Membumikan Multiliterasi ke Akar Rumput
Literasi mencakup calistung hingga kesadaran berkebudayaan. Para pegiat literasi menerjemahkan konsep multiliterasi ini sesuai kebutuhan masyarakat.
JAKARTA, KOMPAS — Literasi kini tidak hanya mencakup membaca, menulis, dan berhitung. Semenjak tahun 2015, Forum Ekonomi Dunia mengenalkan literasi finansial, digital, dan kesadaran berkebudayaan serta berkewarganegaraan. Konsep ini harus dibumikan agar bisa menyamakan persepsi dengan masyarakat akar rumput.
"Dalam beberapa kasus di lapangan, literasi finansial dulu yang dibangun. Setelah itu baru pelan-pelan masuk ke keterampilan teknis membaca, menulis, berhitung, dan melek digital," kata pegiat literasi Komang Sukayasa dari Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat Widya Santi Mandiri di Karangasem, Bali, saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (1/9/2019).
Komang mendampingi dua desa yang dikenal sebagai sumber pengemis di Pulau Dewata, yaitu desa Banjar Pedahan dan Banjar Mungki. Ia mengungkapkan, menjadi pengemis di kota dan obyek-obyek pariwisata adalah pekerjaan turun-temurun warga desa. Alasannya karena pendapatannya lebih besar dibandingkan menjadi buruh lepas.
Sebagai gambaran, menjadi buruh lepas hanya bisa memperoleh upah Rp 50.000 per hari, sedangkan apabila ibu dan anak-anak mengemis di tempat-tempat strategis, satu keluarga bisa mendapat Rp 200.000 hingga Rp 300.000 per hari. Hal ini pula yang mengakibatkan angka pernikahan anak juga tinggi karena orangtua menganggap anak tidak perlu bersekolah.
"Kami bekerja sama dengan dinas sosial mengadakan pelatihan menganyam daun lontar untuk menjadi berbagai kriya. Awalnya susah sekali mengajak warga bergabung," tutur Komang. Warga menilai menganyam lontar melelahkan karena harus belajar keterampilan hingga rapi, berjualan, baru memperoleh uang. Prosesnya lebih rumit daripada mengemis.
Kami bekerja sama dengan dinas sosial mengadakan pelatihan menganyam daun lontar untuk menjadi berbagai kriya. Awalnya susah sekali mengajak warga bergabung.
Setelah hasil kriya itu dipasarkan, ternyata laku dijual dengan kisaran harga Rp 7.000 hingga Rp 50.000 tergantung ukuran dan kerumitan desain. Pembelinya juga mulai stabil. Baru warga mulai banyak berminat mengikuti pendampingan dari PKBM Widya Santi Mandiri. Butuh sembilan tahun bagi Komang untuk melakukan pendekatan tersebut.
Dari penjualan itu warga diajar mengenai literasi finansial, yaitu cara mengelola keuangan agar bisa ditabung dan membiayai keluarga. Pada kesempatan yang sama, Komang dan tim menyisipkan pelajaran membaca, menulis, dan berhitung sehingga warga kini tidak buta aksara. Bahkan, kini anak-anaknya sudah kembali ke sekolah.
"Untuk anak-anak meskipun mereka pagi hingga siang hari sekolah di SD dan SMP tetap ada pendampingan. Petang hari mereka belajar menulis aksara Bali di daun lontar," kata Komang. Pendekatan ini adalah strategi untuk literasi budaya dan kewarganegaraan guna memutus persepsi bahwa mengemis adalah budaya leluhur mereka.
Pusaka
Sementara itu, Yayasan Lasem Heritage di Rembang, Jawa Tengah, memakai literasi budaya dan kewarganegaraan untuk masuk ke literasi lainnya. Salah satu pendiri yayasan, Baskoro BD, mengatakan bahwa selama setidaknya satu dekade terakhir masyarakat mengalami amnesia budaya. Oleh sebab itu, sejak tahun 2012 yayasan menerapkan pelestarian budaya, saujana, dan alam.
"Aspek yang tengah fokus ditonjolkan adalah Lasem sebagai kota toleransi mengingat sejarahnya yang kaya interaksi berbagai budaya, ras, dan agama," ucapnya. Program ini bersinergi dengan Pesantren Al-Hidayat.
Selama tujuh tahun, yayasan kerap mengadakan berbagai kegiatan, mulai dari kelas pengenalan pusaka dan lomba memotret cagar budaya. Menurut Baskoro, mereka menyelaraskan kegiatan dengan misi Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan yang menekankan pentingnya pelestarian artefak kebudayaan dan tradisi berbasis masyarakat.
Di saat yang sama, masyarakat mempelajari semua aspek budaya Lasem. Mereka kemudian bisa memilih aspek positif yang layak dilestarikan dan akan selalu relevan sebagai identitas Lasem mengikuti perkembangan zaman. Aspek-aspek yang negatif bisa dipelajari juga untuk mengembangkan wawasan, namun tidak dipraktikkan.
"Dari kegiatan memotret cagar budaya yang kemudian diunggah ke media sosial juga bisa memunculkan diskusi bergulir mengenai alasan tempat itu layak dijadikan cagar, upaya pelestarian, dan minat untuk memanfaatkannya," tutur Baskoro.
Ia menerangkan, secara halus metode ini mengajarkan kepada masyarakat pemanfaatan media sosial untuk hal bermanfaat. Unggahan-unggahan yang diproduksi tidak jauh-jauh dari sejarah dan tradisi Lasem.
Secara halus metode ini mengajarkan kepada masyarakat pemanfaatan media sosial untuk hal bermanfaat.
Sementara itu, di Desa Titosuworo, Kecamata Giriwoyo, Wonogiri, Jawa Tengah, Wahyudi mendirikan Rumah Baca Sang Petualang untuk tempat belajar semua anggota masyarakat. Relawannya mayoritas hanya tamatan SMP, termasuk Wahyudi.
"Kami bekerja sama dengan sekolah-sekolah untuk meningkatkan minat baca masyarakat, terutama anak-anak," ucapnya.
Di rumah baca itu juga dipasang internet nirkabel agar siswa bisa mengerjakan tugas sekolah. Mereka didampingi relawan ketika mengakses internet. Menurut Wahyudi, siswa mayoritas mengakses blog pribadi milik guru-guru sekolah yang berisi mengenai penjelasan pelajaran. Di saat yang sama, para relawan juga ikut menambah wawasan.