DPR dan pemerintah memutuskan tetap memasukkan pasal tindak pidana khusus, termasuk korupsi, ke dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang akan disahkan dalam waktu dua minggu lagi.
Oleh
Agnes Theodora dan Riana A Ibrahim
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — DPR dan pemerintah memutuskan tetap memasukkan pasal tindak pidana khusus, termasuk korupsi, ke dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang akan disahkan dalam waktu dua minggu lagi. Dampaknya, ancaman hukuman terkait sejumlah perbuatan korupsi menjadi lebih ringan daripada yang sebelumnya diatur di Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Keputusan untuk memasukkan ketentuan umum tindak pidana pokok (core crime) delik tindak pidana khusus ke dalam RKUHP itu diambil oleh Panitia Kerja RKUHP dari DPR dan pemerintah dalam rapat konsinyering tertutup sejak Rabu sampai Jumat (28-30/8/2019).
Pembahasan selanjutnya akan diteruskan pada tingkat satu antara Panja DPR dan pemerintah di Kompleks Parlemen, Senayan, 4 September 2019, dan disahkan pada 24 September 2019.
Keputusan DPR dan pemerintah itu bertentangan dengan masukan dari Komisi Pemberantasan Korupsi serta pegiat antikorupsi.
Keputusan DPR dan pemerintah itu bertentangan dengan masukan dari Komisi Pemberantasan Korupsi serta pegiat antikorupsi yang tidak sepakat jika delik korupsi dimasukkan ke dalam RKUHP karena dikhawatirkan akan memperlemah upaya pemberantasan korupsi.
Adapun pasal tipikor yang dimasukkan ke dalam RKUHP adalah Pasal 2, 3, 5, 11, dan 13 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Mengacu pada ketentuan peralihan di RKUHP, dengan masuknya lima delik itu, pasal-pasal yang bersangkutan di UU Tipikor otomatis dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
RKUHP tidak mengadopsi secara utuh substansi ancaman hukuman dari pasal-pasal inti di Undang-Undang Tipikor itu.
RKUHP tidak mengadopsi secara utuh substansi ancaman hukuman dari pasal-pasal inti di Undang-Undang Tipikor itu. Mengacu pada draf RKUHP versi 28 Agustus 2019, ancaman pidana penjara dan denda untuk sejumlah perbuatan korupsi dibuat menjadi lebih ringan.
Sebagai contoh, Pasal 2 UU Tipikor terkait perbuatan memperkaya diri yang diadopsi ke Pasal 604 RKUHP. Ancaman penjara minimum untuk pelaku lebih singkat, dari sebelumnya empat tahun menjadi dua tahun. Hukuman denda minimum pun diperingan menjadi Rp 10 juta, dari sebelumnya Rp 200 juta. Pidana mati yang sebelumnya diatur di UU Tipikor juga ditiadakan.
Hukuman denda untuk pelaku penyalahgunaan kewenangan atau jabatan, sebagaimana diatur dalam Pasal 605 RKUHP yang mengadopsi Pasal 3 UU Tipikor, juga lebih rendah. Jika sebelumnya ancaman denda minimum untuk pelaku adalah Rp 50 juta, di RKUHP, ancaman hukumannya menjadi Rp 10 juta.
Ketentuan lain yang diperingan adalah Pasal 607 Ayat (2) RKUHP yang mengadopsi Pasal 11 UU Tipikor mengenai penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji. Di RKUHP, ancaman penjara maksimum adalah 4 tahun, padahal UU Tipikor mengaturnya lebih lama, yakni 5 tahun. Sanksi denda di RKUHP juga menjadi lebih ringan, yakni Rp 200 juta. Di UU Tipikor, sebelumnya, sanksi denda maksimal Rp 250 juta.
Anggota Panja RKUHP dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Nasir Djamil, mengatakan, meskipun tipikor ikut diatur dalam RKUHP, tetapi kewenangan KPK dan lembaga penegak hukum lain tidak berubah dan tetap mengacu pada yang diatur di undang-undang masing-masing. ”Jadi, tidak perlu ada kekhawatiran bahwa nanti ada semacam pelemahan kewenangan,” katanya.
Terkait ancaman hukuman untuk pelaku korupsi yang lebih ringan setelah diadopsi di RKUHP, Nasir mengatakan, semangat pemberantasan korupsi ke depan adalah menyelamatkan uang negara, daripada memberikan hukuman yang berat kepada pelaku.
”Ke depan memang kita harus mengubah cara pandang bahwa korupsi ini kejahatan keuangan, pidana kurungan badan bukan yang utama, melainkan bagaimana uang yang sudah dirampok dikembalikan ke negara,” tutur Nasir.
Revisi UU Tipikor
Adapun implikasi lain dari dimasukkannya pasal-pasal tipikor ke dalam RKUHP adalah perlunya revisi UU Tipikor setelah RKUHP diundangkan. Itu karena ketentuan penutup pada RKUHP menyatakan, dalam waktu dua tahun setelah RKUHP diundangkan, perlu ada penyesuaian undang-undang di luar RKUHP terhadap ketentuan dalam RKUHP, khususnya terkait aturan di buku kesatu.
Nasir mengatakan, revisi sejumlah undang-undang, termasuk UU Tipikor itu, menjadi tugas besar DPR dan pemerintah lima tahun ke depan. ”Karena tidak sebanding kalau kita sudah membuat jalan besar (RKUHP), tetapi kendaraannya kecil (UU sektoral). Makanya, ke depan undang-undang sektoral itu ke depan harus kita evaluasi, kelembagaannya kita tingkatkan,” katanya.
Meski demikian, anggota Panja RKUHP dari Fraksi PDI-P, Masinton Pasaribu, mengatakan, ketentuan penutup itu tidak berlaku untuk undang-undang tindak pidana khusus. Itu karena ketentuan peralihan di RKUHP sudah mengatur bahwa saat RKUHP berlaku, ketentuan terkait tipidsus tetap dilaksanakan oleh lembaga penegak hukum berdasarkan tugas dan kewenangan yang diatur di undang-undang sektoral.
Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan, sikap KPK sampai saat ini tetap sama, yaitu tidak ingin pasal-pasal korupsi masuk ke dalam RKUHP.
Pengajar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Fadjar, menilai, masuknya delik korupsi dalam RKUHP bisa mengancam upaya pemberantasan korupsi. Tindak pidana korupsi akan terdegradasi menjadi tindak pidana biasa, bukan lagi kejahatan luar biasa. ”Ini dikhawatirkan membuat penanganan perkara korupsi kembali dilakukan dengan cara-cara konvensional,” katanya.
Hal ini disayangkan di tengah kondisi darurat korupsi yang tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. ”Pengesahan RKUHP, khususnya yang memasukkan tindak pidana korupsi, ditunda saja lebih dahulu. Perlu ada kajian yang lebih komprehensif agar tidak mengganggu komitmen bangsa dalam membersihkan korupsi,” kata Fickar.