Presiden Berhak Mengubah Komposisi Calon Pimpinan KPK
Demi untuk mencari calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang berkualitas, Presiden Joko Widodo berhak mengubah komposisi yang diajukan panitia seleksi. Ada 10 nama yang direkomendasikan panitia seleksi kepada Presiden.
Oleh
SHARON PATRICIA
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi menyerahkan 10 nama kepada Presiden Joko Widodo. Presiden masih memiliki waktu untuk mempertimbangkan masukan publik. Bahkan, Presiden berhak mengubah komposisi calon pimpinan KPK yang direkomendasikan panitia seleksi.
Pendapat itu disampaikan Direktur Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Oce Madril kepada Kompas, Senin (2/9/2019). Mengacu pada Pasal 30 Ayat (9) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Presiden memiliki waktu 14 hari kerja sejak diterimanya daftar nama dari panitia seleksi untuk menentukan nama calon sebanyak dua kali jumlah jabatan yang dibutuhkan.
Meskipun belum pernah terjadi, Presiden bisa mengubah komposisi rekomendasi panitia seleksi. Pada akhirnya Presiden yang akan menyerahkan 10 kandidat terbaik kepada DPR. ”Seingat saya, dalam proses seleksi capim KPK, belum pernah presiden mengubah di tahap akhir (dari rekomendasi panitia seleksi). Tetapi, lagi-lagi itu tidak menyalahi undang-undang karena sekarang bolanya itu ada di Presiden,” katanya.
Adapun perubahan komposisi calon pimpinan KPK, ujarnya, harus memperhatikan akuntabilitas dan kecermatan. Seluruh masukan masyarakat harus menjadi pertimbangan sebelum memutuskan 10 nama. ”Lebih baik proses dialog dan masukan-masukan itu dibuka oleh Presiden. Langkah menjadi kanal melihat kembali rekam jejak para calon pimpinan KPK agar 10 nama yang diserahkan kepada DPR adalah mereka yang tidak memiliki latar belakang bermasalah,” kata Oce.
Pada Senin (2/9/2019) sekitar pukul 15.00, Ketua Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK Yenti Ganarsih beserta anggota panitia lain menyerahkan 10 nama kepada Presiden Joko Widodo. Kesepuluh nama itu terdiri dari satu komisioner KPK, satu anggota Kepolisian Negara RI, satu auditor Badan Pemeriksa Keuangan, satu anggota kejaksaan, satu advokat, dua dosen, satu hakim, dan dua aparatur sipil negara.
Sepuluh nama calon pimpinan KPK yang direkomendasikan panitia seleksi di antaranya komisioner KPK, Alexander Marwata; Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Selatan Inspektur Jenderal Firli Bahuri; auditor BPK, I Nyoman Wara; Direktur Tata Usaha Negara pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Usaha Johanis Tanak; dan advokat Lili Pintauli Siregar.
Dua dosen yang direkomendasikan panitia seleksi ialah dosen dan pendiri Malang Corruption Watch, Luthfi Jayadi Kurniawan, dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember Nurul Ghufron. Ada juga hakim Pengadilan Tinggi Denpasar, Nawawi Pomolango.
Sementara dua ASN yang direkomendasikan panitia seleksi ialah Asisten Deputi Bidang Ekonomi Makro, Penanaman Modal, dan Badan Usaha Sekretariat Kabinet Roby Arya Brata dan Kepala Subdirektorat Bantuan Hukum Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Sigit Danang Joyo.
Guru Besar Universitas Jenderal Soedirman Hibnu Nugroho juga menyampaikan bahwa Presiden tidak perlu setuju dengan apa yang direkomendasikan panitia seleksi. Hal terpenting saat ini bagi Presiden adalah mempertimbangkan masukan publik.
Keputusan Presiden nantinya akan menjadi penilaian apakah Presiden masih mendengarkan aspirasi publik atau tidak. Tentu ini akan berpengaruh terhadap kepercayaan publik kepada Presiden.
Wadah Pegawai KPK juga telah menandatangani petisi untuk menolak calon pimpinan yang memiliki rekam jejak menghambat proses penegakan hukum KPK ataupun dugaan melakukan pelanggaran etik. Sekitar 1.000 pegawai menandatangani petisi ini dari sekitar 1.500 pegawai KPK.
Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo mengatakan, para pegawai yang belum tanda tangan bukan tidak ingin, tetapi mereka masih bertugas di luar Jakarta baik dalam maupun luar negeri. Antusiasme itu menunjukkan bahwa kondisi darurat ini dirasakan setiap insan KPK.
Komitmen para calon pimpinan KPK
Dalam uji publik dan wawancara sebagai tahap akhir proses seleksi calon pimpinan KPK, Alexander Marwata menyatakan, kinerja KPK dalam empat tahun terakhir belum berhasil. Sebab, peran koordinasi dan supervisi belum berjalan optimal karena ego sektoral. ”Seharusnya ketiga aparat penegak hukum (kejaksaan, kepolisian, dan KPK) dapat bekerja efektif dan efisien. Sampai sekarang hal itu belum terjadi,” ujarnya.
Alexander menawarkan salah satu upaya perbaikan ke depan, yaitu membuat surat pemberitahuan dimulainya penyidikan elektronik (e-SPDP) untuk menjadi satu-satunya platform dalam menerbitkan SPDP sehingga kepolisian, kejaksaan, ataupun KPK dapat saling memonitor.
Kemudian, Firli Bahuri menjamin, jika dirinya terpilih, tidak akan ada konflik kepentingan yang terjadi. ”Kalau saya kepilih tetap pangkat di bawah Kepala Kepolisian Negara RI atau Panglima TNI, tapi tidak perlu kekhawatiran karena KPK lembaga independen dan tidak terpengaruh kekuasaan apa pun. Artinya, boleh koordinasi sebagai strategi dan KPK memegang tegas peranan sebagai trigger mechanism,” ujarnya.
Roby Arya Brata menilai, selama ini, konflik antara KPK dan kepolisian ataupun Kejaksaan Agung karena koordinasi lemah. Salah satunya karena masih ada kewenangan penyidikan dan penuntutan KPK di kedua lembaga itu. ”Dengan kewenangan seperti ini, yang terjadi, begitu merangsek kasus di kepolisian malah melawan balik. Ini tidak sehat untuk hubungan koordinasi, jadi perlu ada pemindahan kewenangan penyidik KPK ke Komisi Kepolisian Nasional,” kata Roby.
Sementara itu, I Nyoman Wara menyoroti mengenai kriteria keuangan negara agar tidak rancu saat menghitung kerugian negara. Ia juga bertekad untuk memaksimalkan penanganan kasus dengan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Lili Pintauli Siregar juga menyoroti pentingnya pengoptimalan TPPU. Menurut dia, TPPU harus disematkan dalam tiap pokok perkara korupsi. Dengan demikian, pemulihan aset termasuk kerugian negara dapat lebih maksimal. ”Selama ini hanya sedikit pasal TPPU yang diterapkan dalam kasus korupsi. Saya juga setuju kalau TPPU pasif harus dikejar dan, bagi saya, orang-orang yang menerima hasil korupsi juga harus dipidana,” kata Lili.
Luthfi Jayadi Kurniawan berkomitmen untuk menjadikan TPPU sebagai prioritas dalam penanganan kasus korupsi. ”TPPU ke depan perlu menjadi prioritas karena ini harus dikejar. Selama ini, biaya yang dikeluarkan KPK (untuk penanganan perkara) itu cukup tinggi, tetapi dana pemulihan aset lambat sekali,” katanya.
Nawawi Pomolango juga setuju bahwa penanganan kasus TPPU masih minim. Bahkan, menurut dia, KPK selama ini tidak punya kriteria atau standar dalam penanganan perkara TPPU.
”Kalau saya terpilih, pertama saya akan merangkul Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Kita juga punya Direktorat Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang mudah-mudahan berjalan baik LHKPN-nya di sana. Jadi, begitu ada pejabat tercokok, kita langsung berkoordinasi dengan dua (lembaga) itu,” kata Nawawi.
Nurul Ghufron mengatakan, pasal TPPU bisa saja dimasukkan dalam dakwaan bersamaan dengan perbuatan tindak pidana korupsi. Namun, penyidik harus mampu membuktikan bahwa uang itu benar hasil korupsi, bukan yang lain.
Selain itu, Johanis Tanak berpandangan bahwa terkait dengan operasi tangkap tangan (OTT) yang biasa dilakukan KPK, Johanis menyampaikan, selama ini ada kekeliruan dalam penerapannya. Sebab, operasi dan tangkap tangan adalah dua hal yang bertentangan. ”Saya akan memberikan masukan ini kepada pimpinan lain bahwa (OTT) tidak sesuai teori hukum. Dengan begitu, uang negara pun bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk kesejahteraan masyarakat,” ucap Tanak.
Sigit Danang Joyo mengatakan, meski Indonesia telah meratifikasi Konvensi Antikorupsi PBB (UNCAC) atau Konvensi Antikorupsi PBB, kebijakan hanya bersifat rekomendasi sehingga tidak ada keharusan menjalankannya.
Sigit akan mengupayakan dibentuknya Undang-Undang Perampasan Aset. ”UU Perampasan Aset itu positif untuk pengembalian uang negara, kenapa tidak untuk kita dorong. Kemarin, kami di Ditjen Pajak menemukan ada faktur pajak fiktif bahwa ada identitasnya (KTP), tapi orangnya tidak ada. Hartanya mau diapakan?” ujar Sigit.