Meski telah 20 tahun tak lagi jadi bagian Indonesia, Dili, ibu kota Timor Leste, tidak terasa asing. Tak hanya menghibur, sinetron ternyata turut membentuknya.
Petang itu, Kamis (4/7/2019), Helio Freitas, rekan lama saat aktif di Institut Sosial Jakarta, sebuah lembaga kajian sosial, menyapa ramah. Kami bertemu di depan Hotel Timor yang berada di seberang pelabuhan utama kota itu. Setelah berbincang sesaat, ia mengajak bertandang ke rumahnya di bilangan Palapasu, Motael, Dili. Malam itu adalah pekan ketiga doa bagi ibu Ana Rosa da Costa e Sousa, mertua Helio, yang meninggal pada 17 Juni 2019.
Rangkaian doa itu merupakan bagian dari tradisi masyarakat Timor Leste untuk mengenang kerabat yang meninggal. Doa petang itu diawali lagu berbahasa Portugis—salah satu bahasa resmi, selain Tetun, yang digunakan di Timor Leste—berjudul ”Virgem Pura” atau ”Perawan Suci” dalam bahasa Indonesia. Setelah beberapa bait lagu dinyanyikan, doa dilanjutkan dengan Rosario dan litani dalam bahasa Tetun. Dan, yang menarik, rangkaian doa itu ditutup dengan lagu dalam bahasa Indonesia, ”Bunda Penolong Abadi”. Semua yang hadir menyanyikan lagu itu dengan fasih, baik anak-anak, remaja, dewasa, maupun orang tua. ”Kami masih hafal mati (betul), dan paham betul bahasa Indonesia,” kata kerabat Helio.
Anak-anak, tuturnya, mampu berbahasa Indonesia—meski tidak terlalu fasih sebagaimana mereka yang tua. ”Mereka belajar bahasa Indonesia lewat sinetron,” katanya.
Pengakuan itu juga muncul dari mulut Maxi, seorang pengemudi taksi yang pada Sabtu siang mengantar berkeliling Dili. ”Kami suka nonton sinetron Indonesia,” kata Maxi sambil menyebutkan salah satu judul sinetron yang ditayangkan salah satu televisi swasta nasional Indonesia.
Sinetron, sinetron, dan sinetron, adalah jawaban yang selalu disebut saat bertemu banyak warga Dili dari beragam latar belakang berbeda, termasuk pegawai, wartawan, dan pejabat tinggi Timor Leste.
Tak mengherankan, meski telah 20 tahun pasca-penentuan pendapat—dengan hasil Timor Leste berpisah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia—banyak anak muda yang lahir setelah tahun 2000 pun masih mampu berbahasa Indonesia.
Kemampuan itu—yang di antaranya diperoleh dari menonton sinetron—menjadi bekal saat mereka menempuh pendidikan lanjut di beberapa perguruan tinggi di Bali dan Surabaya. Oleh karena itu, tidak sulit untuk menemukan tempat tujuan, arah pulang, atau saat membutuhkan sesuatu di Dili.
Mempererat
Seorang pegawai Telkomcel, anak perusahaan Telkom di Dili, mengatakan, umumnya warga Timor Leste—khususnya di Dili—selain menggunakan bahasa Tetun dan bahasa Portugis sebagai bahasa resmi negara, juga menggunakan bahasa Indonesia. Apalagi, di Dili banyak toko, warung, atau rumah makan yang dikelola dan dimiliki oleh warga Indonesia. Soto dan nasi goreng, menurut dia, telah menjadi bagian dari keseharian warga kota Dili, sebagaimana sinetron dan bahasa Indonesia.
Menurut dia, bahasa dan makanan membuat Indonesia tidak menjadi asing bagi warga Dili, termasuk anak-anak.
Meskipun pernah melewati fragmen sejarah yang perih bagi warga kedua negara, kini perjumpaan sehari-hari lewat bahasa membuat relasi warga kedua bangsa menjadi akrab.
Dan, kembali ke rumah keluarga Helio, malam itu, setelah bait-bait lagu ”Bunda Penolong Abadi” seusai dinyanyikan, Helio mengajak bersantap malam. Salah satu menu utama yang malam itu disajikan adalah gado-gado. Ya, gado-gado, irisan aneka sayur, plus kentang, dan tahu bersaus kacang itu membuat suasana Palapasu tak ubahnya kota-kota lain di Nusantara.