Sumsel Tutup 12 Perusahaan Penadah Batubara Ilegal
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG,KOMPAS—Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan menutup 12 perusahaan penadah batubara ilegal yang terletak di kawasan Tanjung Lago , Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan selama tahun 2019. Mereka diduga menampung batubara yang berasal dari delapan pertambangan batubara ilegal di kawasan Tanjung Enim, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan. Kerugian yang ditanggung akibat aktivitas pertambangan liar itu ditaksir mencapai Rp 432 miliar per tahun.
Hal ini disampaikan Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Sumatera Selatan, Robert Heri dalam acara Pembinaan Kegiatan Pertambangan pada Pemerintah Daerah dan Izin Usaha Pertambangan di Sumsel, Jumat (30/8/2019) di Palembang. Robert mengatakan, keputusan untuk menutup perusahaan penadah batubara ilegal ini dilakukan guna menghentikan aktivitas penambangan liar.
“Kalau kita hanya menutup aktivitas penambangan di hulunya, tidak akan efektif karena ketika kita tutup, pasti keesokan harinya mereka akan membuka lagi. Namun dengan menutup penadahnya, mereka akan kebingungan ke mana harus menjual batubaranya itu,” kata Robert.
Modus yang dilakukan para penambang liar adalah mengambil batubara secara ilegal dengan membuat terowongan di bawah tanah. Batubara kemudian diangkut dengan menggunakan truk. Oleh karena penadah di Sumsel sudah ditutup, mereka kini beralih menjual batubara ke kawasan Lampung dan Jawa.
Berdasarakan hasil investigasi yang dilakukan satuan tugas yang dibentuk Pemprov Sumsel, sebelum batubara sampai ke Pelabuhan Panjang, Lampung, setidaknya ada lima industri yang menampung batubara ilegal dari Sumsel. Adapun di luar Sumsel, batubara diserap untuk kebutuhan industri dan pembangkit listrik di Lampung dan Jawa.
Aktivitas ilegal itu menyebabkan kerugian akibat kebocoran penerimaan negara bukan pajak (PNBP) mencapai Rp 432 miliar per tahun. Satu pertambangan ilegal saja diperkirakan dapat merugikan negara hingga Rp 54 miliar per tahun.
Aktivitas ilegal itu menyebabkan kerugian akibat kebocoran penerimaan negara bukan pajak (PNBP) mencapai Rp 432 miliar per tahun.
Karena itu, lanjut Robert, pihaknya sudah bekerjasama dengan Pemerintah Provinsi Lampung dan sejumlah pihak terkait seperti Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Panjang, Pelindo II Pelabuhan Panjang, serta PT ASDP Indonesia Ferry Bakauheni-Merak. Otoritas itu diminta melarang pengangkutan batubara asal Sumsel yang tidak dilengkapi dokumen lengkap.
Di sisi lain, kebijakan ini membuat industri di Lampung kesulitan untuk memperoleh pasokan batubara. Dengan kata lain selama ini industri di Lampung menggunakan batubara ilegal.
Untuk itu, lanjut Robert, Gubernur Lampung Arinal Djunaidi telah diminta untuk menginventarisasi industri dan pembangkit listrik yang memerlukan batubara dari Sumsel. Setelah itu, akan diadakan pertemuan dengan Gubernur Sumsel Herman Deru untuk membahas perusahaan legal mana saja yang akan memasok batubara ke Lampung.
Robert menuturkan, sebelum Koordinasi dan Superivisi Pertambangan Mineral dan Batubara oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) digelar, jumlah perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Sumsel mencapai 362 IUP. Setelah melakukan pemeriksaan secara menyeluruh, pemegang IUP di Sumsel menyusut menjadi 114 IUP. “Segala upaya kami lakukan agar batubara yang keluar dari Sumsel merupakan batubara yang legal,” kata dia.
Walaupun pemegang IUP di Sumsel berkurang, namun produksi batubara di Sumsel terus meningkat tiap tahunnya. Dinas Pertambangan dan Energi Sumatera Selatan mencatat, pada tahun 2018, produksi batubara di Sumsel mencapai 48,5 juta ton meningkat dibanding tahun sebelumnya yakni 45,6 juta ton.
Meminimalkan risiko
Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru menuturkan, kebijakan menutup perusahaan penadah batubara ilegal ini juga bertujuan untuk meminimalisasi risiko. “Jangan sampai ada penambang yang tertimbun akibat menggali batubara di terowongan,” ungkapnya.
Di awal pemerintahannya, sejumlah kebijakan terkait batubara dibuat. Mulai dengan melarang angkutan batubara melintas di jalan umum hingga mengancam untuk mencabut izin bagi perusahaan batubara yang tidak membayar jaminan reklamasi.
Bulan lalu, ungkap Herman ada sekitar 68 perusahaan pemegang IUP yang dicabut sementara karena tidak membayar jaminan reklamasi. “Sekarang tinggal 16 lagi yang IUP-nya masih dicabut, yang lain sudah memenuhi kewajibannya. Mereka saya beri waktu dua bulan untuk memenuhi kewajibannya tersebut,” kata dia.
Direktur Pembinaan Pengusahaan Batubara, Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral, Hendrasto menuturkan, untuk mengurangi kebocoran PNBP Minerba, pihaknya telah membuat sistem Modul Verifikasi Penjualan untuk memastikan batubara yang dijual benar-benar legal. Dalam hal ini pemegang IUP sudah melengkapi persyaratan dan membayar kewajibannya. “Semua dilakukan secara elektronik tidak ada campur tangan manusia,” ungkapnya.
Nantinya, mekanisme ini akan dikoordinasikan dengan KSOP karena mereka yang memiliki otoritas untuk mengeluarkan izin pelayaran termasuk pengangkutan batubara. Aplikasi yang sudah dirancang sejak April 2019 ini akan diluncurkan pada 10 September di Bandung. Apabila setelah sistem ini diterapkan, masih ada batubara ilegal yang beredar itu dipastikan ulah oknum.
Hendrasto menerangkan tahun 2018, PNPB dari sektor Mineral dan Batubara (Minerba) mencapai Rp 50 triliun jauh lebih besar dibanding target yang ditetapkan yakni Rp 32,1 triliun. Adapun untuk tahun 2019, PNBP Minerba ditargetkan mencapai Rp 43,2 triliun.