Nepotisme dan Korupsi Biang Kegagalan Penyelamatan Perbankan pada Krisis 1998
Pendiri kelompok usaha Mayapada Group, Dato\' Sri Tahir, meraih gelar doktor bidang kepemimpinan dan inovasi kebijakan dari Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Dalam disertasinya, Tahir menilai pengaruh buruk budaya nepotisme, kroniisme, dan korupsi di kalangan perbankan dan birokrasi pemerintah saat itu menyebabkan upaya penyelamatan ekonomi nasional tidak efektif.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·5 menit baca
SLEMAN, KOMPAS – Pendiri kelompok usaha Mayapada Group, Dato\' Sri Tahir, meraih gelar doktor bidang kepemimpinan dan inovasi kebijakan dari Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Dalam disertasinya, Tahir menilai pengaruh buruk budaya nepotisme, kroniisme, dan korupsi di kalangan perbankan dan birokrasi pemerintah saat itu menyebabkan upaya penyelamatan ekonomi nasional tidak efektif.
Tahir meraih gelar doktor setelah menjalani ujian terbuka, Jumat (30/8/2019), di kampus Sekolah Pascasarjana UGM di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam ujian itu, Tahir memaparkan disertasi berjudul "Studi Ekonomi Kelembagaan Baru dan Kepemimpinan: Studi Kasus Kebijakan Penyelamatan Perbankan pada Saat Krisis Moneter 1997/1998" dan berhasil lulus dengan predikat cum laude.
Ujian tersebut dihadiri sejumlah pejabat, di antaranya Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Dwikorita Karnawati, dan hakim Mahkamah Konstitusi Saldi Isra.
Tahir menganalisis kebijakan penyelamatan perbankan saat krisis 1997-1998 menggunakan perspektif teori New Institutional Economics atau ekonomi kelembagaan baru.
Hadir pula sejumlah pengusaha, misalnya pendiri Lippo Group, Mochtar Riady, yang juga merupakan mertua Tahir. Selain itu, pimpinan Lippo Group, James Riady, juga hadir dalam acara tersebut.
Dalam disertasinya, Tahir menganalisis kebijakan penyelamatan perbankan saat krisis 1997-1998 menggunakan perspektif teori New Institutional Economics atau ekonomi kelembagaan baru. Teori ekonomi kelembagaan baru merupakan teori yang berfokus pada aspek sosial, norma, aturan hukum, dan institusi yang melandasi aktivitas ekonomi.
Seperti diketahui, pada rentang 1997-1998, Indonesia dilanda krisis ekonomi yang berujung pada gerakan reformasi dan tumbangnya Orde Baru. Krisis ekonomi itu antara lain ditandai anjloknya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, melemahnya daya beli masyarakat hingga penutupan sejumlah bank.
Pada November 1997, pemerintah mencabut izin usaha 16 bank bermasalah. Pencabutan itu berdampak pada penurunan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan sehingga terjadi penarikan uang tabungan di bank secara besar-besaran. Untuk mengatasi persoalan itu, pemerintah pun mengucurkan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) untuk membantu bank-bank lepas dari krisis.
Akan tetapi, bantuan yang diberikan oleh pemerintah itu ternyata justru disalahgunakan sejumlah pemilik bank sehingga negara dirugikan. Pemberian BLBI itu kemudian menjadi kasus hukum yang belum selesai hingga sekarang.
“Krisis kita yang terbesar itu tahun 1997-1998 dan sampai sekarang dampaknya masih terasa oleh masyarakat. Artinya, kasus 1997-1998 jangan sampai terulang lagi. Inilah yang menjadi motivasi kami untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi,” kata Tahir yang juga dikenal sebagai pegiat filantropi itu.
Setelah menganalisis menggunakan teori ekonomi kelembagaan baru, Tahir menyatakan, ada sejumlah persoalan yang mewarnai kebijakan penyelamatan perbankan pada 1997-1998. Salah satunya pengaruh buruk dari budaya nepotisme, kroniisme, dan korupsi yang berkembang di kalangan perbankan dan birokrasi pemerintah saat itu.
Kondisi ini menyebabkan Bank Indonesia dan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) saat itu tidak bersikap profesional dalam mengontrol sektor perbankan. Akibatnya, sejumlah bank milik keluarga penguasa dan kroninya menikmati banyak fasilitas yang tidak wajar.
“Dengan demikian, penyelamatan perbankan (saat itu) tidak efektif untuk memulihkan kesehatan bank,” kata Tahir yang pernah menerima gelar doktor honoris causa dari sejumlah perguruan tinggi.
Masalah lain yang diungkap Tahir yakni lemahnya kapasitas bank sentral pada krisis 1997-1998 akibat intervensi dari kekuatan politik dan birokrasi. Lemahnya kapasitas itu, menurut Tahir, antara lain terlihat dari ketidakmampuan bank sentral mendeteksi jumlah pinjaman luar negeri milik perbankan. Kondisi ini menyebabkan adanya penyimpangan berupa pengelolaan pinjaman luar negeri yang tidak akuntabel.
Selain itu, Tahir juga mengungkap praktik tata kelola perbankan yang tak kuat dan tak akuntabel karena pemerintah cenderung memberi kebebasan besar kepada bank untuk melakukan ekstensifikasi bisnis tanpa pengawasan ketat. Hal itu menyebabkan buruknya pengelolaan sejumlah bank swasta saat itu tidak terdeteksi oleh bank sentral.
Tahir juga mengungkap praktik tata kelola perbankan yang tak kuat dan tak akuntabel karena pemerintah cenderung memberi kebebasan besar kepada bank untuk melakukan ekstensifikasi bisnis tanpa pengawasan ketat.
“Kualitas pengelolaan yang buruk di sektor perbankan memberikan dampak negatif terhadap bantuan BLBI. Idealnya, BLBI dapat membantu bank-bank terdampak krisis ekonomi untuk recovery (pemulihan), namun dalam implementasinya BLBI justru diselewengkan oleh bank untuk kepentingan pemilik bank,” ungkap Tahir.
Di sisi lain, Tahir juga menyoroti lemahnya kapasitas kepemimpinan, baik di level pemerintah maupun perbankan waktu itu. Hal itu menyebabkan pengelolaan perbankan saat itu tidak dilakukan dengan prinsip transparansi dan profesionalisme.
“Akibatnya, pengelolaan perbankan sangat rentan terhadap efek krisis moneter dan membutuhkan waktu yang lama untuk memulihkan kesehatan perbankan,” kata Tahir.
Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM Wihana Kirana Jaya mengatakan, disertasi Tahir memiliki nilai penting karena menggabungkan analisis teoretis dan pengalaman empirik. Hal ini karena Tahir juga merupakan saksi sejarah krisis ekonomi tahun 1997-1998.
Menurut Wihana, disertasi Tahir berhasil membuktikan bahwa institusi-institusi ekonomi, seperti bank sentral, tidak bisa menjalankan fungsinya dengan baik pada masa krisis ekonomi 1997-1998. Kondisi itu terjadi akibat intervensi politik dari penguasa serta maraknya budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme.
“Disertasi beliau juga mengungkap undang-undang pada saat itu tidak menciptakan hubungan check and balance yang sempurna,” kata Wihana yang menjadi promotor studi doktoral Tahir di UGM.
Sementara itu, Moeldoko menuturkan, disertasi Tahir itu bisa menjadi bahan rujukan untuk melakukan mitigasi agar tidak terjadi krisis ekonomi di waktu mendatang. Dia menambahkan, disertasi tersebut juga menjadi pengingat bahwa Indonesia harus bisa merespons dinamika sosial politik dengan baik agar siap menghadapi perubahan. “Disertasi ini penting untuk memitigasi jangan sampai terjadi krisis ke depan,” ujarnya.