Pilihan Presiden Menentukan Masa Depan Pemberantasan Korupsi
Sejumlah kalangan meminta Presiden Joko Widodo untuk memilih calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang berintegritas. Saat ini semua bergantung pada presiden, mau atau tidak membangun KPK yang kredibel di mata publik. Pilihan presiden akan menentukan masa depan pemberantasan korupsi.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Sejumlah kalangan meminta Presiden Joko Widodo untuk memilih calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang berintegritas. Penentuan tersebut harus didasarkan pertimbangan yang matang dan tidak terburu-buru. Pilihan presiden akan menentukan masa depan pemberantasan korupsi.
Panitia seleksi (pansel) calon pimpinan (capim) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah merampungkan proses seleksi terhadap 20 orang yang berhasil masuk uji publik dan wawancara. Pansel akan menyerahkan sejumlah nama capim tersebut kepada Presiden Joko Widodo pada Senin (2/9/2019).
Selanjutnya, presiden akan memilih 10 dari 20 nama tersebut untuk dikirim ke DPR. Kemudian akan dipilih lima orang yang akan menjadi pimpinan KPK.
Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra kepada Kompas, Minggu (1/9/2019), mengatakan, penentuan 10 capim KPK yang akan dikirimkan ke DPR setidaknya perlu mempertimbangkan tiga hal.
“Presiden harus mengembalikan penilaian kepada tiga parameter, yaitu integritas, pengetahuan yang memadai, dan pengalaman. Jika tidak memenuhi kriteria, presiden harus mencoret nama capim itu,” kata dia.
Menurut Azyumardi, integritas bisa diukur salah satunya dari ketaatan dalam menyetorkan laporan harta kekayaan. Selain itu, capim juga tak boleh berurusan dengan pihak-pihak yang terlibat tindak pidana korupsi.
Capim KPK juga harus memahami ketentuan hukum serta delik pidana korupsi. Di samping itu pemahamannya soal sosiologi dan antropologi korupsi pun harus memadai.
"Soal pengalaman, capim KPK diharapkan telah matang berpengalaman dalam penindakan hukum," kata dia.
Azyumardi menambahkan, pilihan capim yang berintegritas tidak bisa ditawar. Bahkan, jika jumlah capim yang lolos kriteria kurang dari ketentuan untuk dikirim ke DPR, pencarian capim baru semestinya dilakukan. Baik dengan cara memberikan mandat baru maupun dengan merombak komposisi pansel.
Selain itu, penyebab kehadiran pansel yang tak sesuai kriteria juga hendaknya didalami. Hal itu bisa menandakan adanya kelalaian atau konflik kepentingan yang mendera pansel.
“Saat ini semua bergantung pada presiden, mau atau tidak membangun KPK yang kredibel di mata publik. Apalagi, berbagai penelitian di dalam dan luar negeri menunjukkan bahwa kinerja pemimpin negara sangat menentukan pemberantasan korupsi,” ujar Azyumardi.
Saat ini semua bergantung pada presiden, mau atau tidak membangun KPK yang kredibel di mata publik.
Secara terpisah, Ketua Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Oce Madril, mengatakan, sesuai Pasal 30 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, presiden memiliki waktu 14 hari kerja untuk meninjau kembali 20 capim yang diserahkan pansel.
“Dalam peninjauan ulang itu, presiden perlu mempertimbangkan kembali seluruh saran dan kritik dari masyarakat,” ujar Oce.
Sejauh ini, begitu banyak masukan baik dari masyarakat umum maupun internal KPK. Mereka menyoroti sejumlah hal, di antaranya latar belakang yang dianggap bermasalah dan proses seleksi yang tidak melibatkan masyarakat sipil.
Oleh karena itu, Oce berharap, presiden tidak terburu-buru membuat keputusan. Waktu 14 hari kerja harus dioptimalkan untuk mendapatkan keputusan yang tepat. Sebab, dampak dari keputusan yang bermasalah tentu akan menjadi beban tambahan bagi presiden.
Ahli hukum pidana Universitas Katolik Parahyangan Bandung Agustinus Pohan, menyampaikan, penentuan 10 capim KPK oleh presiden harus benar-benar memerhatikan suara publik. Hingga saat ini, perhatian dari publik hampir merata mulai dari kalangan umum, hingga tokoh nasional.
“Kami sangat berharap, presiden mendengar aspirasi masyarakat dan kalangan internal KPK karena lembaga itu perlu kekompakan untuk melanjutkan perjuangan memberantas korupsi,” ujar Agustinus.
Ia mengingatkan, upaya pemberantasan korupsi masih berat dan panjang. Jika diukur dari indeks persepsi korupsi (IPK) saja, Indonesia belum mencapai target skor yaitu 50. Berdasarkan rilis Transparency International, skor IPK Indonesia 2018 hanya 38, meningkat satu angka dibandingkan 2016 dan 2017, yaitu 37.
Upaya pemberantasan korupsi masih berat dan panjang...indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia belum mencapai target skor, yaitu 50.
Menurut Agustinus, pemberantasan korupsi merupakan kerja besar yang harus melibatkan seluruh pihak. Meski demikian, upaya membangun KPK sebagai lembaga yang kredibel merupakan salah satu faktor terpenting yang harus dimulai.