Awalnya adalah sebuah kegundahan pada kondisi saat ini, ketika anak-anak susah terbebas dari gim di ponsel, enggan bergerak, termasuk perilaku tak menghormati lawan bicara, termasuk kepada orangtua.
Oleh
RENY SRI AYU / FINAL DAENG / FRANS PATI HERIN / AMBROSIUS HARTO
·4 menit baca
Tahun 2007, pada usia 34 tahun, Patola resah melihat petani kopi di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, terjerat tengkulak dan pengepul kopi. Kegundahan yang sama di lokasi lain memicu gerakan perubahan positif.
Kegundahan Patola meledak. Ia putuskan melepas pekerjaan mapan di perusahaan benih pertanian. Ia pulang kampung, kemudian mendirikan koperasi kopi dengan optimisme membawa perubahan nasib petani di kampungnya.
”Saya hanya ingin kopi Enrekang yang dulu berjaya dan menyejahterakan warga dapat diwariskan kepada generasi berikutnya,” ujar Patola (46), Senin (26/8/2019).
Sarjana pertanian itu memulai koperasi bernama Benteng Alla, nama desa di Kecamatan Baroko. Benteng Alla juga nama benteng pertahanan pada era Kerajaan Enrekang. Benteng terakhir pasukan Belanda karena ketangguhannya.
Maka, mulailah Koperasi Benteng Alla menghimpun petani sekaligus garda terdepan pemasaran. Targetnya, memangkas rantai niaga yang puluhan tahun mencekik petani dan seperti tak pernah berubah.
Bertahun-tahun para pengurus mencurahkan waktu, tenaga, dan materi untuk mewujudkan cita-cita mereka. Perlawanan balik sengit tengkulak dan pengepul diladeni meski harus menguras modal koperasi dan dana pribadi.
Enam tahun ”berperang”, koperasi akhirnya merebut kepercayaan dan dukungan petani. Itu setelah koperasi konsisten membeli kopi di atas harga tengkulak dan pengepul.
Tahun 2010, koperasi bekerja sama dengan pemasok kedai kopi berjejaring global. ”Tahun lalu, kami memasok 20 ton kopi untuk ekspor. Tahun ini target ekspor 50 ton,” ujarnya.
Saat ini, koperasi memiliki 2.792 mitra petani dengan omzet Rp 100 juta per bulan. Mitra juga dari sentra kopi kecamatan lain, seperti Bungin, Masalle, Buntu Batu, dan Baraka.
Selain kopi, koperasi juga mengembangkan peternakan kambing. Sebanyak 43 kambing diternakkan di kebun-kebun kopi. Selain menambah penghasilan petani, kotoran kambing juga dijadikan pupuk tanaman kopi.
Setahun terakhir, Yanuarius Poor, putra asli tanah Papua, bersama komunitas Orang Muda Katolik mengolah sebidang tanah liat menjadi kebun. Demi menyuburkan tanah, mereka mencari tanah bekas sarang burung maleo. Humus tanah dicampur kotoran sapi dan ayam ditabur di media tanah.
Biji tanaman tumbuh, nutrisi organik olahan sendiri ditambahkan. Batang pisang dan isi perut ikan dicampur lalu disimpan dalam wadah tertutup selama dua minggu. Pengetahuan itu didapat dari warga lokal yang biasa membudidayakan sayuran.
Pada panen sepekan lalu, kangkung dalam satu bedeng menghasilkan 40 ikat setara Rp 200.000. Masyarakat yang puas kini antre minta dilatih. ”Kangkungnya enak. Karena organik, jadi rasanya beda sekali,” kata Christina Sandry (38), pemilik warung makan di jalan lintas Bintuni-Manokwari, pelanggan sayuran dari komunitas itu.
Dimulai tahun lalu, gerakan menanam palawija menyebar dimotori pemuda. Kini, delapan kampung tergerak.
Menurut Pastor Paroki St Yohanes Bintuni, P Yohanes Damasenus Satu SVD, pembimbing para pemuda, selama ini masyarakat dimanjakan alam yang kaya dan bantuan pemerintah. Mereka minim inisiatif. Uang habis, termasuk untuk membeli sayur yang bisa ditanam sendiri.
Yoseph Dian, Staf Ahli Bidang Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Teluk Bintuni, mengatakan, pemerintah daerah mencatat kemajuan berarti dalam gerakan itu. ”Di delapan kampung itu, penghematan belanja sayuran sebulan sekitar Rp 20 juta,” katanya. Pemda siap memperbesar gerakan itu.
Kampung Lali Gadget
Di Desa Pagerngumbuk, sekitar 5 kilometer dari pusat kota Sidoarjo, Jawa Timur, setahun lalu muncul gerakan Kampung Lali Gadget (KLG). ”Kami bukan anti-gadget (gawai),” kata inisiator gerakan, Achmad Irfandi (26).
Kampung Lali Gadget mengajak anak-anak melupakan sejenak sihir gawai. Mereka diajak bersosialisasi, olah rasa, olahraga, dan gembira bersama. Aktivitas luar ruang itu digelar minimal 6 jam setiap sesi. Akhir September 2019, sesi ketujuh akan digelar.
Dengan keberanian, ketulusan, optimisme, dan kolaborasi, serta adaptasi pada zaman, perubahan di perdesaan bukan hal yang tak mungkin.
Dimulai Mei 2018, setiap kali digelar, sekitar 200 anak dari sejumlah desa berkumpul. Di halaman rumah orangtua Irfandi, ada gubuk baca, peralatan permainan tradisional, perangkat gamelan anak, dan papan panjat dinding. Sebagian peralatan sumbangan warga. Di sana, anak-anak bisa membaca, berolahraga, menyanyi, bermain, atau mendengar dongeng. Semua itu terorganisasi dan didampingi muda-mudi.
Awalnya adalah sebuah kegundahan pada kondisi saat ini, ketika anak-anak susah terbebas dari gim di ponsel, enggan bergerak, termasuk perilaku tak menghormati lawan bicara, termasuk kepada orangtua. Kondisi itulah yang dilawan.
Tak lama setelah Kampung Lali Gadget, digagas pula gerakan Kampung Layak Gadget, yang mengajak warga produktif menggunakan gawai dan berbagai aplikasi di dalamnya. Bagaimanapun, internet juga memiliki sisi positif yang luar biasa berguna.
”Kami sedang menginisiasi pembentukan Yayasan KLG Indonesia,” ujar Irfandi yang sedang menyelesaikan tesis S-2 di Universitas Negeri Surabaya. Yayasan diperlukan agar gerakan lebih rapi dan layak administratif. Salah satu perusahaan BUMN berminat bergabung dan membantu memperluas dampak gerakan sosial itu.
Dari dulu hingga kini, masalah di desa-desa tidak pernah pupus. Namun, tidak sedikit anak-anak muda membawa kisah manis. Dengan keberanian, ketulusan, optimisme, dan kolaborasi, serta adaptasi pada zaman, perubahan di perdesaan bukan hal yang tak mungkin. Dan, sebagian besar dipicu oleh kegelisahaan anak muda pada kondisi sekitar.