda untuk menyerang pemerintah,” ujar Wiranto.
Guna menghindari bentrokan di kemudian hari, lanjut Wiranto, aparat keamanan sudah diminta tak bertindak represif dan menghindari pemakaian senjata berpeluru tajam.
Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian memastikan, setiap tindakan yang melanggar hukum dalam penyampaian aspirasi di hadapan publik di Papua dan Papua Barat akan diproses hukum.
Adapun Polda Jawa Timur telah menetapkan Tri Susanti sebagai tersangka dalam peristiwa ujaran kebencian bernada rasisme. Dalam peristiwa di asrama Papua di Surabaya, 16 Agustus lalu, Tri menjadi koordinator lapangan. (SAN/FLO/FRN/AGE/MED/EDN/INA/NTA)