Mewujudkan Kehadiran Negara bagi Korban Kekerasan Seksual
Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sangatlah penting. Sebab, RUU itu merupakan bentuk hadirnya negara dalam penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, mengingat korban kekerasan seksual tertinggi adalah perempuan.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·5 menit baca
Para aktivis organisasi yang bergerak dalam isu perempuan dan anak, disabilitas, serta hak asasi manusia tak berhenti menyuarakan harapan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah untuk menyelesaikan pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, kemudian mengesahkan sebagai undang-undang. Kehadiran UU yang mengatur perlindungan bagi korban dan pemidanaan bagi pelaku sungguh-sungguh dinantikan.
Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sangatlah penting. Sebab, RUU yang belakangan diusulkan tim Panitia Kerja (Panja) Pemerintah dengan judul RUU Penghapusan Tindak Pidana Kekerasan Seksual sesungguhnya merupakan bentuk hadirnya negara dalam penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, mengingat korban kekerasan seksual tertinggi adalah perempuan.
Mewujudkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sejalan dengan mandat dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, yakni memperkuat kehadiran negara dalam melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan tepercaya. Agenda khusus RPJMN tersebut adalah melindungi anak, perempuan, dan kelompok marjinal, antara lain dengan memperkuat sistem perlindungan anak dan perempuan dari berbagai tindak kekerasan.
”Kehadiran RUU Penghapusan Tindak Pidana Kekerasan Seksual diharapkan dapat mengubah perubahan paradigma masyarakat sehingga terjadi zero tolerance bagi kekerasan seksual,” ujar Ketua Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Azriana Manalu bersama dua komisioner Komnas Perempuan, Sri Nurherwati dan Masruchah, Jumat (30/8/2019).
Karena itulah, kendati rapat pertama Panja DPR untuk RUU Penghapusan Kekerasan Seksual pada 26 Agustus 2019 batal dilaksanakan DPR, Komnas Perempuan tetap menaruh harapan besar terhadap para wakil rakyat. Mereka mendukung para anggota Panja DPR untuk RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang tetap berkomitmen membahas dan mengesahkan RUU tersebut menjadi UU, sesuai dengan jadwal yang ditetapkan, 25 September 2019.
Muatan inti RUU
Namun, Komnas Perempuan mempertanyakan perkembangan pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM) di tingkat Panja DPR yang cenderung mengarahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual untuk mengatur hal-hal yang bersifat administratif, bukan mengatur kekhususan jenis kekerasan seksual dan hukum acara penanganan korban kekerasan seksual. Padahal, kedua hal tersebut merupakan inti RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan tidak dapat diatur dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP).
”Tanpa muatan jenis delik kekerasan seksual, pemidanaan, dan hukum acara khusus, RUU tersebut akan menjadi UU yang tidak memiliki kedayagunaan melawan kekerasan seksual sebagai kejahatan kemanusiaan,” kata Sri Nurherwati.
Sebab, berdasarkan pengalaman organisasi-organisasi perempuan selama ini dalam mendampingi dan mengadvokasi korban-korban kekerasan seksual, tidak adanya pengaturan khusus tentang jenis-jenis kekerasan seksual membuat akses korban untuk mendapat keadilan terhambat.
Itu berarti, pengaturan khusus atas jenis kekerasan seksual yang terdapat dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual akan sangat membantu korban dan aparatur penegak hukum untuk memproses kasus yang selama ini tidak diakomodasi dalam hukum positif.
Begitu juga dengan pengaturan khusus terkait penyidikan, penuntutan, dan persidangan di pengadilan, sangat penting diatur dalam RUU tersebut. Sebab, aturan tersebut akan menjamin korban tidak direviktimisasi dan korban dapat memberikan keterangan dengan jelas sehingga akan membantu negara menyelesaikan kekerasan seksual yang dialaminya.
Karena itulah, DPR diharapkan mempertahankan muatan pengaturan pemidanaan pelaku dan pengaturan pelindungan terhadap korban melalui pengaturan perlindungan hak dan hukum acara khusus dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Komnas Perempuan pesimistis, jika arah muatan RUU diubah menjadi hukum administratif, RUU tersebut tidak akan mampu menjawab akar persoalan yang melatarbelakangi perumusan RUU. Tujuan perumusan RUU tersebut juga tidak akan tercapai.
Melihat kondisi tersebut, seharusnya DPR memprioritaskan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tanpa tersandera dengan RKUHP.
Sulistyowati Irianto, Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia, melihat RKUHP ibarat membawa gerbong yang sangat besar karena kompilasi dari segala tindak pidana ingin dicakup di dalamnya.
Selain itu, berbagai pasal dalam RKUHP, terutama karena mencantumkan ”hukum yang hidup” banyak mendapat respons keberatan dari gerakan masyarakat sipil karena dipandang akan berpotensi mengkriminalisasi kelompok perempuan yang tidak beruntung dan kelompok minoritas agama lokal. ”Singkat kata, RKUHP merupakan RUU yang amat besar dan luas,” kata Sulistyowati.
Hal itu berbeda dengan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Sebab, dari sisi perspektif korban perempuan dan anak, RUU tersebut sangat dibutuhkan karena mengatur secara rinci, bahkan mengatur secara khusus soal esensi pengertian kekerasan seksual, cakupannya, dampak tindakan terhadap korban, serta sanksi terhadap pelaku.
”Fakta sosial yang melatarbelakangi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual adalah urgensi dari kasus-kasus kekerasan seksual yang sangat tinggi. Setiap 30 menit terdapat dua kasus kekerasan seksual dan dampak terhadap korban serta merampas hak akan rasa aman di rumah, tempat kerja, dan ruang publik. Di banyak negara, saat hak asasi dan hak asasi perempuan sangat dihormati, UU Penghapusan Kekerasan Seksual sudah ada,” kata Sulistyowati.
Jalan keluar untuk melindungi perempuan
Selain mewujudkan kehadiran negara bagi korban kekerasan seksual, pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual juga akan memberikan jalan keluar untuk perlindungan perempuan sekaligus menjawab rasa keadilan di masyarakat.
Bagi organisasi lembaga keumatan, seperti Pimpinan Pusat (PP) Fatayat Nadlatul Ulama (NU), RUU Penghapusan Kekerasan Seksual mendesak disahkan karena RUU tersebut memenuhi beberapa unsur. Misalnya, perluasan definisi kekerasan seksual yang tidak hanya melulu terjadinya hubungan intim, tetapi juga perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, atau perbuatan lainnya terhadap tubuh seseorang.
Begitu juga perluasan bentuk dan jenis kekerasan seksual dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang mengatur sembilan jenis, yakni pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, pemerkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.
”Banyak kasus kekerasan seksual pada perempuan belum optimal ditangani. Hal itu tecermin dari meluasnya bentuk, varian, dan jenis kasus kekerasan yang sering kali kehilangan roh di mata hukum sehingga sulit mendapatkan akses keadilan,” kata Ketua Umum PP Fatayat NU Anggia Ermarini.
Karena itu, pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi UU yang akan mewujudkan kehadiran negara bagi para korban kekerasan seksual menjadi asa yang tak pernah putus, di tengah situasi dan kondisi Indonesia yang masih kuat dengan budaya patriarki.