Beberapa tahun terakhir, anak-anak muda di Kabupaten Tulang Bawang Barat, Lampung, bergerilya menampilkan karya seni. Mereka berupaya menyalakan denyut seni sampai ke pelosok-pelosok desa.
Oleh
VINA OKTAVIA
·4 menit baca
Beberapa tahun terakhir, anak-anak muda di Kabupaten Tulang Bawang Barat, Lampung, bergerilya menampilkan karya seni. Mereka menari, melukis, dan tampil di panggung teater demi menyalakan denyut seni sampai ke pelosok-pelosok desa.
Sekelompok remaja sibuk berdandan di belakang panggung teater Gedung Sesat Agung, Kabupaten Tulang Bawang Barat (Tubaba), Kamis (29/8/2019) malam. Ada remaja yang sedang memakai sarung dan daster. Ada juga yang sibuk merias wajah menyerupai orang tua.
Salah satunya adalah Rizki Ayu Kusuma (15), siswa SMK Muhammadiyah Kecamatan Lambu Kibang. Berperan sebagai tokoh utama dalam lakon berjudul ”Bulan dan Kerupuk”, remaja putri itu ingin tampil paripurna. Sesekali, dia memandangi lagi wajahnya di kaca, lalu merapal skenario yang akan diucapkan sebelum tampil 30 menit lagi. ”Ini pentas pertama saya, rasanya agak deg-degan,” ujar Rizki.
Penampilan Rizki dan teman-temannya mampu membius sekaligus menghibur penonton. Tepuk tangan pun bergemuruh di akhir pertunjukan.
Demi tampil hari itu, dia bersama 25 temannya rela naik truk untuk sampai ke Panagaran, ibu kota Kabupaten Tubaba. Mereka menempuh jarak sekitar 50 kilometer dalam 2 jam perjalanan. Truk dipilih karena selain lebih murah juga tak banyak pilihan angkutan yang bisa disewa di daerah pelosok itu.
Tak lama, lampu ruang pementasan menyala. Lakon yang menceritakan kisah keluarga miskin yang bermimpi menjadi orang kaya itu dihadirkan selama sekitar 50 menit. Penampilan Rizki dan teman-temannya mampu membius sekaligus menghibur penonton. Tepuk tangan pun bergemuruh di akhir pertunjukan.
Selain pentas teater, anak-anak lain juga tampil bermain musik dan menari. Ada juga pameran seni rupa yang menampilkan karya 25 anak berusia 6-16 tahun. Setiap anak tampil dengan karyanya masing-masing.
Festival Tubaba bertema ”Dari Masa Depan” memang memanggungkan anak-anak dan remaja yang telah ditempa dan dilatih selama dua bulan terakhir. Bahkan, banyak juga anak-anak yang sudah berlatih lebih dari setahun. Mereka menampilkan pertunjukan tentang harapan bagi pembangunan kabupaten yang baru berusia satu dasawarsa itu.
Bagi Najwa Nabila Salma (17), hidupnya atmosfer seni budaya di Tubaba memberikan ruang bagi anak muda untuk berekspresi. Siswa SMA Negeri Tumijajar itu mengaku bangga bisa menjadi sutradara untuk lakon ”Ayahku Pulang”. Najwa mengaku ini merupakan pengalaman pertamanya menjadi sutradara teater.
”Banyak yang harus aku pikirin, mulai dari memastikan semua aktor siap tampil hingga memastikan tim musik dan pencahayaan. Cukup rumit, tetapi menyenangkan,” katanya.
Semua orang bisa belajar tanpa batasan usia. Anak-anak, remaja, hingga guru bisa bergabung di sekolah seni itu.
Direktur Festival Tubaba Semi Ikrar Anggara menuturkan, pelatihan seni budaya di Tubaba sudah dilakukan selama empat tahun terakhir. Saat ini, sudah ada sekitar 1.000 anak-anak muda yang dilatih berkesenian. Mereka berasal dari berbagai sekolah dan desa di Tubaba.
Semi, seniman dari Studio Hanafi, sudah empat tahun menetap di Tubaba. Dia menjadi pengajar seni budaya untuk anak-anak di kabupaten itu. Kegiatan berkesenian diajarkan melalui kelompok-kelompok kecil di desa-desa dan kelurahan.
Tahun ini, Semi yang bekerja sama dengan Pemkab Tubaba juga mendirikan Sekolah Seni Tubaba sebagai tempat belajar seni budaya bagi masyarakat di sana. Semua orang bisa belajar tanpa batasan usia. Anak-anak, remaja, hingga guru bisa bergabung di sekolah seni itu.
Upaya menghidupkan seni budaya di Tubaba bukan tanpa alasan. Sebagai kawasan transmigrasi, sekitar 80 persen penduduk kabupaten itu berasal dari Jawa dan Bali. Masyarakat di sana banyak menggantungkan hidup dari bertani dan berkebun karet. Sayangnya, banyak penduduk yang meninggalkan Tubaba demi mencari penghidupan lebih baik dan jarang yang kembali menetap di sana.
Bupati Tubaba Umar Ahmad menuturkan, selama ini, Tubaba juga bukan menjadi daerah tujuan wisata. Tidak banyak sumber daya alam tersedia di daerah seluas 1.200 kilometer persegi dengan jumlah penduduk 300.000 jiwa itu. Tak ada pantai atau pegunungan yang bisa dikelola sebagai obyek wisata.
Karena itu, seni budaya menjadi tonggak awal untuk mengubah daerah itu agar warganya bangga dan mau tinggal membangun daerah. Penanda kota dibangun juga untuk menjadikan Tubaba sebagai kawasan seni budaya.
Salah satunya adalah pembangunan Gedung Sesat Agung yang bentuk atapnya menyerupai gabungan sejumlah rumah tradisional. Hal itu melambangkan keterbukaan masyarakat Lampung menerima warga transmigran. Ornamen atap gedung menggunakan aksara Lampung.
Di sebelah balai adat terdapat Masjid Baitus Shobur. Masjid yang diresmikan pada 11 Oktober 2016 itu tidak menggunakan atap kubah bulat seperti kebanyakan masjid. Arsitek Andra Matin memasukkan semua penanda Islam di dalam desain masjid. Bentuk segi lima bangunan masjid menggambarkan waktu salat lima waktu. Langit-langit masjid berbahan logam, dihiasi ukiran tulisan Arab berisi 99 nama mulia Tuhan atau asmaul husna.
Di Tubaba juga terdapat rumah baduy yang dibangun langsung oleh masyarakat Baduy Luar pada 2018. Pembangunan rumah adat itu diharapkan bisa mengadopsi kearifan lokal adat Baduy. Tak jauh dari situ juga terdapat relief patung Megou Pak sebagai simbol empat marga adat yang ada di Tubaba.
Kini, bangunan-bangunan itu tidak sekadar menjadi penanda kota, tetapi juga kawasan wisata. Di bangunan itu pula, anak-anak diberikan ruang untuk berekspresi dan menampilkan karyanya.