Jalan Panjang Mencecap ”Emas Putih”
Deputi Koordinator Bidang Sumber Daya Alam dan Jasa Kementerian Koordinator Kemaritiman Agung Kuswandono meyakini garam bakal menjadi ”emas putih”. Yang dia maksud, garam bisa jadi komoditas yang sangat menguntungkan. Namun, ia tak tahu kapan hal itu terwujud.
Ismail (32), petani garam asal Desa Rawaurip, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, tak sempat memikirkan soal ”emas putih”. Setiap tahun, ia dipusingkan dengan jatuhnya harga garam, tak terkecuali tahun ini. Pada masa panen Juli 2019, harga garam terus merosot menjadi Rp 500 per kilogram (kg) lalu jadi Rp 300 per kg. Padahal, pertengahan tahun lalu, juga di masa panen, harga garam di tingkat petani lebih dari Rp 1.000 per kg.
”Sekarang, sudah Rp 200 per kg,” ucapnya, Senin (26/8/2019). Anjloknya harga garam tidak seiring dengan meningkatnya pembelian komoditas itu. Tumpukan karung berisi garam tampak tersebar di tepi tambak dan pinggir jalur pantura, Jalan Raya Kanci.
Hasil panen yang menjadi tabungan petani itu hanya dilindungi dari terik matahari dan hujan deras menggunakan terpal plastik. Jika ada uang, petani menyewa gudang beralaskan tanah dan berdinding bambu.
”Saya masih menumpuk 60 ton garam di gudang. Yang terjual baru 14 ton. Jangankan untung, kembali modal belasan juta rupiah saja enggak,” kata petani yang menggarap lahan 1,4 hektar itu. Ismail berharap hasil panennya dapat laku dengan harga bagus pada musim hujan beberapa bulan ke depan meski garamnya bakal menyusut 10 persen.
Ismail harus bersaing dengan sekitar 3.000 petani dari 22 desa yang juga sukar mendapatkan pembeli. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cirebon mencatat, hingga Juni, masih ada 35.666 ton garam petani produksi 2018 yang belum terjual.
Tahun lalu, produksi garam di Cirebon mencapai 424.617 ton, meningkat dibandingkan tahun sebelumnya, 350.000 ton. Jumlah ini jauh melebihi kebutuhan garam konsumsi di Cirebon yang 6.900 ton. Produksi berlebih itu antara lain dikirim ke Tangerang, Banten; dan Bandung, Jabar.
Kualitas rendah
Meski melimpah, secara nasional kebutuhan dan ketersediaan garam untuk industri masih timpang. Sekitar 400 industri, seperti sabun, bahan kimia, dan tekstil, perlu 4,4 juta ton garam. Sementara itu, produksi garam rakyat hanya 2,2 juta ton.
Dari jumlah itu, berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), hanya 30 persen garam rakyat yang tergolong kualitas I dengan kandungan natrium klorida (NaCl) minimal 94 persen. Sekitar 50 persen merupakan garam kualitas II (NaCl 90 persen) dan 20 persen garam kualitas III (NaCl 85 persen). Garam industri membutuhkan NaCl minimal 97 persen.
Itu sebabnya, pemerintah masih mengimpor garam. Realisasi impor 2018, misalnya, mencapai 2,7 juta ton. Jumlah itu melonjak dibandingkan impor garam industri pada 2016 sebanyak 2,1 juta ton dan 1,9 juta ton pada 2015.
Bagi Ketua Asosiasi Petani Garam Seluruh Indonesia Jawa Barat Mohammad Taufik, impor menjadi solusi instan dan tidak menyelesaikan seluruh persoalan.
”Garam rakyat bisa diolah lagi untuk kebutuhan industri. Namun, biayanya memang lebih mahal dibandingkan garam impor yang berkualitas dan tak perlu diolah lagi,” katanya.
Karena itu, ia mendesak pemerintah meningkatkan kualitas garam rakyat dengan memfasilitasi sarana dan teknologi. ”Kami juga berusaha membuat garam berkualitas. September nanti, kami panen garam dengan NaCl 98 persen,” kata Taufik.
Garam tanah
Selama ini, petani membuat garam secara konvensional, mengandalkan matahari untuk pengeringan dan lahan tambak beralaskan tanah. Waktu panen pun singkat, tiga atau empat hari. Alasan petani, agar segera mendapatkan uang untuk melunasi utang. Padahal, seharusnya waktu untuk dipanen lebih dari sepekan. Alhasil garam petani berwarna putih kecoklatan. Produk itu umum disebut garam tanah.
Kualitas rendah itu, menurut Sekretaris Umum Badan Pengurus Pusat Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia Cucu Sutara, membuat pengusaha serba salah. ”Kami disalahkan satuan tugas pangan karena membeli garam dengan NaCl di bawah 94 persen dan tidak beryodium. Namun, tanpa kami, siapa yang menyerap garam petani?” katanya.
Pemerintah pernah memfasilitasi teknik geomembran pada 2014. Garam diproduksi dengan mengalirkan air laut ke dalam kolam penampungan yang dilapisi plastik, terpal, atau karpet khusus. Tujuannya agar garam tidak bersentuhan langsung dengan tanah.
Sayangnya, sarana berupa plastik terpal seharga jutaan rupiah itu tidak tepat sasaran dan minim pendampingan. ”Penerimanya bahkan ada yang bukan petani garam. Kalaupun yang menerima petani, dia tidak dibekali cara panen.
Akibatnya, banyak terpal dijual dengan harga Rp 500.000, jauh dari harga seharusnya Rp 3,2 juta. Alasannya, petani butuh modal,” kata Tasnan (61), petani garam asal Losari, Cirebon.
Kepala Subdirektorat Pemanfaatan Air Laut dan Biofarmakologi Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP Zaki Mahasin mengakui kondisi itu. Pihaknya kini menyiapkan geomembran dan pendampingan bagi petani.
”Kami juga membangun lahan garam terintegrasi dengan gudang seluas 1.000 hektar,” katanya.
Meski dirundung masalah, Agung yakin garam akan menjadi ”emas putih”. Itu ia katakan saat mengajak dinas perikanan dan kelautan sejumlah daerah penghasil garam menyaksikan tambak garam di Desa Bungko Lor, Cirebon, awal Agustus lalu.
Lahan seluas 2 hektar itu menggunakan teknologi tunnel, yakni air laut diproses beberapa kali melalui kolam berlapis terpal dan dilindungi plastik setengah lingkaran. Dari 160 tunnel, ada 28 tunnel menjadi kolam kristalisasi garam. Dengan cara itu, produksi garam bisa dilakukan pada musim hujan dan pembentukan garam tak bercampur tanah.
Setelah berproses lebih dari tujuh hari, garam yang putih bersih dan padat dapat dipanen. Kualitas garam itu diklaim mengandung NaCl 97-98 persen untuk pasar garam industri. Garam itu dapat dijual Rp 2.000 per kg.
Lahan ini juga menghasilkan air distilasi dari embun laut yang diklaim dapat diminum langsung. Caranya, air laut dimasukkan ke kolam yang dikelilingi plastik berbentuk prisma. Saat terkena matahari, air itu menguap dan menghasilkan embun kemudian masuk ke pipa. Di sekitarnya, terdapat kolam budidaya artemia, makanan larva ikan dan udang, yang bisa hidup di air garam dengan suhu tertentu.
”Investasi teknologi untuk 1 hektar lahan garam Rp 1,7 miliar. Kalau kami buatkan, bisa Rp 1,2 miliar,” kata Direktur Utama PT Anta Tirta Karisma, Anwar Kurniawan. Perusahaan yang memproduksi plastik untuk teknologi geomembran tersebut membangun lahan integrasi di Bungko Lor bersama Kelompok Kristal Laut Nusantara.
”Saya dibilang mau menjual plastik membran. Padahal, kami mencoba membuat garam berkualitas dan bermitra dengan petani,” katanya.
Perekayasa Utama Pusat Penelitian dan Pengembangan Industri Agro Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Kementerian Industri Sudarto meminta KKP dan Kemenko Kemaritiman memanfaatkan teknologi yang telah dikembangkan sebelumnya.
”Proses pembuatan garam berkualitas bisa dengan media isolator,” kata Sudarto yang mengaku memegang paten teknologi itu. Media isolator adalah bahan untuk melapisi meja kristalisasi tanah pada proses pembuatan garam. Dengan begitu, diperoleh garam sesuai kebutuhan industri.
Masalah tanah
Deputi Bidang Teknologi dan Informasi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Listiani Dewi berpendapat, agar kualitas garam meningkat, petani harus mengintegrasikan lahannya hingga mencapai 400 hektar. Ini termasuk 305 hektar untuk evaporasi dan pembangunan pabrik, tempat pengolahan dan pengemasan hasil panen. ”Dengan demikian, petani tidak menjual garam kerosok. Melainkan garam untuk industri,” ujarnya.
Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Nusa Tenggara Barat (NTB) Lalu Hamdi meragukan strategi itu. Integrasi lahan selama ini terkendala masalah tanah. Di NTB, misalnya, terdapat potensi lahan garam hingga 10.000 ton.
”Untuk membuat lahan integrasi 15 hektar saja susah sekali. Lahan itu dimiliki 30-50 orang,” katanya saat berkunjung ke Cirebon.
Integrasi lahan menambah beban pikirannya yang sudah dipusingkan dengan anjloknya harga garam akibat ongkos angkut mahal.
”Kalau di Surabaya, dari harga garam Rp 1.000 per kg, petani kami hanya dapat Rp 300 per kg karena dipotong ongkos angkut. Seharusnya ada sistem logistik nasional, seperti memberikan subsidi ongkos angkut dari luar Jawa,” ujarnya.
Strategi mewujudkan ”emas putih”, menurut Agung, bisa ditempuh dengan diversifikasi olahan garam. Ia mencontohkan produksi garam spa di rumah produksi Rama Shinta di Kecamatan Gunung Jati, Cirebon. Garam spa dijual sekitar Rp 60.000 untuk setengah kilogram. Namun, bahan bakunya harus garam bersih, putih, dan kadar air rendah.
”Kami memproduksi dari tambak seluas 20 hektar. Setiap hari, produksi bisa 2,5 kuintal. Omzetnya Rp 30 juta-Rp 60 juta per bulan,” ujar Septi Ariyani, pemilik Rama Shinta, yang mengaku memulai usaha dengan modal Rp 250 juta.
”Lihat, bukan tak mungkin garam menjadi emas putih. Kami juga tengah bahas untuk memasukkan garam sebagai komoditas strategis dalam Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2015,” kata Agung.
Dengan regulasi itu, harga acuan garam ditetapkan sehingga kasus anjloknya harga garam dapat diantisipasi.
Sebagai komoditas yang diurusi oleh Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, serta KKP, persoalan garam di negeri maritim ini tidak pernah tuntas. Jangan sampai upaya untuk mewujudkan garam sebagai emas putih berakhir dengan bendera putih, menyerah.