Penegakan hukum tidak dapat dilepaskan dari perlindungan hak asasi manusia. Bahkan, almarhum Satjipto Rahardjo, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, mendefinisikan perlindungan hukum sebagai upaya pengayoman terhadap hak asasi manusia masyarakat. Perlindungan itu diberikan agar masyarakat dapat menikmati semua hak yang diberikan negara melalui ketentuan dan hukum yang berlaku.
Pandangan Satjipto ini kerap dipandang sebagai perspektif hukum progresif. Dasar pemikiran Satjipto ini pula yang dipakai Kementerian Hukum dan HAM untuk membuat pemidanaan bukan sebagai upaya penghukuman dan pembalasan kepada pelaku tindak pidana melalui pemenjaraan. Namun, pemidanaan bergeser ke arah pemasyarakatan, yang menyiapkan dan membina narapidana untuk kembali hidup bermasyarakat.
Dengan kacamata hukum pidana yang progresif pula, kasus M Aris (20), warga Mojokerto, Jawa Timur—yang divonis 12 tahun penjara, denda Rp 100 juta, subsider 6 bulan, dan hukuman kebiri kimia, karena memerkosa sembilan anak di bawah umur—jadi kajian menarik. Apakah hukuman berupa suntik kebiri itu memenuhi rasa keadilan, sesuai tujuan hukum, dan tak melanggar HAM?
Vonis itu menjadi topik yang dibahas dalam acara bincang Satu Meja: The Forum di Kompas TV, Rabu (28/8/2019), yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo.
Hadir sebagai narasumber dalam acara itu, Wakil Ketua Komisi VIII DPR Ace Hasan Syadzily, mantan Hakim Agung Gayus Lumbuun, Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Daeng M Faqih, pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel, anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia Retno Listyarti, dan Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform Anggara Suwahju.
Gayus menilai, vonis yang dijatuhkan hakim itu ada dasar hukumnya. Vonis kebiri tersebut dijatuhkan sebagai bagian dari upaya hakim melindungi warga lainnya dari kejahatan serupa. Pelaku yang mengaku memerkosa sembilan anak, rata-rata berusia enam tahun, dipandang melakukan kejahatan keji sehingga patut dijatuhi hukuman pemberatan berupa kebiri kimia.
”Hakim memiliki tanggung jawab untuk melindungi masyarakat dari kejahatan serupa,” katanya.
Dasar hukuman kebiri ada di Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No 23/2002 tentang Perlindungan anak. Pasal 81 dan 81 A perppu itu mengatur diberikannya hukuman tambahan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik bagi pelaku yang korbannya lebih dari satu orang dan telah berkali-kali melakukan kejahatan seksual pada anak-anak.
Namun, Anggara tidak sependapat dengan vonis itu karena dianggap bertentangan dengan HAM. Hukuman berat itu pun diragukan bisa menurunkan angka kejahatan seksual kepada anak.
”Belum pernah ada kajian yang menunjukkan hukuman berat, seperti hukuman mati dan kebiri, bisa mengurangi tingkat kejahatan,” katanya. Ia menilai, kebiri sebagai hukuman yang kejam dan semata-mata untuk memenuhi kemarahan publik.
Anggara juga menyoroti minimnya perhatian kepada restitusi dan rehabilitasi korban. Pembuat regulasi dan penegak hukum lebih fokus menghukum pelaku dan kurang peduli pada nasib korban. ”Peran pengadilan yang pertama dan utama adalah menjaga HAM, baik pelaku maupun korban,” ujarnya.
Retno mendukung penjatuhan hukuman yang berat kepada pelaku kejahatan seksual pada anak-anak. Namun, pada saat yang sama juga perlu ada pemeriksaan yang lebih komprehensif pada diri pelaku untuk melihat apakah benar dia melakukan perbuatan itu karena dorongan hormonal atau ada faktor lain, seperti gangguan jiwa.
”Jika perbuatan itu karena dorongan hormonal, kebiri kimia untuk mengendalikan stimulus itu mungkin efektif. Namun, jika yang memicu perbuatan itu faktor kejiwaan, tindakan kebiri kimia jadi tak efektif,” ucapnya.
Dorong rehabilitasi
Reza memandang kebiri kimia cukup efektif untuk mencegah kejahatan apabila dilakukan dalam konteks rehabilitasi. Artinya, pelaku dengan kesadaran sendiri meminta kebiri dilakukan karena menyadari bahaya yang mungkin timbul jika hal itu tidak dijalani. Karena itu, kebiri didorong agar dilakukan dalam konteks rehabilitasi medis, bukan dipaksakan melalui putusan pengadilan.
”Dalam banyak kasus, kebiri yang dipaksakan akan membuat pelaku makin buas atau ganas,” katanya.
Hukuman kebiri kimia itu pun pada kenyataannya belum bisa direalisasikan sepanjang peraturan pelaksana dari Perppu No 1/2016 belum ada. Ace Hasan mengatakan, pembuatan peraturan pelaksana merupakan kewenangan eksekutif. Ada waktu 2 tahun bagi pemerintah untuk merumuskan bagaimana kebiri kimia itu dilakukan.
IDI pun menolak menjadi ”eksekutor” bagi kebiri kimia yang dijatuhkan kepada orang dalam konteks pemberian hukuman, Namun, jika kebiri kimia itu dilakukan untuk keperluan rehabilitasi medis, dokter bersedia membantu.
”Dalam kode etik dokter dan UU Praktik Kedokteran telah disebutkan, peran dokter antara lain memulihkan, menyembuhkan, dan mengobati pasien. Kami sebagai dokter tidak boleh melakukan hal-hal yang bisa menyakiti dan membahayakan pasien. Oleh karena itu, dokter tidak bisa menjadi eksekutor hukuman,” kata Daeng.
Untuk memperjelas kebiri kimia yang diatur dalam Perppu No 1/2016, kini menjadi tugas pemerintah untuk merumuskannya sehingga regulasi itu tidak hanya tegas melindungi korban, tetapi juga tetap menghargai HAM.