Setelah ketegangan di Papua dan Papua Barat mereda, masyarakat di kedua provinsi itu harus diajak bicara. Pentingnya dialog antara pemerintah dan masyarakat Papua juga poin utama dalam penyelesaian masalah Papua yang seakan tak pernah usai.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·5 menit baca
Konflik di Papua dan Papua Barat tak bisa diselesaikan semata dengan pendekatan keamanan. Pemerintah perlu membuka diri untuk mendengarkan suara hati masyarakat.
Insiden di asrama mahasiswa Papua, di Surabaya dan Malang, Jawa Timur, 16-17 Agustus 2019, memantik amarah masyarakat Papua dan Papua Barat sejak Senin (19/8/2019) dan masih berlangsung hingga Kamis (29/8/2019). Masyarakat turun ke jalan, berunjuk rasa. Tak semua aksi berlangsung damai. Di Manokwari, Papua Barat, kemudian terakhir di Deiyai dan Jayapura, Papua, unjuk rasa berujung kerusuhan.
Peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Adriana Elisabeth saat dihubungi Kompas, Jumat (30/8/2019), menjelaskan, dalam perspektif masyarakat Papua, tindakan tersebut merupakan ekspresi kekecewaan.
Masyarakat yang terdiri dari beragam suku dan faksi itu merasa perlu untuk mengemukakannya karena keberadaan mereka tidak terepresentasikan satu sama lain.
Oleh karena itu, aksi yang berlangsung dalam berbagai bentuk kemungkinan baru akan reda ketika semua pihak merasa telah melampiaskan kekecewaannya tersebut. Pemerintah dinilainya perlu menunggu sambil menjaga agar tindak anarkis tak kembali terjadi.
“Setelah semuanya mereda, masyarakat Papua harus diajak bicara dan diberikan pengertian,” tutur Adriana.
Presiden Joko Widodo diharapkannya dapat bertemu dan berdialog dengan para tokoh Papua. Pertemuan penting karena menunjukkan perhatian pemerintah sekaligus membuka ruang bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya.
Senada, Ketua Gugus Tugas Papua Universitas Gadjah Mada Bambang Purwoko mengatakan, inisiatif Joko Widodo untuk memanggil Gubernur Papua dan Papua Barat, bupati, serta wali kota, perwakilan adat, mahasiswa, dan pemuda dari seluruh Bumi Cendrawasih itu dinantikan.
“Mohon Presiden menerima apapun suara pemangku kepentingan di Tanah Papua, karena yang penting bagi mereka adalah adanya forum atau saluran untuk menyampaikan pendapat,” ujarnya.
Penindakan lambat
Peneliti pada Tim Kajian Papua LIPI Cahyo Pamungkas, yang selama beberapa hari terakhir tengah bertugas di Kabupaten Merauke, Papua, mengatakan, masyarakat setempat pun menggelar aksi damai. Tanpa kericuhan, mereka juga menyuarakan agar pelaku rasisme segera diadili.
“Masyarakat Papua merasa didiskriminasi, karena penanganan masalah yang terkait dengan mereka relatif lambat ketimbang masalah lainnya,” ujar Cahyo.
Perasaan terdiskriminasi itu semakin kuat dengan adanya pemblokiran akses internet. Bagi mereka, semestinya pemerintah fokus mengawasi pihak-pihak yang dicurigai, bukan pada semua orang.
Di lingkup lokal, kekecewaan dipantik pula oleh sikap pejabat daerah yang seolah tak memerhatikan aspirasi masyarakat. Contohnya, saat berdemonstrasi di gedung DPRD, wakil rakyat justru meninggalkan kantor.
Padahal tokoh-tokoh setempat, termasuk anggota DPRD, seharusnya mengambil peran untuk mendinginkan situasi. Sebab, karakter masyarakat Papua cenderung lebih mendengarkan tokoh lokal yang mereka percaya. Contohnya, demonstrasi di Merauke berlangsung damai karena mereka didampingi oleh mantan bupati.
“Dalam waktu dekat, dialog harus dilakukan. Gubernur perlu segera mengumpulkan para tokoh yang memiliki basis massa, termasuk tokoh-tokoh pro kemerdekaan Papua,” tutur Cahyo.
Pentingnya dialog
Pentingnya dialog antara pemerintah dan masyarakat Papua sebenarnya tak hanya mengemuka setelah kerusuhan beberapa hari terakhir. Dialog juga poin utama dalam penyelesaian masalah Papua yang seakan tak pernah usai, seperti tertuang dalam Peta Jalan Papua, hasil riset LIPI sejak 2008.
Dialog yang dimaksud terbagi dalam dua ranah. Pertama, dialog sektoral yang membahas program pembangunan dengan melibatkan seluruh warga dan diaspora Papua.
Adriana menambahkan, sejak riset dilakukan, LIPI juga memprakarsai program explorative meeting. Dalam pertemuan itu, para peneliti dan warga setempat membahas beragam isu mulai dari hak asasi manusia (HAM), tata kelola pemerintahan yang baik, keamanan, sosial budaya, hingga sosial ekonomi. Kemudian mereka menyepakati hal-hal yang perlu ditindaklanjuti.
“Pola-pola seperti itu semestinya bisa diadopsi, karena forum tersebut bisa menjadi saluran untuk menyampaikan aspirasi sekaligus membantu pemerintah di DKI Jakarta untuk bisa lebih memahami apa yang harus dilakukan,” kata Adriana.
Kedua, rekonsiliasi dengan mempertemukan pemerintah dengan kelompok oposisi yang menginginkan referendum dan kemerdekaan Papua. Dalam hal ini, menurut Cahyo, perspektif politik dalam memandang kelompok oposisi harus diubah. Mereka yang menginginkan kemerdekaan tak bisa lagi dianggap sebagai musuh tetapi saudara.
“Selama mindset itu belum diubah, maka kita masih akan melakukan konfrontasi habis-habisan yang belum tentu menguntungkan, karena belum tentu Indonesia bisa mengendalikannya,” katanya.
Kasus HAM
Hal lain yang juga masuk dalam peta jalan penyelesaian masalah Papua adalah pentingnya menuntaskan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu di Papua, dan menyeret pelakunya ke pengadilan HAM. Evaluasi operasi militer di seluruh wilayah Papua juga harus dilakukan dengan prioritas menangani masalah pengungsi.
Selain itu, pembangunan di Papua harus dilakukan dengan basis kebudayaan. Pemerintah perlu memerhatikan kebutuhan masyarakat dengan cara pandang memperkuat budaya masyarakat.
Menurut Cahyo, keempat poin dalam peta jalan itu semestinya bisa dilakukan oleh pemerintah secara simultan. Namun, jika kemampuan terbatas, bisa saja secara bertahap. Oleh karena itu, Presiden Jokowi diharapkan memiliki peta jalannya sendiri, yang setidaknya, menargetkan penyelesaian satu masalah setiap tahunnya.
Sejauh ini, langkah yang ditempuh pemerintah baru pada politik rekognisi. Perlu diapresiasi karena afirmasi terhadap orang Papua sudah banyak dilakukan.
Meski demikian, hal itu saja belum cukup. Masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan, mulai dari menginisiasi dialog, menuntaskan pelanggaran HAM, hingga membangun daerah dengan perspektif kebudayaan.
“Jika tak ada langkah signifikan untuk mengatasi konflik Papua, maka kondisi tidak akan berubah, hubungan pemerintah dengan masyarakat Papua akan selalu dipenuhi ketegangan,” kata Cahyo.