Pekan terakhir Agustus 2019, membuktikan kerasnya Hong Kong. Perkubuan semakin tegas, penduduk dan politisi Hong Kong berhadapan dengan Pemerintah Hong Kong dan pemerintah pusat China di Beijing.
Beijing dilaporkan menolak usulan Pemimpin Eksekutif Hong Kong Carrie Lam soal penanganan masalah kota itu. Penolakan itu terungkap pada pekan lalu. Beijing menegaskan, Lam tidak boleh mencabut rancangan undang-undang (RUU) ekstradisi. Lam juga tidak boleh menyelidiki dugaan kekerasan polisi selama penanganan demonstrasi.
Pengungkapan itu diikuti penangkapan sejumlah tokoh dan politisi pendukung aksi unjuk rasa. Kepolisian Hong Kong menangkap tiga anggota DPR, satu anggota dewan distrik, dan sejumlah aktivis, termasuk Joshua Wong, pada akhir pekan lalu. Sejak 2014, Wong merupakan simbol perlawanan warga terhadap Pemerintah Hong Kong. Sekjen Demosisto, salah satu pelopor berbagai aksi unjuk rasa di Hong Kong sejak 2014 itu, bolak-balik dipenjara. Hukuman penjara terbaru bagi dia berlangsung lima pekan sampai pertengahan Juni 2019. Pekan lalu, ia kembali ditangkap dengan ancaman hukuman penjara hingga lima tahun.
Penangkapan itu awalnya diduga menyurutkan aksi unjuk rasa yang berlangsung sejak April 2019 dan tidak berhenti setiap akhir pekan mulai Juni 2019. Fakta pada Sabtu (31/8/2019) menunjukkan, warga Hong Kong tetap berunjuk rasa. Dalam demonstrasi itu, pengunjuk rasa dan polisi terlibat kericuhan. Insiden penyerbuan polisi ke stasiun kereta, seperti pada 21 Juli 2019, kembali terjadi, Sabtu lalu. Jika pada Juli lalu insiden itu terjadi di Yuen Long, penyerbuan pada akhir Agustus berlangsung di Prince Edward.
Jauh-jauh hari, para pengunjuk rasa menegaskan bahwa gerakan massa Hong Kong tidak mempunyai pemimpin. Hal itu menjadi salah satu penyebab tawaran Lam untuk berdialog dan mencari penyelesaian krisis Hong Kong tidak bisa dilakukan. ”Tidak ada satu pun yang bisa mengaku mewakili kami. Siapa pun yang mengaku sebagai pemimpin gerakan ini akan diturunkan beramai-ramai,” kata Isaac Cheng, mahasiswa yang menjadi Wakil Presiden Demosisto.
Selepas insiden Prince Edward, forum-forum komunikasi pengunjuk rasa dibanjiri pesan untuk kembali menutup bandara. Kali ini, bukan seperti pada 12 Agustus 2019 kala ribuan pengunjuk rasa menduduki bandara. Sekarang taktiknya menduduki stasiun dan terminal tempat bus dan kereta tujuan bandara.
Kelanjutan aksi unjuk rasa akan menjadi ujian bagi Lam dan jajarannya. Pada pertengahan Agustus 2019, sejumlah anggota DPR Hong Kong yang mendukung Beijing mengungkap soal tenggat penanganan aksi unjuk rasa. Lam diberi waktu sampai awal September ini untuk mengatasi rangkaian aksi unjuk rasa. Beijing tidak mau ada aksi unjuk rasa lagi, terutama menjelang peringatan ulang tahun ke-70 Republik Rakyat China pada 1 Oktober mendatang.
Para politikus tidak mengungkap apa dampak jika Lam melewati tenggat. Hal yang jelas, Beijing telah menempatkan ribuan polisi dan tentara di Shenzhen sejak beberapa pekan lalu. Perjalanan dari Shenzhen ke pusat kota Hong Kong tidak sampai dua jam dengan mobil. Hal yang lebih jelas lagi, pekan ini merupakan awal September 2019.