Polisi Hong Kong telah menangkap 900 orang, termasuk beberapa tokoh aktivis, terkait rangkaian aksi unjuk rasa yang mengguncang wilayah itu sejak Juni.
HONG KONG, JUMAT—Aksi unjuk rasa besar yang dijadwalkan pada Sabtu (31/8/2019), di Hong Kong, batal. Pembatalan itu menyusul penangkapan sejumlah tokoh penggerak aksi unjuk rasa, termasuk Sekretaris Jenderal Demosisto, Joshua Wong, salah satu motor Gerakan Payung tahun 2014.
”Kami yakin penangkapan sebelum aksi unjuk rasa pada 31 Agustus adalah upaya teror dan ketakutan kepada pengunjuk rasa dan warga Hong Kong,” kata Wakil Presiden Demosisto, Isaac Cheng, Jumat (30/8).
Demosisto adalah salah satu kelompok yang aktif memelopori aksi unjuk rasa di Hong Kong sejak 2014. Selain Wong, aktivis Demosisto yang juga ditangkap yaitu Agnes Chow. Polisi menyebut Wong dan Chow menghasut orang berkumpul secara ilegal. Jumat sore, pengadilan mengabulkan permohonan tahanan luar untuk Wong dan Chow. Mereka harus membayar jaminan masing- masing 10.000 dollar Hong Kong atau sekitar Rp 18 juta.
Keyakinan Cheng dibuktikan dengan pengumuman Front HAM Hong Kong (CHRF) untuk membatalkan aksi unjuk rasa pada Sabtu ini. Pembatalan aksi itu diumumkan setelah polisi menolak permohonan pengumpulan massa yang diajukan CHRF. CHRF adalah salah satu penggerak aksi unjuk rasa pada 18 Agustus 2019, yang diklaim diikuti 1,7 juta orang.
Kala itu, CHRF juga tidak mendapat izin. Walakin, saat itu tidak ada penangkapan tokoh- tokoh pengunjuk rasa dengan alasan mengumpulkan massa secara ilegal. Saat ini, polisi menangkapi sejumlah orang dengan tuduhan tersebut.
Selain menahan Wong dan Chow, polisi juga menangkap sejumlah aktivis mahasiswa dan politisi lokal. Mereka antara lain Althea Suen, mantan Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Hong Kong (HKU), dan seorang pewarta koran mahasiswa di City University of Hong Kong. Mereka dituding terlibat perusakan barang milik pihak lain dan memasuki perkantoran parlemen tanpa izin. Pengurus BEM City University, Adrian Ho, menegaskan, rekannya menjalankan tugas jurnalistik dan mengenakan atribut penanda bahwa mahasiswa itu sedang liputan.
Adapun politisi yang ditangkap yaitu Rick Hui, Andy Chan, dan Cheng Chung-tai. Chan adalah pemimpin Partai Nasional dengan agenda prioritas kemerdekaan Hong Kong. Chan ditangkap di bandara kala bersiap terbang ke Jepang. Adapun Cheng adalah anggota parlemen Hong Kong dan pendukung gerakan demokrasi. Sementara Rick menjadi anggota Dewan Warga pada salah satu distrik di Hong Kong.
Sampai sekarang, sedikitnya 900 orang ditangkap terkait rangkaian aksi unjuk rasa. Sebagian dikeluarkan dari tahanan setelah membayar jaminan.
Beijing menolak
Seluruh rangkaian aksi unjuk rasa sejak April 2019 itu dipicu tuntutan agar Pemerintah Hong Kong menarik rancangan undang-undang ekstradisi dari parlemen. Pemimpin Eksekutif Hong Kong Carrie Lam dilaporkan mengusulkan kepada Beijing untuk mencabut RUU itu. Usulan ini disampaikan pada pertengahan Juni 2019. Dalam usulannya, Lam menyatakan pencabutan RUU akan meredakan ketegangan di Hong Kong.
Lam disebut menyampaikan usulan itu dalam rapat Kantor Urusan Hong Kong dan Makau (HKMAO), badan khusus Pemerintah China yang mengurus kedua daerah itu. Rapat digelar di Shenzhen, Provinsi China yang berbatasan langsung dengan Hong Kong.
Menurut sejumlah pejabat Hong Kong dan Beijing, Beijing menolak usulan Lam. Beijing meminta Lam tidak mencabut RUU itu. Beijing juga meminta Lam tidak memenuhi tuntutan pengunjuk rasa soal penyelidikan independen atas dugaan kekerasan oleh polisi kepada pengunjuk rasa.
Penolakan Beijing itu memperlihatkan kuatnya cengkeraman China dalam menangani isu-isu di Hong Kong.