Ketika Pertarungan Politik di Pusat Berimbas ke Papua
Kejadian di Papua ini mengingatkan penulis saat berkunjung ke Tobelo dan Morotai di Halmahera Utara pada 2009. Dalam perbincangan dengan warga setempat, mereka memandang bahwa kerusuhan komunal yang pernah terjadi di Maluku Utara adalah imbas permainan politik di Pusat (Jakarta).
Oleh
Iwan Santosa
·4 menit baca
Serangkaian peristiwa terjadi pasca-Pemilu 2019 dan seusai pertemuan Presiden Joko Widodo dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto di MRT Jakarta. Beberapa di antaranya menimbulkan kehebohan, mulai dari kasus amblasnya saldo Bank Mandiri, padamnya listrik PLN nsecara mendadak dan lumpuhnya saluran telekomunikasi di sebagian wilayah Jakarta dan Pulau Jawa, serta kerusuhan di Papua sejak tanggal 19 Agustus 2019.
Kerusuhan terjadi di beberapa kota, menyusul kedatangan beberapa ormas ke Asrama Papua di Surabaya setelah mendengar informasi bendera Merah Putih yang terpasang di tiang dipatahkan orang tidak dikenal.
Massa beratribut ormas dikabarkan mendatangi asrama Papua. Terjadi insiden umpatan kasar berbau rasisme terhadap warga Surabaya asal Papua yang menghuni asrama tersebut.
Dadu bergulir, pada Senin (19/8/2019) mulai terjadi kerusuhan di Papua yang berlanjut hingga hari-hari selanjutnya. Yang perlu dicermati dalam kerusuhan di Jayapura pada Kamis (29/8), ada pemotongan kabel serat optik oleh orang tidak dikenal.
Kejadian di Papua ini mengingatkan penulis saat berkunjung ke Tobelo dan Morotai di Halmahera Utara pada 2009. Dalam perbincangan dengan warga setempat, mereka memandang bahwa kerusuhan komunal yang pernah terjadi di Maluku Utara adalah imbas permainan politik di Pusat (Jakarta). Saat itu, penulis berbincang dengan warga Tobelo dan Morotai dari komunitas Muslim dan Nasrani.
”Awalnya kita tidak sadar. Belakangan setelah semua hancur, warga mulai sadar kita diadu domba. Ini, kan, yang bertarung di pusat,” kata Abdul Halil, salah seorang warga yang ditemui saat itu.
Kembali ke Papua, sejumlah pola dalam kerusuhan yang terjadi mirip dengan kerusuhan di Aceh, Timor Timur, dan Maluku dalam kurun 1999-2002. Semisal kasus pemotongan kabel fiber optik dan beberapa infrastruktur yang mengingatkan pada peristiwa pemotongan-pemotongan menara listrik PLN di pesisir timur Nanggroe Aceh Darussalam.
”Saya ditawari seorang tokoh ormas yang pernah aktif di Timtim semasa jajak pendapat untuk bantu operasi di Aceh. Tapi, operasinya, kok, malah merugikan kepentingan masyarakat kampung halaman saya,” kata Zain, bukan nama asli, seorang pemuda Aceh di Jakarta yang mendapat tawaran tersebut.
Persoalan di Pusat
Konsultan keamanan dan antikekerasan, Alto Luger, mengingatkan, kasus kekerasan di Papua adalah dampak dari pertarungan politik di pusat pemerintahan. Gejala kekerasan yang terjadi di Papua mirip polanya dengan kejadian kerusuhan dan bentrokan horizontal di daerah pada masa awal Reformasi. Alto Luger pernah lama bekerja di sejumlah proyek keamanan di Irak, Yaman, dan Afghanistan. Ia kini membantu Mabes Polri untuk proyek counter violent extremism di Jawa.
”Ini sampai menjelang pelantikan presiden tanggal 20 Oktober 2019, berbagai jenis gangguan akan timbul dan menggoyang pemerintah. Ada berbagai tujuan, untuk posisi tawar, hingga membahayakan pemerintah dan negara sendiri,” kata Luger yang berasal dari Maluku Tenggara.
Menurut Alto Luger, pola kerusuhan ini adalah pola lama yang tentu di belakangnya adalah orang-orang lama pada masa akhir Orde Baru dan awal tahun 2000-an yang masih memiliki sumber daya keuangan dan jaringan yang kuat.
Kecurigaan adanya intervensi pihak asing, bagi Alto Luger, adalah ekses yang akan mengikuti jika kerusuhan tersebut berlanjut dan mengganggu stabilitas dalam skala besar. Dengan demikian, pihak asing akan menghitung langkah yang harus dilakukan menyikapi gejolak yang terjadi.
”Presiden Joko Widodo harus menegaskan posisinya dalam melayani Papua, yakni terputus dari jaringan kekerasan di masa lalu yang memperlakukan Papua dalam posisi marjinal. Presiden Joko Widodo punya niat baik dan ketulusan yang harus diterjemahkan menjadi sebuah dialog damai yang menyeluruh dengan kesetaraan,” tutur Alto Luger.
Penanganan Papua tidak bisa melompat langsung ke langkah mediasi dengan elite Papua jika tahap pertama, yakni berdialog dengan para korban dan rakyat kecil yang terdampak kekerasan dan perlakuan tidak adil sejak 1960-an, tidak dilakukan. Pemerintah, lanjut Alto Luger, juga harus mempertimbangkan mengirim lulusan terbaik dari berbagai bidang kedinasan untuk membangun Papua.
Terpisah, peneliti LIPI yang menjadi utusan untuk Papua, Adriana Elisabeth, mengingatkan, pentingnya dialog sebagai langkah pertama menyelesaikan masalah masa lampau dan kerusuhan yang baru saja terjadi sebagai imbas perlakuan rasisme di Surabaya dan Malang.
Dia memuji langkah Menko Polhukam Wiranto yang membuka dialog dengan para tokoh Papua. Demikian juga langkah persuasif Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto dan Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian yang dalam kunjungan di Papua pekan lalu juga mengundang dialog untuk membangun perdamaian di Papua.
”Pendekatannya dengan cara pandang Papua. Tidak bisa ukuran kita di Jakarta dan di Jawa sebagai ukuran pendekatan di Papua. Masyarakat Papua sangat menghargai jika mereka didengar dalam semangat kesetaraan,” kata Adriana.
Derwes Jikwa, juru bicara Pemkab Tolikara, berharap Papua segera pulih. Menurut dia, penting sekali pemerintah pusat memahami Papua dari sudut pandang Papua, terutama soal kesempatan membangun kesetaraan hak-hak masyarakat asli dan menjaga budaya Papua. Hal penting lain, menurut Derwes yang dihubungi melalui saluran telepon, adalah tradisi gereja yang menjadi inti dan pengikat identitas kultural Papua di dalam rumah kebangsaan Indonesia.