Eyes on the Forest, koalisi organisasi masyarakat di Riau, meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan membuktikan komitmen penegakan hukum pidananya. Mereka mendesak agar sanksi pidana juga diberikan kepada korporasi kehutanan terkait kebakaran hutan dan lahan.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Eyes on the Forest, koalisi organisasi masyarakat di Riau, meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan membuktikan komitmen penegakan hukum pidananya. Mereka mendesak agar sanksi pidana juga diberikan kepada korporasi kehutanan terkait kebakaran hutan dan lahan. Sejauh ini penegakan hukum pidana baru berkutat pada perkebunan sawit.
Dalam laporan investigasi terbaru, Jumat (30/8/2019), di Jakarta, Eyes on the Forest (EoF) mengungkapkan pemantauannya pada periode Juli-Desember 2018 atas restorasi gambut yang dijalankan PT Sumatera Riang Lestari (SRL di blok Rupat dan Kubu), PT Satria Perkasa Agung (grup APP), PT Sakato Pratama Makmur (SPM distrik Humus dan Hampar), PT Bukit Batu Hutani Alam (BBHA Grup APP Sinar Mas), dan PT Rimba Rokan Perkasa (izin dicabut pemerintah dan pernah berafiliasi dengan APP Sinar Mas). Catatan mereka, SRL blok Rupat, SPM, dan BBHA pernah menjadi tersangka kasus kebakaran hutan dan lahan yang disidik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2013 dan 2014.
Pada tahun ini ataupun tahun sebelumnya, sejumlah konsesi ini juga kembali mengalami kebakaran. Terus berulangnya kebakaran hutan di areal konsesi tersebut, menurut EoF, sangat cukup menjadi dasar bagi KLHK untuk tak ragu memberikan sanksi pidana.
”Kami masih sangat menunggu karena sampai sekarang untuk (kebakaran di korporasi) kehutanan tidak ada yang dipidana sampai ke pengadilan,” kata Okto Yugo, Deputi Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), bagian dari koalisi Eyes on the Forest, Jumat.
Ia mengingatkan, pada 2013-2014 terdapat 5 perusahaan hutan tanaman industri (HTI) dan 5 perusahaan perkebunan sawit yang ditetapkan KLHK sebagai tersangka. Dari situ, hanya satu perusahaan perkebunan sawit PT Triomas FDI yang divonis denda Rp 1 miliar dan pemulihan Rp 12 miliar oleh PN Siak, Riau, tahun lalu.
Menanggapi tantangan EoF untuk menyidik pidana perusahaan kehutanan, Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK Rasio Ridho Sani menyebutkan, saat ini pihaknya sedang melakukan penyelidikan terhadap 24 perusahaan terkait kebakaran 2019 ini. ”Kami akan intensifkan pidananya untuk kebun ataupun HTI,” ujarnya.
Kami akan intensifkan pidananya untuk kebun ataupun HTI.
Menurut data Ditjen Penegakan Hukum, ke-24 perusahaan tersebut mencakup 13 perusahaan perkebunan sawit, 10 perusahaan HTI, dan satu perusahaan logging. Di Riau, di antaranya terdapat dua perusahaan HTI (PT RAPP dan PT SRL) dan dua perusahaan sawit (PT GSM dan PT TW).
Masih ditanami
Dalam laporan investigasinya, EoF menemukan sejumlah konsesi perusahaan yang terbakar pad 2015 telah ditanami akasia dan karet serta tidak menjalankan restorasi dengan baik. Menurut Okto Yugo, areal yang terbakar tersebut seharusnya direstorasi seperti yang diamanatkan Peraturan Menteri LHK Nomor 16 Tahun 2017.
EoF yang terdiri Jikalahari, WWF Indonesia, dan Walhi Riau tersebut juga mendesak agar KLHK meningatkan pengawasan dan pemantauan pelaksanaan restorasi pada konsesi. Prosesnya pun didesak agar transparan dengan mengungkapkan kinerja restorasi perusahaan.
Menanggapi laporan Eye on the Forest, dalam jawaban tertulis, Elim Sritaba, Direktur Sustainability APP Sinar Mas, menegaskan, APP Sinar Mas dan seluruh pemasoknya mematuhi seluruh peraturan terkait lahan gambut. Ia pun mengatakan, perusahaannya beroperasi sesuai dengan regulasi yang ada dan rencana kerja usaha (RKU) yang telah disetujui oleh pemerintah.
Ia pun mengingatkan APP memiliki Kebijakan Konservasi Hutan (FCP) yang menjadi dasar dalam menyusun dan menjalankan praktik-praktik terbaik untuk mengelola lahan gambut di seluruh area pasokan, baik yang dikelola oleh perusahaan-perusahaan APP Sinar Mas maupun rekan pemasok independen.
”Semua pemasok harus mematuhi kebijakan FCP dan dipantau secara berkala,” kata Elim. Sementara itu, dari pihak APRIL belum memberikan konfirmasi atas laporan EoF ini.