Hujan di Beberapa Wilayah Hanya Berlangsung Sesaat
Turunnya hujan di sejumlah wilayah dalam beberapa hari terakhir hanya akan berlangsung selama beberapa hari. Masyarakat dan pemerintah daerah diimbau untuk tetap bersiap menghadapi musim kemarau panjang, setidaknya dalam dua bulan ke depan.
Oleh
Fajar Ramadhan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Turunnya hujan di sejumlah wilayah dalam beberapa hari terakhir hanya akan berlangsung selama beberapa hari. Masyarakat dan pemerintah daerah diimbau untuk tetap bersiap menghadapi musim kemarau panjang, setidaknya dalam dua bulan ke depan.
Kepala Subdirektorat Analisis Informasi Iklim Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Adi Ripaldi mengatakan, hujan yang turun di beberapa wilayah disebabkan munculnya aktivitas gelombang atmosfer Madden-Julian Oscillation (MJO) yang melintasi Indonesia. Hal itu menyebabkan beberapa wilayah di bagian barat Indonesia mendapatkan pertumbuhan awan hujan.
”Hujan hanya akan berlangsung selama satu atau dua hari. Setelah itu kita tetap masuk musim kemarau panjang,” ujarnya saat ditemui dalam Konferensi Pers Antisipasi Bencana di Jakarta, Jumat (30/8/2019).
Hujan hanya akan berlangsung selama satu atau dua hari. Setelah itu tetap kita masuk musim kemarau panjang.
Adapun pada Sabtu (31/8/2019) dan Minggu (1/9/2019), daerah yang berpotensi mengalami hujan lebat adalah Aceh, Sumatera Barat, Kalimantan Timur, dan Papua. Dua daerah terakhir bahkan berpotensi mengalami hujan lebat disertai kilat. Pemicunya adalah terdapat pusat tekanan rendah di Samudra Pasifik sebelah timur laut Papua.
BMKG sebelumnya menyatakan, sejak awal Agustus 2019, El Nino telah berakhir. Meski demikian, musim kemarau tetap akan terjadi, bahkan mundur hingga November 2019 disebabkan sejumlah faktor. Salah satunya adalah, ada anomali suhu muka laut di Samudra Hindia pantai timur Afrika atau disebut Indian Ocean Dipole (IOD).
Faktor lainnya dipengaruhi kondisi suhu muka air laut di Samudra Hindia dan perairan di selatan Khatulistiwa yang lebih dingin dari suhu normal atau sekitar minus 2 sampai 0 derajat celsius. Kondisi ini menyebabkan penguapan air laut sulit terjadi sehingga pembentukan awan-awan hujan menjadi berkurang.
Wilayah yang mengalami kemunduran musim hujan antara lain Sumatera Utara bagian tengah dan timur, Riau, Jambi bagian tengah, Sumatera Selatan, sebagian Lampung, Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, sebagian Kalimantan Timur, Maluku Utara, dan Sulawesi Tenggara.
Di sisi lain, sebagian wilayah akan mengawali musim hujan lebih awal, yakni pada Agustus, September, dan Oktober 2019, misalnya Aceh, sebagian Riau, sebagian Jambi, Kalimantan Utara, dan Pegunungan Jaya Wijaya. Wilayah-wilayah tersebut disebut BMKG sebagai non-zona musim karena tidak jelas batasan musim hujan dan kemaraunya.
”Sejumlah wilayah yang saat ini masuk kategori awas kekeringan antara lain Lampung, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT),” kata Adi.
Selain menyebabkan dampak kekeringan, kemarau juga berdampak pada jumlah titik panas (hot spot) di sejumlah wilayah. Bahkan, sudah ada dua wilayah yang jumlah titik panasnya per Agustus 2019 melebihi jumlah sepanjang 2018. Daerah itu adalah Riau dari 1.802 menjadi 3.652 titik dan Jambi dari 346 menjadi 832 titik.
Peneliti Pusat Penginderaan Jauh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Indah Prasasti mengatakan, sebaran titik panas di Sumatera, Kalimantan, NTT, NTB, dan Papua meningkat dari Juli ke Agustus 2019. Di Sumatera, wilayah Riau naik paling signifikan dari sekitar 1.000 menjadi lebih dari 3.000 titik. ”Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan NTT juga menunjukkan kenaikan yang tinggi,” katanya.
Pelaksana Tugas Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Agus Wibowo mengatakan, dengan musim kemarau yang lebih panjang dan kering, masyarakat diminta menghemat pemakaian air bersih. Bagi daerah yang sesekali masih turun hujan, masyarakat sekitar diimbau menyimpan air hujan tersebut sebagai cadangan.
”Manfaatkan sumber air yang ada dari sumur bor, sungai, atau danau dengan sehemat mungkin,” katanya.
Selain itu, Agus juga meminta kepada masyarakat yang tinggal di daerah rawan kebakaran hutan dan lahan untuk tidak melakukan aktivitas pembakaran selama kemarau. Terlebih membakar sisa-sisa tanaman.