Persoalan rumah tangga tidak bisa dianggap remeh. Sekecil apa pun masalah itu, harus segera diselesaikan sebelum kemudian membesar. Jika tidak, pasangan suami istri bisa kehilangan akal sehat.
Masalah keseharian bisa membesar jika tidak segera diselesaikan. Pada mulanya, kebuntuan komunikasi suami-istri dapat membekukan suasana. Kemudian kepercayaan semakin terkikis hingga pecah konflik terbuka. Tak hanya hubungan keduanya yang dipertaruhkan, nyawa pun melayang di tangan orang terdekat.
Persoalan ini terjadi pada rumah tangga Siti Rodiah (43) yang dibangun bersama suaminya, Sopiandi (31). Siti tidak mengakui Sopiandi sebagai suaminya lagi. Sebab, Siti sering terlibat dalam kekerasan rumah tangga. Sementara Sopiandi mengira istrinya selingkuh. Hal ini yang membuat Sopiandi kalap.
Sopiandi menyiapkan sebilah pisau dapur yang akan dipakai untuk menghabisi nyawa istrinya. Sopiandi benar-benar kehilangan akal sehat sehingga niat keji itu ditunaikan pada Rabu (28/8/2019) malam saat ia mendatangi rumah kontrakannya di Kedoya Selatan, Jakarta Barat.
”Antara pelaku dan korban ini sudah terlibat cekcok rumah tangga lebih dari satu bulan. Jadi, pelaku ini sempat diusir dari rumah,” kata Kepala Kepolisian Sektor Kebon Jeruk Erick Sitepu, Jumat (30/8/2019), di Jakarta Barat.
Menurut Erick, S tega menghabisi nyawa istrinya lantaran selama mereka terlibat cekcok satu bulan lalu dan S meninggalkan rumah selama satu bulan, ada perubahan dari sikap istri. Perubahan itu dimulai dari unggahan status di media sosial istrinya yang mengaku janda hingga berkomentar yang diduga untuk menyindir S.
Sementara di hadapan wartawan, setengah menunduk, S mengaku kesal lantaran setelah satu bulan menghindar karena bertengkar, dia tidak disambut layaknya suami yang baru tiba di rumah. Dia justru dibuat kian curiga lantaran ada percakapan masuk ke telefon seluler istrinya dari seorang lelaki yang langsung dihapus sang istri.
”Pas saya mau baca, HP-nya direbut dan dia bilang bukan urusan kamu. Terus saya bilang kenapa, kan, saya suami kamu. Jadi, saya kalap dan langsung saya tusuk,” ucap S.
Masalah rumah tangga yang berujung pembunuhan juga dilakukan seorang istri berinisial AK (35) kepada suaminya, Edi Candra Purnama (54), dan anak tirinya, M Adi Pradana (23), di Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Jumat (23/8/2019). Motif pembunuhan lantaran istri terlilit utang miliaran rupiah dan berniat menjual rumah.
Namun, rencana itu ditolak mentah-mentah sang suami. Tak kehabisan akal, AK menyewa pembunuh bayaran. Seusai membunuh, jasad kedua korban dibawa ke Sukabumi menggunakan mobil. Kendaraan berisi jasad korban kemudian dibakar para pelaku dengan tujuan menghilangkan jejak pembunuhan.
Kasus serupa terjadi di Kelurahan Dukuh, Kecamatan Kramatjati, Jakarta Timur. Jumharyono (43) membunuh istrinya, Khoiriah, Senin (5/8/2019) malam, di rumah kontrakan keluarga. Konflik mereka membuat anak mereka berinisial R (5) menderita luka bakar. Pembunuhan ini berawal dari cekcok masalah ekonomi antara pelaku dan istrinya setelah pelaku pulang kerja di Pasar Induk Kramatjati.
Eko Hariyanto dalam bukunya, Memahami Pembunuhan, terbitan Kompas, tahun 2014, mengatakan, salah satu faktor terjadinya pembunuhan tidak lepas dari tempat pembunuhan. Tempat pembunuhan berkaitan dengan ciri tempat tinggal dan merupakan faktor krusial yang memengaruhi risiko pembunuhan.
Semakin miskin suatu wilayah, semakin tinggi risiko pembunuhan. Banyak pembunuhan terjadi di dalam rumah. Hal itu bisa dipahami karena sebagian besar waktu dihabiskan orang di dalam rumah mereka.
Pembunuhan yang dipicu masalah rumah tangga memang masih rentan terjadi di Indonesia. Data Komisi Nasional (Komnas) Perempuan pada 2018 menunjukkan, kekerasan di ranah privat karena relasi perkawinan, kekerabatan, dan relasi intim dominan dilaporkan sepanjang 2018.
Masalah rumah tangga yang berujung kekerasan mencapai angka 71 persen pada 2018. Kekerasan yang menonjol, antara lain, berupa kekerasan fisik 3.927 kasus, kekerasan seksual 2.988 kasus, kekerasan psikis 1.658 kasus, dan masalah ekonomi 1.064 kasus.
Sementara itu, menurut komisioner Komnas Perempuan, Adriana Venny, kasus femicide atau pembunuhan karena jender cenderung meningkat. Hal itu karena semakin kuatnya pemahaman yang merendahkan perempuan. ”Perempuan dianggap lebih rendah dan bisa menjadi sasaran kekerasan,” ucap Venny.
Adapun cara yang bisa dilakukan mengurangi kekerasan dalam rumah tangga adalah membangun konstruksi jender yang baru, yaitu jender yang setara dan menghormati hak asasi manusia, terutama perempuan. ”Secara umum, konstruksi jender dalam masyarakat menempatkan laki-laki lebih superior dari perempuan,” ujarnya.