Ajang berbagi ide dalam format gelar wicara, TEDxJakarta, kembali diadakan di Jakarta, Sabtu (31/8/2019). Ada 13 topik seputar persatuan bangsa. Topik tersebut dibahas dari berbagai perspektif, antara lain sejarah dan sosial.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ajang berbagi ide dalam format gelar wicara, TEDxJakarta, kembali diadakan di Jakarta, Sabtu (31/8/2019). Ada 13 topik seputar persatuan bangsa. Topik tersebut dibahas dari berbagai perspektif, antara lain sejarah dan sosial.
Ini adalah kali ke-14 TEDxJakarta diadakan selama 10 tahun terakhir. Tema yang diangkat kali ini ialah ”Ribut/Reboot”. Tema tersebut merupakan respons dari beragam isu yang riuh beredar di masyarakat seusai Pemilu 2019, baik kerusuhan Mei 2019 maupun ujaran bernada rasis yang menimpa warga Papua dan Papua Barat.
”Tema Ribut/Reboot itu mewakili semangat untuk move on (melewati) dari peristiwa politik yang baru terjadi. Keributan itu membuat kita mengabaikan suara lain yang seharusnya didengarkan,” kata organisator TEDxJakarta, Florentina Niradewi, melalui keterangan tertulis.
Sebanyak 10 pembicara akan hadir langsung dan membagikan pidato berdurasi sekitar 10 menit per orang. Para pembicara tersebut ialah wartawan Kompas Ahmad Arif, fotografer Erik Prasetya, sejarawan kuliner Fadly Rahman, pegiat konservasi Farwiza Farhan, politikus Grace Natalie, blogger perjalanan Kenny Santana, grup musik keroncong Keroncong Musyawarah, pengacara My-Lan Dodd, kelompok teater Teater Pandora, dan pendiri Indorelawan.org Widharmika Agung.
Adapun pidato sejumlah pembicara asing ditampilkan melalui tayangan video. Mereka adalah arsitek Rahul Mehrotra, co-founder Together We Build It Hajer Sharief, dan penulis Carole Cadwalladr. Acara ini dibagi menjadi tiga sesi. Ada 4-5 pembicara pada masing-masing sesi.
Pembicara pertama, Widharmika Agung, berpidato dengan judul Samaritan Matchmaker. Kata ”Samaritan” diambil dari kisah seorang Samaria baik hati yang menolong orang lain. Menurut dia, manusia pada dasarnya ialah makhluk sosial yang punya peran masing-masing di struktur sosial bermasyarakat, salah satunya peran untuk bergotong royong.
Ia mengatakan, gotong royong antarmasyarakat bisa merekatkan ikatan sosial. Ikatan itu yang kemudian menjaga kekeluargaan satu sama lain. Ikatan itu juga yang meminimalkan prasangka buruk dan intoleransi dengan masyarakat lain.
”Ketika menjadi relawan, misalnya, kita akan bertemu dengan banyak orang dari asal yang berbeda-beda. Ikatan yang kita punya dengan orang-orang itu membuat kita tidak gampang terhasut akan suatu isu. Sebab, kita sudah terlebih dahulu mengenal banyak orang dari beragam daerah yang melakukan kebaikan,” kata Widharmika.
Sejarawan Fadly Rahman berpidato dengan judul United in Diversoto. Ia menyampaikan pesan persatuan melalui sejarah soto. Ia menyebut soto sebagai kuliner Nusantara yang telah melalui proses asimilasi dan akulturasi.
Menurut literatur, soto pertama kali muncul pada abad ke-19 dengan bahan utama berupa babat sapi. Soto kala itu diasosiasikan sebagai makanan orang pribumi dan dianggap tidak higienis. Sebab, orang zaman dulu memakan soto dengan tangan. Orang Belanda pada zaman itu juga menganggap soto sebagai makanan ”kelas dua” karena terbuat dari jeroan, bukan daging.
Seiring berjalannya waktu, soto tercatat sebagai masakan khas Nusantara. Ini terbukti ketika resep soto dibukukan sebagai salah satu kuliner di buku Mustika Rasa, yakni buku resep keluaran pemerintah pada zaman Presiden Soekarno.
”Hingga kini ada 67 jenis soto di Indonesia. Soto telah berkembang di zaman sekarang. Walaupun jenisnya berbeda-beda, itu tetap soto. Seperti kita bangsa Indonesia yang berbeda-beda, tetapi tetap satu,” kata Fadly.