Biaya Pendidikan, Sandungan Masa Depan Anak
Tingginya biaya pendidikan menjadi penyebab utama anak-anak di Indonesia putus sekolah. Program bantuan pendidikan yang diberikan masih kurang efektif untuk menekan angka putus sekolah, baik di perdesaan maupun perkotaan.
Mahalnya biaya yang harus dikeluarkan untuk menempuh pendidikan dasar dan menengah masih dirasakan sebagian masyarakat. Hal ini terekam dalam Survei Sosial Ekonomi Nasional yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2017.
Menurut catatan BPS, faktor biaya menjadi penyebab utama anak usia 7-17 tahun putus sekolah. Dari 10 anak di Indonesia yang tidak merasakan bangku pendidikan, tiga orang di antaranya beralasan karena tidak memiliki biaya. Kondisi ini dialami anak usia sekolah baik di perdesaan maupun perkotaan. Di daerah perdesaan, sebanyak 33,41 persen anak usia sekolah tidak lagi melanjutkan pendidikan karena kendala biaya. Keadaan serupa juga dialami 29,66 persen anak-anak di perkotaan.
Menilik berdasarkan jenis kelamin, persentase anak laki-laki yang putus sekolah karena masalah biaya lebih besar dibandingkan dengan anak perempuan. Kondisi ini terjadi di daerah perkotaan maupun perdesaan. Pada daerah perkotaan, terdapat 30,96 persen anak laki-laki yang tidak lagi bersekolah karena alasan biaya. Persentase ini sedikit lebih besar dibandingkan dengan anak perempuan yang putus sekolah karena alasan yang sama (28,10 persen).
Kondisi serupa juga terjadi di perdesaan. Sebesar 34,21 persen anak laki-laki di daerah perdesaan tak lagi melanjutkan pendidikan karena hambatan biaya. Persentase ini juga sedikit lebih besar jika dibandingkan dengan anak perempuan yang tidak melanjutkan pendidikan sekolah dengan alasan serupa (32,34 persen).
Jika melihat berdasarkan sebaran provinsi, kendala biaya untuk melanjutkan sekolah dialami sebagian besar daerah di Indonesia bagian barat. Banten menjadi provinsi dengan persentase terbesar anak putus sekolah karena kendala biaya. Hampir separuh (49,63 persen) anak di Banten putus sekolah karena alasan ini.
Kondisi serupa juga terjadi di Jambi. Sebanyak 46,36 persen anak di provinsi itu tak lagi merasakan bangku sekolah karena persoalan biaya. Artinya, hampir separuh anak di provinsi itu juga mengalami kendala biaya untuk melanjutkan proses pendidikan berikutnya.
Jenjang pendidikan
Jika melihat lebih jauh berdasarkan angka putus sekolah, persentase anak putus sekolah di Indonesia memang terbilang kecil. Pada tahun 2017, angka putus sekolah di Indonesia adalah 1,17. Artinya, dari 100 anak di Indonesia, sekitar satu hingga dua di antaranya putus sekolah.
Meski kecil, angka putus sekolah ini tetap menjadi persoalan bagi masa depan Indonesia. Pasalnya, persoalan putus sekolah yang masih terjadi di perkotaan ataupun perdesaan ini tentunya akan berpengaruh pada kualitas sumber daya manusia di Indonesia. Pada daerah perdesaan, angka putus sekolah mencapai 1,43, lebih tinggi dibandingkan dengan angka putus sekolah di perkotaan sebesar 0,92.
Jika melihat berdasarkan jenjang pendidikan, angka putus sekolah tertinggi terjadi di jenjang pendidikan menengah atau setingkat SMA. Pada jenjang ini, angka putus sekolah mencapai 4,74, jauh lebih tinggi dibandingkan jenjang SD (0,32) dan SMP (1,54).
Angka putus sekolah tertinggi ada pada jenjang sekolah menengah di perdesaan, yaitu mencapai 6,01. Artinya, dari 100 anak, enam di antaranya putus sekolah. Angka putus sekolah ini lebih tinggi dibandingkan dengan di daerah perkotaan yang mencapai 3,85.
Pada jenjang pendidikan menengah, anak laki-laki di perdesaan mendominasi angka putus sekolah, yaitu mencapai 6,76. Angka putus sekolah ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan angka putus sekolah pada anak perempuan di perdesaan yang mencapai 5,33.
Tingginya angka putus sekolah pada jenjang pendidikan menengah sejalan dengan biaya pendidikan pada jenjang ini. Tingginya biaya pendidikan pada jenjang pendidikan menengah salah satunya dapat dilihat dari Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 69 Tahun 2009 tentang Standar Biaya Operasi Nonpersonalia.
Biaya operasional nonpersonalia adalah biaya yang meliputi keperluan kegiatan sekolah, seperti alat tulis, biaya pemeliharaan dan perbaikan ringan, biaya daya dan jasa, ataupun biaya konsumsi. Selain itu, juga ada biaya lainnya, seperti biaya asuransi, ekstrakurikuler, uji kompetensi, praktik kerja industri, dan biaya pelaporan.
Dalam aturan ini, biaya operasi nonpersonalia per sekolah pada jenjang pendidikan menengah lebih tinggi jika dibandingkan dengan pendidikan dasar. Pada jenjang pendidikan menengah, biaya operasi nonpersonalia tertinggi adalah pada tingkat pendidikan SMK dengan rata-rata di atas Rp 300.000 untuk tiap program keahlian dalam satu tahun. Bahkan, terdapat beberapa program dengan biaya operasi nonpersonalia yang mencapai Rp 400.000, seperti program keahlian teknis las, teknik pengecoran, dan geologi pertambangan.
Sementara pada jenjang SMA, biaya operasional nonpersonalia berada pada rentang Rp 184.320 hingga Rp 193.920. Biaya operasional ini lebih tinggi dibandingkan dengan pendidikan dasar, seperti pada jenjang SD (Rp 97.440) dan SMP (Rp 136.320).
Jika merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan, biaya nonpersonalia merupakan komponen yang ditanggung oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Namun, biaya ini bisa saja dibebankan pada peserta didik atau orangtua dari peserta didik, khususnya pada satuan pendidikan yang bukan pelaksana program wajib belajar. Dana itu juga bisa dibebankan kepada peserta didik atau orangtua jika diperlukan untuk menutupi kekurangan pendanaan dari satuan pendidikan, khususnya pada sekolah swasta.
Selain itu, terdapat beberapa komponen biaya lain yang juga dapat menjadi tanggung jawab peserta didik. Komponen biaya itu adalah biaya pribadi, biaya investasi, biaya personalia, dan biaya operasi tambahan.
Biaya investasi adalah bagian dari biaya penyelenggaraan atau pengelolaan pendidikan. Bagi sekolah negeri, biaya investasi termasuk komponen yang ditanggung pemerintah. Namun, biaya ini bisa dibebankan pada peserta didik, khususnya biaya investasi selain lahan untuk satuan pendidikan yang bukan pelaksana program wajib belajar.
Sementara biaya personalia adalah biaya yang dibutuhkan untuk beberapa komponen seperti gaji pegawai hingga tunjangan bagi guru. Bagi sekolah yang tidak diselenggarakan oleh pemerintah, biaya personalia juga dapat menjadi tanggung jawab penyelenggara pendidikan ataupun masyarakat.
Bantuan biaya
Untuk menekan biaya pendidikan, sejumlah program bantuan telah diberikan pemerintah. Salah satunya adalah bantuan operasional sekolah (BOS). Merujuk pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 3 Tahun 2019 tentang Petunjuk Teknis Bantuan Operasional Sekolah Reguler, terdapat beberapa tujuan pemanfaatan dana BOS.
Dalam aturan ini, dana BOS bertujuan untuk membantu pendanaan biaya operasi dan nonpersonalia sekolah. Dana BOS juga dapat digunakan untuk meringankan biaya operasi sekolah yang tidak diselenggarakan oleh pemerintah.
Besaran dana BOS yang diterima oleh setiap siswa dibedakan berdasarkan jenjang pendidikan. Pada jenjang pendidikan dasar, setiap siswa SD menerima bantuan Rp 800.000 per tahun. Sementara pada jenjang SMP, setiap siswa menerima bantuan Rp 1.000.000 per tahun.
Jumlah lebih besar diterima peserta didik jenjang pendidikan menengah. Setiap siswa SMA yang berhak akan menerima Rp 1,4 juta per setahun. Sementara pelajar SMK mendapat Rp 1,6 juta per tahun.
Selain BOS, juga ada program Kartu Indonesia Pintar. Program ini menyasar pelajar berusia 6-21 tahun yang termasuk ke dalam Program Indonesia Pintar (PIP). Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 12 Tahun 2015 tentang Program Indonesia Pintar, program ini antara lain digunakan untuk mencegah putus sekolah di Indonesia karena kesulitan ekonomi.
Pada program ini, besaran bantuan juga diberikan berdasarkan satuan pendidikan. Semakin tinggi jenjang pendidikan, akan semakin besar bantuan yang diterima. Pada jenjang sekolah dasar, bantuan yang diterima Rp 225.000 per semester untuk setiap siswa.
Sementara pada jenjang sekolah menengah pertama, bantuan yang diterima lebih besar, yaitu Rp 375.000 per semester. Jumlah yang lebih besar diterima oleh pelajar di jenjang pendidikan menengah, yaitu Rp 500.000 per semester. Hingga 2018 terdapat 18,7 juta anak Indonesia usia 6-21 tahun yang terdaftar dalam program ini. Jumlah ini melampaui target sebelumnya yang sebanyak 17,9 juta siswa dari berbagai jenjang pendidikan.
Meski demikian, program ini masih belum efektif untuk menekan angka putus sekolah di Indonesia. Hingga kini, setiap daerah di Indonesia masih belum terbebas dari persoalan putus sekolah, baik di Indonesia bagian barat maupun bagian timur.
Pendidikan bukan hanya etalase bagi anak bangsa. Dalam prosesnya, pendidikan merupakan tumpuan harapan bagi masa depan negeri ini. Terkait hal itu, dibutuhkan evaluasi secara menyeluruh untuk melihat efektivitas dari program bantuan dana pendidikan agar benar-benar dapat menekan angka putus sekolah di negeri ini. (Dedy Afrianto/Litbang Kompas)