Pendekatan dialog yang bermartabat, saling menghormati, dan memanusiakan manusia diharapkan menjadi pilihan utama pemerintah dalam menangani persoalan di papua. Cara-cara militeristik sebaiknya dihindari guna mempercepat tercapainya perdamaian.
Oleh
Rini Kustiasih
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pendekatan dialog yang bermartabat, saling menghormati, dan memanusiakan manusia diharapkan menjadi pilihan utama pemerintah dalam menangani persoalan di papua. Cara-cara militeristik sebaiknya dihindari guna mempercepat tercapainya perdamaian.
Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Rumadi Ahmad, Minggu (1/9/2019), di Jakarta, mengatakan, cara-cara militeristik tidak bisa menyelesaikan persoalan Papua.
”Kekuatan senjata justru akan semakin mengeraskan Papua. Kalaupun senjata seolah bisa menenangkan Papua, itu hanya sementara saja. Perdamaian abadi di Papua hanya bisa dilakukan dengan cara-cara yang bermartabat, memanusiakan manusia, dialog dan cara-cara damai,” katanya.
Presiden RI ke-4 KH Abdurrahman Wahid pernah mencontohkan bagaimana memuliakan martabat kemanusiaan orang Papua. Gus Dur, misalnya, mengembalikan nama Papua dari Irian Jaya. Begitu pula bendera bintang kejora yang boleh dikibarkan sepanjang tingginya masih di bawah bendera Merah Putih.
”Pintu dialog harus dibuka secepatnya dan tidak hanya dilakukan oleh pemerintah, tetapi juga semua komponen bangsa digerakkan untuk melakukan dialog dan menciptakan saling pengertian,” katanya.
Apa yang terjadi di Papua sekarang ini, menurut Rumadi, sudah melebar ke mana-mana. Meski dipicu kasus di Surabaya dan Malang, Jawa Timur, disinyalir ada pihak-pihak tertentu yang ikut bermain untuk merusak Indonesia.
Pintu dialog harus dibuka secepatnya dan tidak hanya dilakukan oleh pemerintah, tetapi juga semua komponen bangsa digerakkan untuk melakukan dialog dan menciptakan saling pengertian. (Rumadi Ahmad)
Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Vidhyandika Djati Perkasa, mengatakan, sudut pandang pemerintah dalam mendekati persoalan Papua pun harus digeser, yakni dari yang semula hanya segi kesejahteraan dan ekonomi, kini harus pula mulai dilihat dari problem hak asasi manusia (HAM) dan politik.
”Problem HAM dan politik itu harus diakui pemerintah terjadi di Papua, dan ini bukan semata-mata soal kesejahteraan dan ekonomi. Apa yang terjadi di depan mata ini bukan soal ekonomi. Kalaupun yang jadi fokus ialah kesejahteraan, upaya pemerintah dalam mewujudkan itu juga belum berhasil, karena elite-elite tertentu yang menikmati, sementara ketimpangan antara pendatang dan orang Papua terus terjadi,” ungkap Vidhya.
Pendekatan dialog amat dibutuhkan untuk menempatkan Papua dalam narasi panjang perjalanan sejarah Indonesia. Dari segi pendidikan, misalnya, anak-anak muda Papua perlu mendapatkan narasi dan informasi memadai soal sejarah masuknya Papua sebagai bagian dari Indonesia, dan keberadaannya yang tak terpisahkan dari sejarah panjang bangsa ini. Dengan demikian, peristiwa yang terjadi di asrama-asrama mahasiswa Papua bisa dipahami sebagai luapan idealisme anak-anak muda dalam menyelami sejarahnya.
Penegakan hukum dalam kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM, menurut Vidhya, juga harus menjadi perhatian pemerintah. Pengadilan HAM perlu dibentuk untuk menyelesaikan persoalan-persoalan itu. Sebab, selama ini kasus-kasus belum sepenuhnya ditangani kendati ada komisi kebenaran dan rekonsiliasi. Peristiwa yang terjadi di Papua juga menjadi eskalasi dari rasa frustrasi yang tidak cukup diselesaikan dengan pendekatan ekonomi.