Derita Ganda Para Pencari Suaka
Terombang-ambing di lautan lepas dengan perahu koyak, itulah yang dialami para penyintas asal Vietnam pada 1980-an. Jatuhnya Kota Saigon pada 30 April 1975 menjadi pemicu yang memaksa ribuan orang Vietnam mencari tempat perlindungan ke luar negeri.
nemo dat quod non habet
(tidak ada seorang pun memberi sesuatu yang tidak ia miliki)
Terombang-ambing di lautan lepas dengan perahu koyak, itulah yang dialami para penyintas asal Vietnam pada 1980-an. Jatuhnya Kota Saigon pada 30 April 1975 menjadi pemicu yang memaksa ribuan orang Vietnam mencari tempat perlindungan ke luar negeri.
Pulau-pulau sekitar Riau menjadi salah satu tempat yang dituju. Atas nama kemanusiaan, Indonesia bekerja sama dengan UNHCR membantu para pengungsi dengan mendirikan kamp di Pulau Galang, Batam hingga akhirnya ditutup pada 1996.
Kisah para pencari suaka yang datang ke Indonesia nyatanya masih berlanjut hingga saat ini seperti yang terjadi di jalanan Jakarta sepanjang Juli-Agustus 2019 ini. Jika melihat data Komisariat Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Urusan Pengungsi (UNHCR), Indonesia masih menjadi tujuan para penyintas ini dari tahun ke tahun.
Baca juga: Penampungan Pengungsi Asing di Jakarta Ditutup
Indonesia memang bukan menjadi negara tujuan bagi para pengungsi, tetapi sebagai negara transit. Selain itu, Indonesia juga tidak ikut meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967.
Dengan demikian, para pencari suaka dan pengungsi yang datang ke Indonesia diperlakukan sebagai pelanggar administrasi imigrasi. Mereka tersebar di rumah-rumah detensi migran ataupun di lokasi penampungan yang disediakan oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat.
Celakanya, rumah penampungan sementara yang sebelumnya disediakan oleh Pemda DKI Jakarta, resmi ditutup hari ini (31 Agustus 2019). Bahkan, layanan makanan, air, dan kesehatan sudah dihentikan sejak Kamis, 22 Agustus 2019. Langkah ini diambil mengingat keterbatasan dana pemerintah ataupun UNHCR. Sayangnya, langkah ini belum tentu dapat mengatasi permasalah para penyintas di Indonesia.
Kepedulian Indonesia
Dari data yang tersedia di UNHCR, jumlah pencari suaka di Indonesia mengalami jumlah yang fluktuatif. Pada 2009 (data terawal yang tersedia) terdapat 1.769 pencari suaka yang permohonannya tertunda hingga akhir tahun. Jumlah mereka sempat mencapai tujuh ribu lebih pada 2013 dan pada 2018 kemarin tercatat 3.223 pencari suaka.
Mayoritas pengungsi ini berasal dari negara-negara yang tengah mengalami konflik berkepanjangan. Data UNHCR internasional menunjukkan lima negara asal pengungsi terbanyak, yakni Suriah, Afghanistan, Sudan Selatan, Myanmar, dan Somalia. Jumlah pengungsi dari kelima negara itu menyumbangkan 67 persen dari total seluruh pengungsi di dunia pada 2018.
Dalam protokol UNHCR dibedakan antara pencari suaka (asylum seeker) dan pengungsi (refugee). Mereka yang berstatus pencari suaka harus mendaftar untuk mendapatkan status sebagai pengungsi, tetapi belum dapat diakui (secara legal) sebagai pengungsi.
Sementara pengungsi ialah mereka yang meninggalkan negara asalnya karena ketakutan atau ancaman karena kondisi sosial politik tidak stabil. Para pengungsi ini mendapat status resmi setelah melalui rangkaian proses seleksi dan wawancara yang ditetapkan oleh UNHCR.
Tidak jarang, para pencari suaka yang telah lama meninggalkan negara asalnya dan tak kunjung mendapat status pengungsi ini justru bernasib kehilangan kewarganegaraannya (statelessness).
Keadaan tanpa kewarganegaraan dapat menghambat akses mereka terhadap pekerjaan, pendidikan, layanan kesehatan, kesempatan untuk bepergian, memiliki hak kepemilikan, dan menikah. Keadaan ini juga menimpa setiap anak yang dilahirkan ketika orangtuanya dalam masa pencarian suaka.
Sudah pasti, keadaan seseorang tanpa kewarganegaraan ini masuk dalam kategori pelanggaran hak asasi manusia. Dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) Pasal 15, dituliskan bahwa setiap orang berhak atas suatu kewarganegaraan. Perihal para pencari suaka pun, hak mereka turut dilindungi sesuai DUHAM Pasal 14.
Lantas, bagaimana Indonesia mengatasi fenomena para pencari suaka ini dari tahun ke tahun? Kendati Indonesia belum meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967 tentang status pencari suaka dan pengungsi, tetapi upaya yang Indonesia lakukan sekiranya sudah menunjukkan kepedulian terhadap para korban ini. Salah satunya, dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari luar negeri.
Bukti kepedulian lain dapat dilihat dari adanya kantor UNHCR yang berpusat di Jakarta (1979) dan memiliki perwakilan di Medan, Tanjung Pinang, Makassar, Kupang, dan Pontianak.
Baca juga: Pengungsi Tanggung Jawab Siapa?
Kantor lembaga internasional ini berdiri dengan dilatarbelakangi oleh penanganan kedatangan kapal pengungsi Vietnam di Pulau Galang dan mengakomodasi 170.000 pengungsi sejak 1989 hingga 1996. Dengan berdirinya kantor UNHCR, secara tidak langsung Indonesia telah mendeklarasikan dirinya bagi permasalahan kemanusiaan global.
Kendati sudah ada perpres yang mengatur penanganan pengungsi dari luar negeri, tetapi kedudukan hukum ini tidak serta-merta mengikat karena tidak ada sanksi jika dilanggar.
Selama ini, perpres tersebut dapat dikatakan menjembatani kepedulian pemerintah terhadap aksi kemanusiaan. Di lapangan, pemda setempat, dinas sosial, dan pihak swastalah yang akhirnya turun tangan membantu mengurus kebutuhan para pencari suaka dengan dana daerah terkait.
Derita para pencari suaka pun jadi berganda. Petaka pertama, mereka tidak dapat lagi hidup tenang di tanah kelahiran mereka. Kedua, belum tentu ada negara yang bukan hanya mau, melainkan juga mampu menerima kehadiran mereka.
Dilema dana
Menilik peristiwa kehadiran rombongan pencari suaka di Jakarta dalam bulan-bulan ini, terlihat jelas bahwa Pemprov DKI Jakarta cukup aktif dalam mencari solusi tempat tinggal dan akomodasi lainnya. Selama ini para pencari suaka biasanya menempati Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) yang sebenarnya diperuntukkan sebagai tempat penampungan sementara orang asing yang melanggar UU Imigrasi.
Untuk saat ini, Pemprov menghindari untuk menempatkan para pengungsi ke panti-panti sosial karena fungsinya dikhususkan bagi WNI yang telantar. Sebagai solusi jangka pendek, Pemprov DKI Jakarta akhirnya memindahkan para pencari suaka yang telantar di sepanjang Jalan Kebon Sirih ke eks Kantor Kodim, Kalideres, Jakarta Barat.
Baca Juga: Kondisi Penampungan Sementara Pengungsi Asing
Bantuan yang Pemprov DKI Jakarta berikan berupa tempat penampungan, logistik (makan dua hari sekali), dan fasilitas MCK (mandi, cuci, kakus). Padahal, perihal bantuan ini, tidak ada dana khusus yang pemprov anggarkan untuk membantu para pengungsi.
Jika melihat Rancangan APBD Jakarta 2018, ranah anggaran ini berada di bawah Dinas Sosial DKI Jakarta yang kemudian diturunkan ke Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)/Unit Kerja Perangkat Daerah (UKPD) Biro Kesejahteraan Sosial.
Akan tetapi, dalam rancangan anggaran 2019, misalnya, tidak ada dana khusus yang dialokasikan untuk penanganan para pencari suaka maupun pengungsi. Dana yang dialokasikan untuk membantu para imigran ini akhirnya menggunakan dana darurat Dinas Sosial dari APBD DKI 2019.
Di Indonesia, UNHCR bekerja dengan mitra pelaksana, seperti Church World Service, untuk menyediakan kebutuhan dasar bagi pencari suaka dan pengungsi, termasuk bantuan mental, konseling, pendidikan, dan pelatihan dalam berbagai bahasa, dan hal-hal teknis.
Untuk pembiayaan perjalanan para pencari suaka ke negara penempatan atau ke negara asal (pemulangan sukarela), UNHCR menggandeng International Organization for Migration (IOM). Dana lainnya, tentu didapat dari sumbangan sukarelawan para dermawan yang menyalurkan bantuannya dari kanal resmi UNHCR internasional.
Meski demikian, pencari suaka yang berjumlah ribuan itu tentu memberikan beban bagi UNHCR yang kini tengah kekurangan dana. Salah satu cara yang digalang ialah bekerja sama dengan lembaga nasional, seperti Dompet Dhuafa, Tzu Chi Foundation, dan Palang Merah Indonesia (PMI) untuk meringankan beban biaya.
Data UNHCR menunjukkan lima negara asal pengungsi terbanyak di Indonesia, yakni Suriah, Afghanistan, Sudan Selatan, Myanmar, dan Somalia.
Cara lainnya, UNHCR meminta bantuan United International Agency International Labour yang terhubung dengan para pengusaha muda untuk menyalurkan para pencari suaka ini sehingga mendapat pekerjaan yang layak.
Akhirnya, di tengah dilema inilah pepatah Latin nemo dat quod non habet (tidak ada seorang pun memberi sesuatu yang tidak ia miliki), menjadi relevan. Ungkapan itu cukup menggambarkan situasi Indonesia dalam menghadapai para pencari suaka yang terus berdatangan hingga menetap cukup lama.
Di satu sisi sudah ada usaha untuk menjawab panggilan kemanusiaan itu. Sisi lainnya, ketersediaan tempat, dana, dan kekhawatiran menjadi halangan tersendiri. (LITBANG KOMPAS)